Cerita ini terjadi di Kecamatan Mutiara Timur, Kabupaten Pidie, Aceh. Cerita seorang perempuan bernama Yanti yang hidup menjanda karena bercerai dengan suaminya. Sekian lama berpisah dengan suami dan menjalani hidup sendirian membuatnya merasa ada sesuatu yang hilang dari kesehariannya. Sesuatu yang tidak tahu kenapa, selalu mengganggunya.
Suatu hari Yanti bertemu dengan seorang lelaki berambut ikal dari kampung lain tak jauh dari desanya, namanya Fahrul. “Witing tresno jalaran soko kulino”, begitu ungkapan bahasa Jawa yang sering terdengar untuk menggambarkan bahwa ‘cinta bisa tumbuh karena terbiasa’. Ya, dari awal hanya saling pandang, saling berkenalan nama, bertukar nomor telpon, saling bertegur sapa melalui media sosial, hingga berjanji untuk bertemu kembali pada kesempatan berikutnya. Yanti dan Fahrul terbiasa bertemu, terbiasa bercengkrama, terbiasa menumpahkan rasa, maka timbullah rasa cinta diantara keduanya. Tidak ada alasan apapun yang bisa menjawab pertanyaan mengapa mereka saling jatuh cinta?.
Bukan karena cinta itu buta, tetapi karena cinta berkaitan dengan perasaan yang tak gampang dipahami oleh orang yang tidak merasakannya. Pun demikian dengan Yanti dan Fahrul, meskipun secara fisik Fahrul tidak terlihat menarik bagi sebagian perempuan di desa itu, tapi begitulah, rasa cinta akan mengalahkan segalanya. Entah dimulai dari mana, entah bujuk dan rayu macam apa yang mereka obral berdua, hubungan Yanti dan Fahrul semakin jauh, terjatuh ke dalam kubangan cinta versi mereka. Yanti dan Fahrul dimabuk asmara. Sampai akhirnya, bisa ditebak, Yanti Hamil.
Tak perlu digambarkan bagaimana perasaan Yanti saat tahu menstruasinya berhenti. Apalagi semenjak itu Fahrul pelan-pelan menjauh bahkan beberapa bulan terakhir ia tak pernah menunjukkan batang hidungnya. Yanti tidak tahu harus bercerita ke siapa, ia memendam ceritanya sendiri. Karena khawatir kehamilannya diketahui orang lain, Yanti kerap memakai baju yang longgar dan jilbab yang lebar.
Namun sepandai-pandainya Yanti menutupi, lama kelamaan ibunya tahu perihal kehamilan anaknya. Sama seperti Yanti, ibunya pun tak mau bercerita kepada siapapun, alih-alih melaporkan masalah ini ke kepala desa dan perangkat lainnya. Meski keluarga tak pernah bercerita, namun warga lain mulai menggunjing, mereka mulai menerka-nerka, perihal perut Yanti yang makin membesar, perihal Yanti yang kini gemar berbaju longgar.
Akhirnya, semua orang tahu bahwa Yanti hamil tua. Karena mulai banyak gunjingan dan gosip yang beredar, perangkat desa pun turun tangan. Diutuslah beberapa orang untuk mendatangi Fahrul di kampungnya untuk mengklarifikasikan perihal kehamilan Yanti. Tanpa memperlihatkan rasa bersalah, Fahrul mengakui perbuatannya. Namun pada saat dimintakan pertanggungjawabannya untuk menikahi Yanti, Fahrul mengelak. “Lah, kenapa saya harus bertanggungjawab, seumpama pembeli, saya sudah bayar lunas dan pergi, tidak ada kewajiban apapun lagi”, ujar Fahrul memberikan perumpamaan.
Utusan pun terdiam dan tidak bisa bertindak apa-apa, pulang dengan tangan hampa. Sejak saat itu, tidak pernah terdengar kabar Farhul, tak ada warga desa yang tahu kemana Fahrul pergi. Fahrul benar-benar melepaskan diri dari tanggungjawab. Rapat desa pun diadakan, sidang perkara digelar, para tokoh masyarakat dan para tetua adat dihadirkan termasuk keluarga Yanti. Ada satu peraturan desa yang menurut mereka sudah dijalankan sejak pemerintahan terdahulu.
Salah satu peraturan tak tertulis itu menyatakan bahwa jika ada seorang perempuan yang hamil di luar nikah, maka yang bersangkutan harus pergi dari kampung, dan tidak boleh kembali ke desa hingga 2 tahun ke depan. Karena melihat kondisi Yanti dan keluarganya yang tergolong miskin, rapat memutuskan bahwa Yanti boleh tinggal di desanya hingga kelahiran bayinya. Yanti hanya tertunduk lesu mendengar keputusan sidang di hari itu. Tak menyangka akan berakhir seperti ini, terusir dari kampungnya sendiri, kampung yang telah melahirkan dan membesarkannya. Namun dia tak bisa berdaya apa-apa, bukankah memang harus demikian adanya? Hanya bisa menerima apapun keputusan yang dibuat oleh mereka yang mempunyai kuasa.
Hari yang telah dipastikan itu tiba, Yanti melahirkan bayi mungil tak berdosa. Entah bagaimana perasaan Yanti, tak ada yang bisa menebaknya. Namun sejak bayi nya lahir ke dunia, tak ada lagi yang pernah melihat Yanti. Dia harus patuh pada hukum yang berlaku di sana, pergi membawa serta bayi mungilnya, meninggalkan kampung halamannya tercinta. Entah dimana dia sekarang berada, bagaimana nasibnya, bagaimana hidupnya, bagaimana masa depannya. Yanti adalah contoh nyata seorang korban dari relasi kuasa yang tidak seimbang.
Kordinator : Lismayani, kader Pekka Pidie