Sesekali kusekat bulir-bulir air bening yang mengalir di wajahku, sambil kedua telapak tanganku sibuk membentuk adonan Salome (pentolan bakso), jajanan khas kabupaten Bima. Setiap hari untuk mendapatkan 1000 biji pentolan, Salome aku bisa menghabiskan waktu di depan perapian hampir 2 jam, ditambah 3 jam memasak 3000 biji salome tahu isi daging dengan menggunakan 2 dandang besar. Cukup menyita pekerjaanku yang lain. Terkadang kuselip-selip hayalan indah dibenakku tentang sebuah alat pencetak pentolan bakso.
“Rasanya kalau ada alat itu pekerjaanku akan sedikit lebih ringan, aku bisa sesambil melakukan pekerjaan lain”. hibur diriku. Sementara isi tahu, membuat saos dan lainnya bisa dilakukan oleh anggota Pekka, tetangga bahkan anak-anak remaja yang ikut terlibat dalam pembuatan salome. Agar mendapatkan bentuk dan hasil pentolan Salome yang sama rata harus satu orang siap duduk manis didepan panci panas dalam waktu yang cukup lama.
Hampir dua bulan kujalani aktivitas ini, di mana sebelumnya aku bersama teman Pekka memiliki kegiatan usaha individu berbasis kelompok. Separuhnya dananya kami ambil dari kas simpan-pinjam kelompok Pekka dan juga didanai oleh Bumdes untuk pemberdayaan perempuan Pekka. Kami membuat jajanan seperti kacang telur, kacang asin, donat, dijajakan di setiap warung. Kami menitipkan dagangan hampir tiap hari, termasuk aku yang berjualan pakaian dan beras. Anggota Pekka setiap hari setor semampunya. Ada yang Rp. 5000 bahkan ada juga yang setor Rp. 3000. Begitulah kegiatan kami kelompok Pekka sebelum datang Covid-19. Bahkan tiap minggu kami melakukan kegiatan arisan dan simpan-pinjam.
Pandemi Covid-19 akhirnya melumpuhkan kegiatan Pekka baik di pembinaan serta pemberdayaan. Daganganku macet, begitu juga teman Pekka lainnya. Sebagian besar anggota Pekka di kelompokku saat ini, beralih menjadi buruh tani (tanam bawang) di pulau Sumbawa. Sehari mereka mendapatkan upah Rp. 100.000,- bersyukur teman-temanku memiliki kemampuan menanam bawang. Mereka tidak terlena dan berdiam diri. Walaupun harus hijrah ke pulau lain tapi paling tidak mereka bisa mengisi kantong-kantong rupiah tanpa menengadahkan tangan.
Sementara aku, selama 4 buÄşan terdiam dan terjebak di dalamnya, tanpa pemasukan sama sekali. Kegiatan belajar mengajarku sebagai guru PAUD lumpuh total. Uang daganganku sedikit demi sedikit berkurang. Aku hanya diam tak bergerak. Menunggu ketidakpastian berakhirnya wabah dunia yang memporak porandakan perekonomianku.
Putus asa bukan sifatku. Aku mencoba bernego dengan Pemdes Samili agar mendapatkan orderan menjahit masker. Kebetulan saat itu Pemdes membutuhkan masker untuk kebutuhan warganya.
Beruntung aku memiliki keterampilan menjahit dan memiliki mesin jahit pemberian dari Disnaker Kab. Bima saat mengikuti pelatihan menjahit yang diadakan oleh Disnaker tahun anggaran 2019. Aku mendapatkan orderan itu dengan melibatkan beberapa anggota Pekka Samili. Bahagianya.
Dalam masa sulit aku dan teman Pekka diberi kepercayaan. Tapi sayang disayang. Setelah proyek masker desa berakhir, aku kembali terdiam. Suatu hari kuterima telepon dari Faslap PEKKA NTB. Di seberang sana kudengar suaranya. Katanya, Yayasan PEKKA memberikan bantuan Corona seadanya. Alhamdulillah. Puji syukurku pada Illahi Robbi. Aku mendapatkan bantuan dari Yayasan PEKKA. Dan tak kusia-siakan, dana bantuan itu kupergunakan sebagai modal awal membeli beberapa peralatan dan kebutuhan daganganku.
Aku harus bangkit. Aku harus melawan motto “Kapan lagi dengan rebahan saja, kita bisa menyelamatkan dunia?” “Ah, kupikir ini motto salah besar. Aku harus bergerak”. Tepat 1 Juni 2020. Aku memulai usaha Salome. Melibatkan beberapa anggota Pekka, tetangga bahkan anak-anak ikut andil dalam usahaku. Walaupun upah yang mereka dapatkan tak seberapa. Tetapi mereka terlihat senang dan antusias mengerjakannya.
Salome Samili pelangganku menamainya. Aku senang. Nun jauh di sana, di beberapa desa di kecamatan Soromandi, cita rasa Salome Samili cukup disukai. Ini berkat racikan tangan-tangan berjamaah dari rekan-rekan kerjaku anggota Pekka. Akhirnya kebahagiaan terindahku, “aku bisa berjalan sambil membuat jalan”. Rezki berjama’ah hasilnya akan berjama’ah pula. Yakinlah. Setiap tangan memiliki rezki masing-masing.
Walaupun medan tempuhya berliku-liku, melewati gunung-gunung dan hamparan laut biru nan indah. Serta memakan waktu hampir 2 jam untuk bisa sampai ke sana. Aku tetap melaju. Terkadang lelah mendayungi badanku, tetapi aku harus kuat lelahku kusingkirkan. Keringatku bukti perjuangan dan tanggung jawab atas pilihanku menjadi perempuan kepala keluarga.
Ketiga anakku adalah tombak perjuanganku. Semangatku berkobar demi masa depan mereka. Telah kuterima takdir perjuangan sebagai seorang perempuan kepala keluarga. Inilah hidup, kami berjuang tanpa laki-laki.
Ridho Allah bersama perempuan kepala keluarga, kuyakini Allah Maha Mengatur dan Maha Memberi yang Terbaik. Telah kuikhlaskan perjalanan hidup ini. Kelak karyaku akan dikenang oleh ketiga anakku sebagai karya terbaik bundanya. Semoga ketiga anakku dimuliakan dihadapan Allah dan manusia, diangkat derajatnya serta selamat dunia dan akhiratnya. Aamiin Allahuma Aamiin.
Perjuangan serupa juga banyak dilakoni perempuan kepala keluarga di Nusa Tenggara Barat. Laminah, Janda Cerai 18 tahun lalu, sehari-hari membuat kue kering untuk di jual dengan menitipkan kue di warung-warung hingga lintas desa, pesanan tetangga dan warga yang akan hajatan, kini social distancing membuat usaha Laminah berhenti total.
Ungkap Laminah, “Warung tutup, orang juga takut beli jajan, uang orang sepi, masyarakat terpaksa jual perabotan rumah tangganya kepada tetangga yang punya uang di kampung, jual sarung yang disimpan dalam lemari yang hanya dipakai saat hari raya saja. Wabah Covid ini membuat saya alih profesi, kini saya menjadi tukang ojek perempuan, ini saya lakoni karena warga perempuan di kampung tidak berani naik ojek kalau tidak kenal, takut tertular, jadi saya setiap pagi mengantar pergi dan pulang warga yang keluar rumah, dsb, alhamdulilah setiap hari saya mendapat pemasukan sebagai ojek perempuan Rp 30.000 – Rp 50.000.”
Penulis: Rahmawati AB, kader Pekka Bima, NTB