Saya Saniah, biasa dipanggil Nia. Saya tinggal di Nagari Gunung Selasih, Kecamatan Pulau Punjung, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat. Saya merupakan anak ketujuh dari delapan bersaudara dan saat ini usia saya 48 tahun. Dulu, saya menikah di usia yang masih sangat muda yakni 16 tahun karena saya tak punya pilihan lain. Kehidupan orang tua saya sangat miskin, ayah saya hanya seorang pencari kayu bakar, sedangkan ibu saya seorang ibu rumah tangga biasa yang setiap harinya mengurus anak-anak yang jarak umurnya terlalu dekat ke satu sama lain.
Saat saya lulus SMP, saya ingin sekali melanjutkan pendidikan saya ke SMA. Namun sayang, mengenyam pendidikan yang lebih tinggi hanya sekedar menjadi mimpi belaka bagi saya. Saya harus bangun dari mimpi saya dan menguburnya dalam-dalam, kemudian melanjutkan hidup di kenyataan. Ayah saya, si tulang punggung keluarga meninggal tepat di saat kelulusan saya. Saat itu, dua kakak saya masih bersekolah di SMA, masing-masing di kelas 1 dan 2. Sebulan setelah kelulusan, saya berkenalan dengan seorang laki-laki yang saat ini menjadi suami saya. Saya menikah dengan suami saya tanpa paham apa arti pernikahan itu sendiri. Saya berpikir dengan adanya pernikahan ini, saya akan mengurangi beban keluarga saya. Saya yang tidak pernah mengurus pekerjaan rumah sebelumnya, harus mulai melakoninya setiap hari, mulai dari memasak, mencuci, hingga pekerjaan rumah lain yang harus saya urus satu per satu. Saya bersyukur suami saya mau dengan sabar mengajari saya untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Saat ini, usia pernikahan kami sudah memasuki usia 30 tahun dan kami dikaruniai empat anak laki-laki.
Saat saya berusia 30 tahun, saya mulai aktif mengikuti kegiatan-kegiatan di luar rumah, seperti menjadi kader desa untuk Keluarga Berencana (KB), kader Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), dan kader Perempuan Kepala Keluarga (Pekka). Banyak sekali ilmu dan pengalaman yang saya dapatkan setelah mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut. Salah satu pengalaman yang paling berkesan bagi saya adalah saat saya menjadi kader Pekka, di mana ilmu yang saya dapat dengan menjadi kader dapat membawa perubahan positif bagi diri saya. Saya merasa menjadi pribadi yang lebih percaya diri dan berani. Di Pekka, saya dan para kader lain mendapatkan banyak sekali pelatihan, salah duanya adalah pelatihan paralegal dan pelatihan public speaking agar kami para kader dapat terbiasa berbicara di depan umum dan mengeluarkan pendapat dengan baik saat diskusi. Dulu, ketika saya berkunjung ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) untuk pengurusan dokumen, saya merasa sangat takut dan deg-degan. Tetapi setelah mengenal Pekka dan mendapatkan pelatihan-pelatihan dari Pekka, saya menjadi jauh lebih berani, bahkan saya merasa biasa saja ketika saya dan para kader lain harus melakukan kunjungan ke Kantor Bupati Dharmasraya. Sudah tak ada lagi rasa takut, ragu, atau deg-degan di dalam diri saya saat harus melakukan kunjungan.
Satu hal yang tak pernah terbayangkan bagi saya adalah ketika saya mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pelatihan ke Jakarta. Senang sekali rasanya naik pesawat untuk pertama kalinya. Dan dari pelatihan Pekka itulah saya mengetahui pentingnya memiliki asuransi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Singkat cerita pada saat kegiatan Klinik Layanan Informasi dan Konsultasi (KLIK) di Nagari Gunung Selasih, saya mengurus BPJS dengan tanggungan lima orang dengan pembayaran Rp22.500,- per bulan, besaran yang masih mampu saya penuhi karena pekerjaan suami saya yang hanya seorang penyadap karet dengan pendapatan kurang menentu setiap bulannya.
