Kawin Anak Menyengsarakan

Perkawinan anak masih tumbuh subur di masyarakat. Selain faktor kemiskinan, norma agama dan budaya turut melegitimasi tumbuhkembangnya praktik kawin anak. Upaya menghapus praktik ini dengan memberikan akses pendidikan yang layak dan berkualitas bagi perempuan dan anak, agar mereka tak terjebak pada jejak kemiskinan yang sama dan ikut berkontribusi dalam mengurangi indeks ketimpangan gender dan pembangunan.  

Siti Rahmah, 40 tahun, tak menyangka setelah 15 tahun menikah harus menelan pahitnya hidup karena ditinggal suami merantau tanpa kabar. Saat itu anak-anaknya masih duduk di bangku sekolah dasar dan menengah, ia membanting tulang, memeras keringat agar mereka tak bernasib seperti dirinya. Namun, berkat kesabaran dan kegigihannya, ia mampu membiayai pendidikan anaknya di Akademi Kebidanan. Suatu pencapaian luar biasa dari seorang perempuan yang kerap dipandang sebelah mata.

“Saya menikah dengan suami ketika berusia 16 tahun, karena dipaksa orangtua untuk segera menikah, jika tak segera kawin, nanti tidak ada yang mau alias tak laku,” kata Rahmah, yang tinggal di Desa Dharma Camplong, Kec. Camplong, Sampang, Madura.

Ketika mengikuti lomba baris-berbaris untuk memperingati tujuh belasan, Rahmahh memotong  rambutnya yang panjang agar terlihat rapih. Setibanya di rumah, ia malah disiram air comberan oleh saudaranya yang laki-laki akibat rambut Rahmah yang terlihat sebahu. Suatu bentuk kontrol budaya terhadap tubuh perempuan.

Perumpamaan perempuan, kata orangtuanya, ibarat nampan yang disanggul di atas kepala. Perempuan seolah harus ditawarkan layaknya barang supaya laku terjual,  jika ada yang mau tak boleh ditolak. Bagitulah budaya memperlakukan perempuan, sebagai  entitas yang tak bebas, keberadaannya tergantung seberapa menarik kuasa laki-laki atas tubuh perempuan.

Bahtera kebahagiaan yang diimpikan, berubah menjadi petaka saat dirinya tahu suaminya selingkuh sejak anak pertama berusia 4 tahun. Namun, ia diamkan, seolah tak terjadi apa-apa. Sejak itu, suami sudah jarang memberi uang belanja. Setiap pagi, menjadi kebiasaan suami, sebelum bangun pagi jam 9.00 harus disediakan kopi dan rokok Surya Gudang Garam atau Jisamsoe, rokok paling elite di kalangan orang Madura, jika tak menemukan dua hidangan itu, suami tak segan-segan melemparkan barang di sekilingnya bahkan memukuli Rahmahh.

Menghadapi perlakuan itu, Rahmahh hanya bisa menerima dan pasrah. Tak dapat menghindar dari tingkah kasar suami kepadanya. Tiap hari yang dipikirkan hanyalah melayaninya agar suami tidak marah-marah, hingga ia lupa mengurus dirinya sendiri. 

Ditinggal suami merantau

Lama tak bekerja, suami pun pamit untuk bekerja ke Jakarta. Rahmahh tak menaruh curiga, bahkan ia berharap setelah mendapatkan pekerjaan di Jakarta, prilakunya berubah dan perhatian terhadap keluarga. Tiga bulan di jakarta, suami tak kunjung memberi kabar atau menanyakan kabar keluarga. Setahun sudah berlalu kabar tentang suaminya tak kunjung terdengar di ujung telponnya.

Tiba-tiba telpon genggam Rahmah berbunyi dari nomor tak dikenal. Jelas suara perempuan terdengar sambil memarahi bu Rahmahh dan menuduh dirinya sudah merebut suaminya. Lama bu Rahmah tertegun seolah tak percaya apa yang sedang dialaminya. Kini sirna sudah pengharapan kabar baik yang dirindukan Rahmah selama in. perempuan di ujung telpon masih terus mengancam jika terus mengganggu suaminya. Rahmah panik dan sekaligus sakit hati mendapati suaminya direbut orang lain. Akibat kejadian ini, Rahmah sempat berpikir ingin memutus pendidikan anaknya karena beban ekonomi yang harus ia tanggung sendiri. Namun, ia tak putus harapan untuk mewujudkan mimpi mereka.

Tahun 2012,  Rahmah mengajukan gugat cerai ke Pengadilan Agama. Dalam menjalani proses persidangan, ia tak didampingi siapa pun meskipun saudara sendiri sebagai pegawai kecamatan yang lebih paham prosedur hukum, “sengkok andik colok, dhe’ gunana mon tak eguna’agi (saya punya mulut, sia-sia jika tak digunakan),” kata anak keenam dari 9 bersaudara ini. Sebagai orang yang belum pernah mengenal dunia peradilan, ia mencari informasi cara mengurus perkara perceraian di pengadilan. Berdasarkan informasi dari temannya, Ia datang ke kantor dan bertanya di setiap pintu loket pelayanan. Usahanya berbuah madu, akta cerai kini sudah digenggamannya.

Kini Rahmah sudah bisa tersenyum, lepas dari belenggu nestapa yang diderita. Ia pun merasa lebih bahagia. “Punya laki seperti sengsara,” kata perempuan yang pernah 10 tahun menjadi kader Posyandu.

Merintis Pekka di Sampang

Pada 2016, Rahmah bergabung menjadi anggota Pekka. Dua bulan berselang, ia kemudian dikirim ke jakarta sebagai Promotor Pekka Perintis, suatu program pemberdayaan yang digagas PEKKA bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak. ia pun diberi tugas mencari calon Pekka Perintis ke beberapa desa. 25 desa di 4 kecamatan di 2 kabupaten yang ia datangi, menyusuri jalan terjal, licin karena sedang musim hujan. Luka akibat Jatuh  dari motor tak membuatnya menyerah sampai menemukan calon Pekka perintis. Respon kepala desa ada yang baik, ada juga yang menaruh curiga, dan dikira akan dijual ke Jakarta.

Setelah mengikuti acara Pekka Perintis, Rahmah mulai dipercaya masyarakat. Ia aktif membentuk kelompok Pekka. Di samping itu, ia juga memberikan pendampingan bagi anggota masyarakat yang mau berobat tanpa memungut biaya sepeser pun, dan juga pendampingan kasus KDRT. Kini Rahmah sudah mampu mengorganisir masyarakat dan anggota Pekka untuk berkegiatan. Pemerintah daerah juga sangat mendukung kegiatan Pekka di Sampang. Ke depan, diharapkan Pekka Sampang dapat menjalin kerjasama dalam program pemberdayaan masyarakat.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *