Kami kader Pekka (Raimah, Sumiati dan Sri Asmani) berkunjung ke Kepala Dusun Dasan Duah (Bapak Kaye)Desa Sukarara, Kecamatan Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah. Kami mendapat informasi bahwa 6 bulan yang lalu Bapak Kadus berhasil memisahkan warganya yang masih duduk di kelas 3 MTS (Sebut saja “I”) umur 15 tahun. Kronologi kejadian, pada saat itu kedua pasangan ini pergi rekreasi bersama teman temannya karena terlambat pulang akhirnya “I”dan “A” mau dinikahi/ merarik/kawin lari.
Awalnya orang tua “I” tidak tau apa apa bahwa anaknya “I” ingin di ajak menikah sama si “A” (20 tahun). Tetapi masyarakat banyak tidak setuju kalau “I” dan “A” tidak dinikahi. Orang tua “I” dipengaruhi oleh asutan-asutan dari masyarakat,” masak anak gadis dibawa seharian dan pulang jam 09.00 malam tidak dinikahi, pokoknya harus dinikahi saat itu juga”. Orangtua “I” sempat memukuli anaknya, “Harus kamu menikah” kata orang tua “I”. Padahal keduanya tidak pacaran dan tidak berniat untuk kawin.
Mereka hanya sekedar berekreasi dan main dengan sesama teman- temannya. Tetapi karena pulang lewat magrib akhirnya masyarakat banyak sepakat untuk menikahkan “I” dan “A” sampai mengerjakan adat budaya sasak yaitu teperangkat (boak) potong ayam kurang lebih 10 ekor sebagai tanda bahwa sah sudah menikah. Keesokan harinya dipesejati nyelabar istilah sasak/ lapor ke rumah orang tua “I”. Tetapi untungnya Pak kepala dusun melarangnya jangan dulu dinikahkan karena “I” di bawah umur dan masih sekolah kelas 3 MTS. Tetapi masyarakat dan orang tua “I” bilang harus dinikahkan katanya.
Kemudian Pak Kadus memanggil Babimsa/polisi desa, pihak sekolah, tokoh agama dan penghulu desa untuk memberikan suatu nasehat.
Peringatan bahwa tidak diperbolehkan oleh hukum apabila akan dilangsungkan pernikahan anak, sementara anak masih sekolah, apalagi dibawah umur. Sangat bahaya bagi anak kita kedepannya baik dari segi mental, kesehatan dan kepengurusan indentitas diri sangat sulit sekali untuk diurus. Namun kedua orang tua “I” dan “A” juga masyarakat setempat tidak ingin mendengar.
Kemudian dipanggillah Bapak kepala desa Sukarara untuk memediasi ke dua anak, orang tua mereka serta masyarakat. Dan akhirnya mereka berhasil dipisahkan, lalu “I” masuk sekolah seperti biasa sampai sekarang.
Sebulan kemudian “A” menikah dengan perempuan lain dari Blung Daye Desa Sukarara juga tetapi sama-sama memenuhi persyaratan untuk menikah dan tidak menikah dengan anak.
Raimah dan teman- teman kader Pekka lainnya mendengar informasi dari pak kadus tentang berhasilnya memisahkan anak yang ingin menikah di bawah umur. kami merasa sangat bersyukur bahwa apa yang selama ini di sosialisasikan bersama teman-teman Pekka untuk mencegah perkawinan anak di tingkat dusun sampai desa ada hasilnya. Bahwa Pak Kadus sadar, mulai memahami dan mendukung program Pekka tentang stop perkawinan anak, sehingga pak kadus sangat gigih memperjuangkan supaya tidak terjadi kawin anak di Dusunnya.
Kontributor: Raimah, kader Pekka Loteng, NTB