Tahun 2018 tepatnya di bulan puasa, ketika saya sedang mandi, saya merasakan ada benjolan sebesar kelereng di payudara kiri saya. Saya yang saat itu merasa ketakutan, kemudian memeriksakannya ke puskesmas terdekat dan saya diberi rujukan ke Rumah Sakit Umum (RSU) agar mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut. Setelah dari RSU, saya diwajibkan meminum obat selama dua minggu dan melakukan kontrol lanjutan. Setelah dua minggu berlalu, saya ke RSU lagi untuk mengecek kondisi saya. Dokter mengatakan bahwa benjolan di payudara saya adalah tumor yang harus diangkat. Akhirnya saya memutuskan untuk dioperasi dan saya diwajibkan kontrol setiap minggu pasca operasi. Beberapa minggu berlalu, ternyata benjolan di payudara saya adalah tumor ganas stadium dua dan dokter menyarankan untuk mengangkat seluruh payudara saya. Saya yang tidak mau dioperasi lagi akhirnya memilih untuk meminum segala macam obat herbal seperti kayu bajakah, madu bajakah, daun binalu, daun binahong, dan lain-lain.
Beberapa tahun berlalu, di tahun 2021 tepatnya pada bulan Juli, di Nagari Gunung Selasih diadakan kegiatan vaksinasi Covid-19 secara massal. Saya beranggapan kalau saya tidak perlu divaksin karena saya memiliki tumor. Namun karena di wilayah saya mengharuskan adanya sertifikat vaksin untuk semua kegiatan yang menyangkut kader, maka saya memutuskan untuk datang ke tempat vaksinasi dan mengonsultasikannya dengan dokter yang bertugas, serta meminta surat keterangan tidak dapat divaksin. Dokter menyarankan saya untuk berkonsultasi langsung dengan dokter bedah. Saat di dokter bedah, saya menjelaskan bahwa saya adalah kader Posyandu yang bila tidak mendapatkan surat keterangan tidak dapat divaksin dari dokter, maka saya tidak dapat mengurus dokumen dan insentif. Dokter bedah yang memeriksa saya terkejut melihat kondisi saya dan lagi-lagi saya disarankan untuk segera melakukan operasi karena tumor saya sudah semakin meradang. Akhirnya, sesuai hasil pemeriksaan dokter bedah, saya diperbolehkan untuk vaksin. Setelah divaksin, saya mendapatkan insentif yang kemudian saya gunakan untuk membayar tagihan BPJS saya yang menunggak.
Dua hari pasca melunasi BPJS, saya memutuskan untuk datang ke RSU lagi dan melakukan operasi tumor di payudara saya. Di saat yang sama, suami saya di rumah juga sedang sakit demam tinggi dan dirawat oleh bidan desa. Seperti biasa, setelah beberapa minggu pasca operasi, hasil laboratorium saya keluar dan hasilnya tetap payudara saya harus diangkat seluruhnya agar tumornya tidak menyebar ke mana-mana. Hingga saat saya menuliskan cerita ini, saya belum memiliki keberanian untuk datang ke RSU dan melakukan operasi lagi. Sekarang, saya berikhtiar dengan meminum obat-obat herbal dan memperbaiki pola makan dan hidup saya. Saya tidak dapat membayangkan jika saya tidak memiliki asuransi BPJS di tengah sakit yang saya derita ini. Jika bukan karena PEKKA, saya mungkin sudah kalang kabut memikirkan biaya berobat saya. Saya ingin sehat kembali, saya masih ingin hidup untuk anak cucu saya di masa depan, dan saya masih ingin belajar banyak di Pekka. Semoga cerita saya dapat menginspirasi kita semua dalam menjaga kesehatan dan semoga kita semua diberi kesehatan.
Penulis: Saniah, Kader Pekka Dharmasraya
Editor: Capella Latief