Terjebak Perangkap Stereotip Janda

Terjebak Perangkap Stereotip Janda

Aku menikah pada usia 25 tahun. “Hidup kami sangat baik” kumenerawang jauh ke masa lalu. Saat itu Aku keluar dari rumah membawa kabur kedua anakku. Anak pertama perempuan berusia 4 tahun dan yang kedua laki-laki berusia 30 hari. Usia yang masih sangat belia. Ini berawal dari hadirnya orang ketiga dalam perkawinanku.

Sejak saat itu aku menumpang tinggal di rumah orangtuaku, sambil berjualan kecil-kecilan. Hari- hariku dilalui dengan masa penyesuain diri. Orang mulai tahu aku tak bersuami.

Dini hari, ponselku selalu berbunyi, baik itu panggilan masuk ataupun pesan singkat. Aku tak menghiraukan.

Keesokkan harinya kutegok panggilan dan pesan masuk. Oh ternyata nomor tak dikenal. Lagi-lagi tak kuhiraukan.

Suatu hari aku penasaran, kubaca pesan singkat itu, “kamu (sebutan namaku) ayo turun (rumah panggung), nggomikan ntoi ra da marumu la, o rahimu. Nahu ma nggenamu. Tenang wara piti aka nahu. Ede da ka maki si weki.(kamukan sudah lama ga tidur dengan suamimu. Aku tunggu kamu. Aku ada uang, ga usah kamu capek-capek cari uang)”.

Awalnya aku tak.menghiraukan. Tapi setiap malam pesan ini selalu masuk di ponselku. Tanpa sekalipun aku membalasnya. Lama-kelamaan, aku mulai terusik. Aku mencari tahu siapa orang dibalik ini. Akhirnya aku tahu. Ternyata orang yang kukenal dekat. Aku menghargainya. Aku tidak mau ribut.

Selanjutnya pesan singkat itu kubalas ” mada ka bade ku ita. Ta sms wali se mada kai bahasa kurang ngajar ta ake. Ka kamajaku ba mada ita” ( saya tahu siapa kamu, kalau kamu masih sms seperti ini. Saya akan bikin kamu malu)”

Tapi, ternyata dia menggunaka nomor lain lagi. Smspun masih masuk di ponselku. Dengan bahasa sedikit bervariasi dan rayuan maut. Aku tahu itu dia. Aku diam saja.

Kulupakan itu dan tak kuhiraukan. Toh dia akan bosan sendiri asal kita tidak melayaninya.

Tapi tahukah? Mungkin itulah awal dari perempuan tak bersuami memiliki predikat stereotipe?

Awalnya mereka bertahan dengan keadaan membesarkan anak, mencari nafkah, bergaul normal di lingkungan sekitarnya. Tapi bagaimana bertahan kalau kerasnya kehidupan membuat mereka luluh dengan rayuan orang yang mengatas namakan bantuan finansial.

Batu yang keraspun akan terkikis oleh tetesan air. Kerasnya kehidupan, lelahnya batin, sakitnya hati, Kebutuhan anak meningkat, kurangnya ekonomi. Membuat pertahanan diluluhlantahkan oleh kehadiran lelaki yang menawarkan pembebasan keterburukan itu.

Akhirnya aku tahu. Berawal dari orang dekat menjadikan kami perempuan tak bersuami terperangkap dalam stereotipe perempuan “heboh” dengan urusan tubuh dan kecantikan fisik, terperosok dan bekerjasama dengan lembaga-lembaga yang tidak memiliki akuntabilitas sosial.

Wahai pemerintah. Inilah raungan kami. Lihatlah kami. Kami telah melahirkan keturunan bangsa. Anak kami ingin bersekolah tinggi. Ratakanlah programmu. Jangkaulah keadaan kami. Agar keturunan kami terhindar dari kisah yang kami alami.

JWP: Rahmawati AB

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *