Sumatera Barat merupakan salah satu daerah perluasan kerja PEKKA. Selama kurun waktu tiga tahun melakukan pemberdayaan dan pendampingan terhadap perempuan kepala keluarga (Pekka), jumlah anggota PEKKA semakin meningkat. Hingga kini telah terbentuk lebih dari 30 kelompok Pekka sejak pertama kali digagas pada tahun 2011. Pada pelaksanaan Forum Wilayah PEKKA Sumatera Barat baru-baru ini tercatat anggota PEKKA Sumatera Barat mencapai lebih 1000 anggota.
Kabupaten Sijunjung menjadi target utama pendampingan. Berdasarkan data Bank Dunia, Kabupaten Sijunjung selain merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi konflik cukup tajam, terutama konflik sumber daya alam, daerah ini juga dikenal memiliki komposisi perempuan kepala keluarga yang cukup tinggi. Mereka rata-rata kurang terberdayakan. Memang, Sumatera Barat sangat kaya dengan kekayaan alamnya. Namun, umumnya masyakarat masih hidup dalam kemiskinan. Konflik sumber daya alam menjadi salah satu faktornya dan pertama yang terkena dampak konflik sumber daya alam ini adalah perempuan.
Sebagai kabupaten baru, Sijunjung dihadapkan pada sejumlah problem sosial khususnya bagi kaum perempuan. Mereka umumnya buta hukum, kebanyakan diantara mereka berprofesi sebagai buruh. Sarana transportasi juga masih sangat terbatas. Selain itu, praktik kekerasan, perkosaan masih menjadi halaman depan wajah masalah Sijunjung. Aborsi baik akibat kehamilan tidak diinginkan masih tergolong tinggi, termasuk pelecehan seksual terhadap perempuan. Tingginya perkawinan di bawah umur juga terjadi di wilayah ini. Sekitar 600 perempuan kepala keluarga tidak mengantongi surat nikah adalah sisi lain yang kurang mendapat perhatian serius. Selain itu, angka buta huruf juga tergolong tinggi terutama di nagari Muaro Takung dan Maloro. Di Dua nagari ini tim menemukan banyak hal misalnya kekerasan terhadap perempuan, penipuan yang dilakukan suami terhadap istri untuk poligami. Nagari adalah nama lain dari desa dalam bahasa Minang.
Sedangkan, upaya pemberdayaan dan pendampingan bagi kelompok perempuan ini masih sangat minim. Berbagai lembaga swadaya masyarakat sepertinya tak banyak melakukan intervensi atas kondisi ini. Sejauh pantauan tim seknas PEKKA, lembaga penggerak sosial hampir tidak ada yang mengorganisir perempuan kepala keluarga, memberikan dampingan maupun memajukan kelompok yang dianggap kelas dua. Berangkat dari alasan ini, PEKKA pun terpanggil untuk melakukan apa yang belum mereka lakukan di daerah ini. “Akses terhadap sumber daya dan akses program masih sangat rendah untuk dimanfaatkan secara utuh oleh masyarakat. Bahkan juga tidak banyak perempuan pada umumnya tahu bagaimana sih mengurus identitas formal mereka. Nah diantara banyak persoalan-persoalan itulah akhirnya kita memutuskan untuk mengorganisir di wilayah tersebut”, ungkap Oemi saat ditemui di ruang kerjanya.
Saat pertama kali memulai kegiatan, tiga orang tim Seknas PEKKA mengemban tugas pendampingan di Kabupaten Sijunjung. Mereka adalah Oemi Faezathi, Mardiyah dan Kodar. Menurut Oemi, selama menjalankan tugas dampingan, tim seknas PEKKA melakukan dua pendekatan sekaligus yaitu pendekatan formal dan nonformal. Pendekatan formal dilakukan melalui jalur birokrasi pemerintahan terkait dengan proses perizinan dari tingkat propinsi sampai pada level jorong (atau dusun). Pada umumnya kalangan birokrasi menyambut baik agenda pendampingan PEKKA ini. Bahkan, dalam rangka sosialisasi program PEKKA, tim Seknas PEKKA kerap terlibat dalam seminar yang diselenggarakan pemerintah daerah setempat.
