Mengembangkan Video Komunitas di Bireun, Aceh

Mengembangkan Video Komunitas di Bireun, Aceh

“Waduh mbak…seru banget pengalaman saya mengedit video ini, karena saat kita mengedit video di kampung sedang ada kasus banyak orang kesurupan….jadi kita mengedit dalam kondisi mencekam……..”. Itulah ungkapan Mala dan Maya tentang pengalaman mereka membuat video. Mala adalah Fasilitator Lapang PEKKA dan Maya kader Pekka dari Kecamatan Jeunib, Kabupaten Bireun, NAD. Mereka berdua dilatih oleh Seknas untuk membuat video komunitas tentang kehidupan pekka dan perempuan pada umumnya. Kebetulan daerahnya terpilih sebagai wilayah yang akan dikembangkan video komunitas. Dua kali pelatihan telah diikutinya dan diakhir pelatihan mereka turun kelapang untuk shooting.

Sebelum mengambil gambar perlu menentukan tema yang akan diambil, lokasi dan alur cerita yang akan dibuat, dan persiapan lainnya. Untuk video pertama ini keputusan bulat untuk memilih tema poligami. Isu ini memang merupakan isu kontroversial dikalangan umat Muslim di Aceh dan di Indonesia pada umumnya. Aceh yang dikenal dengan sebutan Serambi Mekah, tak terkecuali banyak terjadi kasus poligami. Karena rasa penasaran dan merasa tertantang, maka Mala dan Maya turun ke lapang dengan pasti sambil membayangkan proses pengambilan gambar yang akan mereka lakukan.

Narasumber pertama yang diwawancara adalah seorang perempuan yang berstatus sebagai “madu” atau istri kedua. Mala memulai mengisahkan pengalamannya mengambil gambar di lapangan : “Ternyata mbak……tidaklah mudah mengambil gambar untuk isu ini, karena poligami merupakan isu yang sangat sensitif. Terlebih responden ini adalah orang yang sedang menjalani hidup dengan suami orang. Dan dia merasa keberatan apabila suatu saat video ini diputar di masyarakat, maka akan ketahuan oleh orang lain. Mungkin kalau hanya sekedar wawancara tanpa gambar akan lebih mudah”. Karena keterbatasan dalam pengambilan gambar, maka Mala dan Maya berganti tema. Ternyata kondisi di lapangan tidak semudah yang dibayangkan.

Tema baru yang dipilih adalah yang masih dekat-dekat dengan isu poligami yaitu istri-istri yang diabaikan, hanya saja dari sisi berbeda yaitu istri yang menjadi korban poligami. Narasumber yang diambil ada 4 orang, keseluruhannya adalah perempun yang ditinggal oleh suaminya. Proses pengambilan gambar berjalan dengan baik, karena keempat responden tersebut sudah kenal sebelumnya. Mungkin karena sudah kenal, maka lebih mudah dalam proses pengambilan gambar.

Narasumber pertama adalah Suryani, anggota kelompok Pekka yang ditinggal oleh suami. Proses wawancara tidak lancar, karena Suryani dalam kondisi sakit, kurang darah dan sempat pingsan sehingga pengambilan gambar tersendat, walaupun akhirnya selesai juga. Diteruskan dengan narasumber kedua ibu Nurma yang berstatus sebagai guru. Karena kesibukannya sebagai guru maka pengambilan gambar dilakukan jam 3 sore hari sesudah pulang mengajar. Awal wawancara dan pengambilan gambar berjalan mulus, namun saat sedang asyik mengambil gambar, terdengar musik yang cukup keras dari kios sebelah rumahnya, karena tidak mungkin untuk meminta mereka mematikan musiknya, kegiatan berhenti sebentar. Saat musik mereda kegiatan pengambilan gambar diteruskan. Belum juga selesai, ada gangguan lain. Tetangganya  punya anak perempuan gila, berteriak-teriak dengan keras, sehingga sangat mengganggu, kembali dengan terpaksa kegiatan dihentikan, selain dari itu hari sudah sore menjelang maghrib. Biasanya orang Aceh tidak akan mau diganggu pada saat menjelang maghrib ini, mereka akan siap-siap untuk sholat dan mempersiapkan makan malam untuk keluarganya. Kegiatan dilanjutkan esok harinya, dan berhasil menyelesaikan pengambilan gambar Ibu Nurma.

Berdasarkan rekomendasi Ibu Nurma, wawancara ketiga dengan ibu Ti Sadiqoh, tetangganya yang punya anak gila itu. Kisah hidupnya cukup tragis. Di awal pernikahannya, dia suka ngamuk seperti orang gila, katanya itu terjadi karena diguna-guna orang. Setiap dia kambuh, suaminya sering memukul dia. Lama kelamaan suaminya tidak tahan dan meninggalkan dia saat punya anak 3 orang. Dia ditinggal suaminya, sementara anaknya yang nomer dua perempuan, gila, diperkosa orang yang menyebabkan kehamilan. Saat ini, baru saja melahirkan dan kemudian menjadi tanggung jawabnya untuk mengurus cucunya.

