Angin menyapa lembut. Beberapa muda-mudi berkumpul. Tawa ria terdengar bersahutan. Mereka seakan larut dalam suka cita.
Sore itu langit nampak mulai gelap Namun Sumaini belum beranjak dari tempat duduknya. Seolah tak mau menyudahi kebersamaan itu.
Sumaini, perempuan asal Dusun Montong Obok, Desa Jelantik, Kecamatan Jonggat, pergi ke taman itu bersama Habib, kakak kelasnya di MTsN Jonggat, Lombok Tengah, NTB. Semula, mereka berdua hanya berencana menghadiri peringatan Maulid Nabi di Dusun Lengkong, Desa Puyung, 8 kilometer dari rumahnya.
Acara pun usai, namun Sumaini tidak segera pulang ke rumah. Ia bersama teman-temannya menuju Taman Leneng di Mandalika. Orangtua Sumaini mulai gelisah karena anak kesayangannya tak kunjung sampai di rumah.
Diliputi perasaan campur aduk, mereka segera mencari Sumaini. Sesampainya di ujung kampung, sang ayah melihat anaknya bersama teman laki-laki itu, kemudian mencegat Sumaini yang hendak mengantarkan Habib menuju Kampung Tenges-enges, Desa Jelantik, Lombok Tengah.
Melihat Sumaini bersama laki-laki, muka sang ayah langsung merah padam, seolah tak dapat menahan amarah. Entah karena jengkel, sang ayah malah melarang Sumaini pulang ke rumah. seketika Ia kaget dengan sikap sang ayah. Ia mulai gelisah, yang dipikirnya, jika tidak pulang ke rumah, harus tinggal di mana lagi.
Bagi sang ayah, Sumaini sudah mempermalukan keluarga karena pergi bersama laki-laki bukan muhrim hingga malam tiba. konon, selama ini masyarakat NTB masih memegang teguh aturan adat yang melarang anak perempuan keluar rumah sampai malam hari. Sumaini ternyata sudah melanggar ketentuan adat bumi Sasak ini.
Sebab itulah, sanksi adat menjerat Sumaini. Ia harus pulang ke rumah laki-laki itu, dan memanggil Kepala Dusun masing-masing. “Ke mana kalian pergi dan apa yang kalian lakukan,” tanya Kepala Dusun Tenges-Enges Dangah, Desa Jelantik, Jonggat kepada perempuan kelas II MTsN.
Dengan wajah tertunduk dengan mata berkaca-kaca, Sumaini mengaku pergi ke taman Mandalika di Praya bersama teman-temannya setelah menghadiri acara Maulid. Meski sebatas ngobrol biasa, namun perbuatan mereka sudah melewati batas aturan yang dibolehkan oleh adat.
Mendengar pengakuan Sumaini, orangtua Habib dan kepala dusun berharap agar tidak memberatkan keduanya dan bisa pulang ke rumah masing-masing. Akan tetapi, apa boleh dikata, nasi sudah menjadi bubur. Sanksi adat tetap berlaku bagi mereka. Jika tidak, Sumaini akan menjadi bahan gunjingan masyarakat.
Kuatnya aturan adat membuat Sumaini tak kuasa menolak. Ia pasrah dengan keputusan adat. Mereka segera menikah lantaran Sumaini tidak diterima oleh keluarganya.
Sanksi adat pun dijatuhkan. Derai tangis menyesakkan sanak famili saat menyaksikan akad nikahnya. Sumaini terpaksa menerima kenyataan ini, sesuatu yang belum pernah terlintas dalam benak gadis itu. Sayangnya, pernikahannya tidak tercatat di KUA sebab mereka masih di bawah umur.
Setelah menjadi suami istri, sumaini justru menjadi minder karena tak lagi bebas layaknya temannya yang asyik bermain dan bersekolah. Setiap pagi, ia hanya bisa melihat teman-temannya berangkat ke sekolah dari kejauhan. Sementara suaminya harus bekerja di sawah sebagai buruh tani untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Habib lahir dari keluarga sederhana. Pada saat musim tanam, mereka ikut bekerja sebagaimana para buruh tani yang lain. Jika tidak ada pekerjaan di sawah, suaminya bekerja sebagai buruh bangunan.
Sungguh pernikahan ini menghancurkan cita-citanya yang pernah ia junjung setinggi langit. Namun, kerasnya aturan adat membuat impiannya menjadi pupus.
Disadur dari cerita perkawinan anak yang dikisahkan oleh Miwarni asal NTB