Sedangkan kegiatan nonformal dimulai membangun interaksi dengan para tuan adat setempat, membina komunikasi, diskusi informal, sambil menyelami dan memahami budaya dan kondisi psikologis warga masyarakat setempat. Tim Seknaspun larut dalam laku keseharian masyarakat. Tak jarang, tim terlibat dalam serangkaian kegiatan budaya yang berkembang di masyarakat. “Untuk mengenali wilayah dengan baik, kami ikut upacara adat mereka atau ikut acara pengajian, bahkan di acara perkawinan sekalipun saya menyempatkan untuk bisa kenal dengan ibu-ibu. Sampai-sampai kami juga bergerilya ke sawah menemui mereka, ikut batobo”, tutur Oemi, begitu ia biasa disapa. Dari pendekatan inilah, sosialisasi PEKKA mulai dirasakan hasilnya.
Sebagai langkah awal, tim seknas PEKKA menetapkan empat nagari sebagai basis dampingan yakni nagari Takung, Sungai Lasek, Kunangan Tari Trantang dan Maloro, dan terbentuk tujuh kelompok PEKKA, yaitu kelompok Maju Bersama, Mekar Bersama, Bonjong Aram Sepakat, Samurai Indah, Bundo, Dahlia, Sei Sariek Mandiri. Dengan kondisi medan yang sangat “menantang”, jarak antar nagari yang begitu jauh dengan sarana transportasi yang amat terbatas, menyusuri medan jalan yang kecil dan berbahaya melewati wilayah perkebunan yang sepi. Untuk sampai ke tempat tujuan misalnya harus ditempuh selama dua jam perjalanan dengan motor. Sebagai perbandingan, luas satu desa di Sijunjung hampir sama dengan luas satu kecamatan di Pulau Jawa.
Selain faktor geografis, hambatan budaya adalah tantangan lain yang tak kalah beratnya. Bertemu warga untuk acara kumpul selain acara adat tak mudah dilakukan, terutama jika diadakan siang hari. Karena kesibukan masyarakat di kebun pada siang hari, mengharuskan pendekatan dilakukan hanya pada malam hari. Selain, itu tidaklah mudah membangun kepercayaan terutama dengan para tokoh adat setempat. Sebab mereka ini menjadi pusat legitimasi di masyarakat. Karena itu, tim terus membina dan memperkuat hubungan komunikasi. Kegiatan tim seknas PEKKA di tengah masyarakat pun tak luput dari berbagai tuduhan khususnya dari kaum laki-laki yang merasa “tak nyaman’ dengan keberpihakan PEKKA terhadap perempuan. Misalnya tuduhan kepada tim Seknas Pekka sebagai missionaris dan programnya didanai oleh golongan kafir. Namun, semua itu menjadi motivasi bagi tim untuk terus berkarya dan berjuang meyakinkan masyarakat. “Jadi membangun kepercayaan tidak hanya di awal saja, tetapi harus masuk dalam agenda yang terus berlanjut, sehingga dapat terbangun kepercayaan masyarakat kepada PEKKA”, lebih lanjut Oemi menandaskan.
Kegiatan simpan pinjam menjadi pilihan awal pendampingan. Melalui rancang bangun kegiatan yang dikembangkan tim, mereka mulai merasakan manfaatnya. Selain itu, mereka juga dilatih visi misi, dan membangun motivasi berkelompok. Selang beberapa waktu berselang, mereka sendiri mengajukan untuk didampingi terkait pengurusan surat legal formal seperti pembuatan Kartu Keluarga, KTP, termasuk juga dokumen yang berhubungan dengan perkawinan, seperti akta nikah, akta cerai ataupun akta kelahiran bagi anak-anaknya.
Hingga kini, perjuangan PEKKA di wilayah tersebut semakin solid dengan terus memelihara komitmen bersama, serta terus membangun kepercayaan antara kelompok dan kader melalui pertemuan-pertemuan rutin, menghidupkan komunikasi antar sesama anggota, juga melalui kegiatan Forwil maupun Fornas PEKKA.