Mengingat kondisinya yang begitu susah, Mala dan Maya minta bantuan bu Nurma bicara kepada bu Ti Sadiqoh untuk meminta ijin pengambilan gambar dirinya. Bu Nurma menyarankan agar ambil gambarnya jangan kentara takut mengganggu dia yang sedang susah. Karena tidak sabar, akhirnya Mala dan Maya memberanikan diri untuk langsung bicara ke ibu Ti Sadiqoh. Saat mengutarakan maksudnya, Bu Ti Sadiqoh mau menerima dan berkata : “Tapi….saya tidak bisa bicara….”. Maya meyakinkan : “Gak usah takut Bu… bicara aja apa adanya, nanti kan kami potong-potong lagi gambar ini….dan diatur lagi kata-kata Ibu…”.

Mala menuturkan sulitnya mengambil gambar Bu Ti Sadiqoh : “Repot juga mbak…. ambil gambar bu Ti Sadiqoh ini, saat kami sedang wawancara, anaknya yang gila ini duduk di dekat ibunya, sesekali mengintip ke kamera sambil nyanyi-nyanyi, kadang mengajak ngobrol kami. Kami harus meladeni dia mbak….kalau tidak, dia akan panggil nama kita keras-keras…..pokoknya ada-ada saja mbak gangguannya, akhirnya kami lega saat selesai urusan ambil gambar Bu Ti Sadiqoh ini”.

Berikutnya, Mala dan Maya mengambil gambar Bu Nurmalawati. “Kisah tragis juga terjadi pada dirinya mbak….”, kata Maya memulai critanya. “Ibu Nurmalawati ditinggal suaminya menikah lagi dan menanggung 3 anaknya seorang diri. Kisah sedih berawal dari suaminya yang menuduh dia selingkuh, walaupun itu tidak terbukti. Kemudian rumah yang mereka tinggali dibakar suaminya, dan mengusir dia pergi dengan membawa ketiga anaknya”.

Dalam kondisi sangat susah dan tidak tahu harus kemana, akhirnya Bu Nurmalawati pergi kerumah orangtuanya. Namun ternyata orangtuanya menolaknya. Akhirnya dia pergi ke kepala desa, dan mengadukan kasusnya. Kepala Desa melakukan pendekatan kepada orangtuanya dan akhirnya menerima dia tinggal dirumah orangtuanya selama 3 tahun sampai masalahnya selesai dengan suaminya. “Begitulah adat Aceh mbak…selama seorang perempuan masih terikat perkawinan dengan suaminya, maka apapun yang terjadi padanya tidak boleh pulang kerumah, walaupun dia jadi korban KDRT. Bila pulang kerumah orangtua, maka seakan-akan orangtuanya menampung istri orang, walaupun itu anak sendiri tanpa melihat kasus latar belakangnya”. Maya melanjutkan kisah Bu Nurmalawati : “Untuk melanjutkan hidupnya, Bu Nurmalawati kerja jadi buruh batu bata dan buruh tani. Dia berhasil membuat gubug sangat sederhana, sebenarnya sih…. tidak layak dihuni mbak, dinding terbuat dari seng bolong-bolong yang dia pungut dari tetangganya, atap bocor disana-sini, baju sekolah anaknya adalah baju bekas orang lain karena dia tidak mampu membeli. Dia sangat miskin, tidak punya apa-apa, dan hidupnya semakin susah saja. Selama sekitar 7 tahun dia hidup susah seperti itu, dia akhirnya  mengurus gugat cerai suaminya dan sudah putus….sekarang sudah sah jadi janda”, Mala mengakhiri ceritanya dengan suara terputus-putus menahan haru. “Ternyata, mengambil video merekam kehidupan orang lain banyak dukanya…., tidak hanya dari segi masalah gangguan tekhnis, namun juga pengaruh kepada emosi saya. Serasa sesak mendengar kisah-kisah mereka…..banyak perempuan yang mengalami kekerasan dalam kehidupannya. Sementara orang lain tidak peduli, ditambah lagi nilai adat yang tidak memihak kaum perempuan bahkan menyengsarakannya…”.

Di akhir video yang dibuat, Mala dan Maya berhasil menampilkan 3 sosok laki-laki, untuk memberikan pandangan dan pendapat mereka tentang poligami. Dari laki-laki pelaku poligami mengaku bahwa dia tidak bisa berbuat adil, sangat sulit syarat yang satu ini untuk dilaksanakan. Diakui juga oleh petugas KUA tentang hal ini, dan menambahkan dalam kasus poligami maka perempuan yang jadi korban. Terlebih banyak kasus di Aceh ini adalah nikah di bawah tangan, maka perempuan tidak dapat memperoleh harta gono-gini bila hal buruk terjadi pada perkawinannya.

Pengambilan gambar akhirnya selesai dilakukan Mala dan Maya. Sampailah mereka pada proses akhir yaitu editting. “Proses edit mbak… waduh, capek deh!. Ada crita seru mbak. Kami pulang ke center, edit dilakukan disana siang hari. Malam kami tidur di rumah kader pekka. Ternyata ada anaknya yang sedang kesurupan cukup parah, paling parah malah. Malam kami tidak bisa tidur, suasana mencekam, ih….takut. Akhirnya kami dapat menyelesaikan video ini selama 4 hari, walaupun kami merasa belum puas”. Berdasarkan pengalaman pertamanya membuat video, Mala dan Maya merencanakan akan berupaya rajin mengambil gambar khususnya untuk momen-momen tertentu, siapa tahu gambar itu akan dibutuhkan suatu saat nanti.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *