Kring…kring…kring …telepon genggamku berdering. Segera kubuka tas dan mencari dimana ku simpan alat komunikasi tersebut. Namun sayangnya deringan itu putus sebelum sempat kuangkat. Kulihat di layar ponsel tertera enam panggilan tak dijawab dari Ade Lin, Kasie PMD Kec. Ile Boleng.
Dalam hati bertanya-tanya, ada hal penting apa yang ingin dia sampaikan? Apa gerangan yang akan dibicarakan? Apakah terjadi sesuatu pada keluargaku? Atau berita apa yang ingin dikabarkannya? Apakah hal yang akan disampaikan berkaitan dengan organisasi atau keluarga? Apakah…Apakah…Apakah dan Apakah…? Seribu satu macam pertanyaan ada dibenakku.
Saat itu aku sedang mengantri check in di Bandara Soekarno Hatta sepulang dari Pelatihan Jurnalisme Warga Pekka.Hari masih pagi, matahari pun baru mulai beranjak dari peraduan. Setelah urusan check in berakhir, sambil menunggu boarding di ruang tunggu kucoba menghubungi balik.
\”Selamat pagi”, sapanya dari seberang sana. Posisi dimana, kapan kembali, bisa langsung nyampe rumah malam ini atau tidak adalah pertanyaan-pertanyaan darinya.
Selesai kujawab, kemudian dia menjelaskan jika esok akan diselenggarakan Jambore PKK di kabupaten. Dan akan ada perlombaan fashion show dalam kegiatan tersebut.
“Desainernya tidak bisa presentasi kalau tanpa teks” ungkapnya. “Jadi minta tolong kakaklah untuk menggantikannya! Nanti saya kirim sinopsisnya untuk dipelajari,” lanjutnya.
Ketidak mengertianku soal desain busana dan posisiku yang masih dalam perjalanan membuatku sempat menolak dan memintanya mencari orang lain sebagai pengganti. Namun dia meyakinkan jika dalam waktu singkat seperti ini hanya orang Pekka yang diandalkan.
“Saya percaya kakak pasti bisa. Kalau memang kakak tidak mau maka kecamatan kita tidak akan ikut dalam jambore ini. Kakak tolong selamatkan keadaan ini”, katanya penuh harap.
“Saya minta itu saja”, mohonnya mengakhiri obrolan kami.
Akupun akhirnya terpaksa menerima permintaan tersebut. Sepanjang perjalanan kupelajari materi yang dikirim. Di ruang tunggu, di dalam pesawat bahkan di toilet sekalipun mulutku komat kamit seperti mbah dukun yang sedang membaca mantranya.
“Kau tidak capek kah? Jikalau aku yang ditawari, sudah pasti kutolak\”, ungkap Bety teman seperjalananku.
Akupun mempersiapkan diri hingga subuh dini hari keesokan harinya.
Di hari perlombaan bersama peserta lainnya dan pendamping dari kecamatan, berangkatlah kami menuju Larantuka Ibukota Kabupaten Flores Timur.
Dag dig dug jantungku berdebar tak menentu ketika pembawa acara menyebutkan nomor undian kami, tanda waktu kami untuk tampil ke muka. Sejenak kutunduk sambil berdoa mohon kekuatan dariNya, lalu melangkah bersama model naik ke atas panggung mendemonstrasikan busana.
Tepuk tangan dan sorak sorai dari hadirin mengiringi lenggak lenggok saat model berjalan gemulai memamerkan busana hasil desain Margalena Prada, Ibu dari tiga orang ini lahir di Banyuwangi 4 Maret 1969 yang kini tinggal di Desa Bayuntaa Kecamatan Ile Boleng.
Sambil memegang mic aku menjelaskan bahwa busana yang dikenakan sang model merupakan busana yang dibuat untuk pekerja kantoran perempuan berbahan modifikasi tenun ikat dan kain toko.
Kombinasi bahan ini merupakan upaya menjawab tuntutan perkembangan jaman namun tetap mempertahankan kearifan lokal dalam konteks pelestarian budaya tenun ikat khususnya tenun ikat adonara. Perlu sentuhan lembut penuh rasa untuk dapat menghasilkan busana yang cantik tanpa menghilangkan warisan leluhur yang patut dipertahankan.
Komposisi penggunaan bahan 60% tenun ikat dan 40% kain toko serta pemilihan warna yang cerah memberikan kesan elegan, praktis dan nyaman namun kesan etniknya tetap sangat kuat. Hal ini dapat menciptakan aura kecantikan dan memberikan energi positif bagi sang pemakai pakaian tersebut.
Lelahku terbayar. Seutas senyum tersungging dari bibirku ketika tim juri mengumumkan bahwa kami memperoleh juara dua dari delapan belas kecamatan yang mengikuti lomba.
Kontributor: Kornelia Bunga