Mengembangkan LKM Pekka

Mengembangkan LKM Pekka

Nur Azizah adalah perempuan keturunan Madura yang lahir dan tinggal di Kalimantan Barat. Karena konflik antara etnis Melayu dan Madura di kabupaten Sambas tahun 2000, dia harus kehilangan harta benda dan memulai hidup baru di daerah relokasi  di desa Mekarsari di kecamatan Sungai Raya di kabupaten Pontianak – Kalbar. Suaminya stress dan hilang ingatan setelah peristiwa tersebut, dan Nur harus banting tulang sendiri menghidupi keempat anak serta suaminya.

Pada umumnya etnis Madura tidak bisa berbahasa Indonesia dan hidup secara eksklusif dalam kelompoknya, namun Nur punya kemampuan berbahasa Indonesia yang bagus. Dia bersama kader Pekka lainnya melatih dan mengajak perempuan Madura di kampungnya untuk menggunakan bahasa Indonesia agar mereka bisa berbaur dengan anggota masyarakat lain yang beretnis lain. Usaha mereka memperlihatkan ada hasilnya, sekarang sebagian besar anggota kelompok sudah bisa berbahasa Indonesia secara pasif. 

Pada tangal 22 Juni 2006, 10 kelompok Pekka di kecamatan Sungai Raya di Kabupaten Pontianak – Kalimantan Barat bersepakat membentuk Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dengan tujuan memajukan usaha kelompok dan anggota. Setiap hari kamis minggu kedua perwakilan kelompok pekka bertemu di desa Limbung untuk melakukan transaksi kas dan mendiskusikan berbagai persoalan LKM dan kelompok pekka. Permasalahan yang muncul antara lain; banyak anggota kelompok yang mengajukan pinjaman tapi modal kelompok masih terbatas dari dana simpanan, dan ada kelompok yang merasa belum memperoleh manfaat dari keberadaan LKM.

Setiap bulan mereka menyimpan dan mengeluarkan biaya transport untuk menghadiri pertemuan, namun usulan pinjamannya masih belum juga dicairkan. Nur bersama pengurus LKM lain berusaha memberi pemahaman pada perwakilan kelompok, dan biasanya setelah melakukan diskusi 3 hingga 4 kali perwakilan kelompok akan memahaminya. Namun persoalan tersebut tidak berhenti, karena perwakilan kelompok tidak melanjutkan informasi tersebut ke anggota kelompok sehingga anggota tetap menuntut dan mempertanyakannya. Bila menghadapi kasus demikian, biasanya pengurus LKM akan turun langsung ke kelompok-kelompok untuk menjelaskan tujuan didirikannya LKM dan memberi pengertian kenapa pinjamannya belum cair.

Dari dana yang berasal dari simpanan kelompok, LKM sudah dapat memberikan pinjaman pada kelompok At Takwa senilai satu juta rupiah. Pinjaman ini dipergunakan untuk mengembangkan usaha anggota kelompok At taqwa. Nur berharap agar LKM di Sei Raya dapat memberikan pinjaman untuk mengembangkan usaha kelompok, dan memiliki sekertariat yang bisa dipakai sebagai kantor dan tempat berkumpul kelompok. Dalam rangka mewujudkan harapannya, pengurus LKM dengan didampingi PL (pendamping lapang) telah memfasilitasi kelompok membuat usulan pinjaman UEP-BLM melalui Seknas Pekka. Nur juga ingin belajar membuat proposal, dan akan mengajukannya untuk  mengembangkan usaha kelompok ke pemerintah daerah melalui beberapa dinas yang ada.

Nur Azizah sudah pernah mengikuti pelatihan pengembangan LKM di Pontianak dan Pengembangan LKM lanjutan di Jakarta yang difasilitasi oleh Seknas Pekka. Sepulang dari pelatihan di Jakarta, dia bersama pengurus LKM lain membawa pulang computer untuk membantu kerja pengurus LKM dan pengurus kelompok agar lebih cepat dalam menyelesaikan pembukuan. Sehingga setiap pertemuan tidak banyak menghabiskan waktu untuk menyelesaikan pembukuan, dan anggota bisa mempunyai waktu untuk mendiskusikan beberapa materi sesuai kebutuhan guna meningkatkan daya kritis anggota kelompok.

Namun pengurus LKM belum dapat memanfaatkan computer secara maksimal untuk membantu kerja mereka, karena mereka masih belajar menggunakannya dan lokasi kantor LKM jauh dari tempat tinggalnya. Nur harus mengeluarkan uang Rp. 22.000 untuk pergi dan pulang ke sekertariat LKM ynag masih menumpang disalah satu rumah pengurus LKM di desa Limbung. Padahal penghasilan dia sehari hanya dapat untuk mencukupi kebutuhan dasar keluarganya. Menurutnya jika LKM punya dana cukup, dia akan mengajukan pinjaman untuk mengembangkan usaha warungan yang pernah dirintisnya dulu.

Permasalahan yang dihadapi NurAzizah juga dialami oleh beberapa pengurus LKM di wilayah lain yang modalnya masih terbatas. Di beberapa LKM yang telah memiliki modal banyak seperti di Sulawesi Tenggara dan NTT sudah memiliki keuntungan yang cukup dari jasa pinjaman guna mengganti transport pengurus. Kedepan LKM juga perlu memikirkan untuk mengganji beberapa pengurus untuk mengerjakan tugas rutin LKM seperti membuat pembukuan LKM dan kelompok, menerima simpanan dan angsuran berserta jasa dari kelompok, serta menerima usulan pinjaman dari kelompok. Jika keuntungan dari jasa pinjaman belum banyak, LKM juga dapat memikirkan untuk mengembangkan suatu jenis usaha dan pengurus dapat digaji dari keuntungan usaha tersebut.  

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *