Uang seribu rupiah yang tidak berarti banyak saat ini, ternyata oleh kelompok Pekka dapat membangun sebuah center. Dengan tekat yang bulat untuk memiliki satu tempat berkumpul yang besar dan memadai maka kelompok Pekka di NTB sepakat untuk berswadaya mengumpulkan uang 1.000 per bulan per orang. Hal ini dilakukan mencontoh dari pengalaman kelompok Pekka di NTT.
Uang yang dikumpulkan dipakai untuk membeli bahan bangunan dan membayar tukang. Setiap proses pembangunan selalu saja membuat panitia dan pengurus kelompok serta kader deg-degan dengan tagihan bahan bangunan dan upah tukang, yang mau tidak mau memeras pikiran darimana harus mencari dana. Akhirnya pilihan terakhir adalah berhutang.
Pada saat pembangunan dinding selesai dan memulai membangun atap dana habis. Kayu usuk untuk atap belum ada dananya. Panitia tidak kehabisan akal, mencari kawan kawan saat mereka menjadi buruh bangunan. Teman sesama buruh ini dapat membantu mencarikan toko untuk berhutang kayu, kaca jendela, grendel dan pegangan kunci. Berkat rekomendasi seorang anak ibu Pekka yang menjadi penjaga di sebuah toko bangunan akhirnya dapat berhutang dengan dasar kepercayaan.
Pada saat memulai atap bangunan, kepala tukang meminta agar dilakukan upacara adat selamatan yang merupakan kepercayaan masyarakat bahwa jika bangunan telah sampai pada pengerjaan atap bangunan, maka harus memotong ayam diatap bangunan yang akan dipasang, pemotongan dilakukan oleh tukang.Tujuan dari ritual ini adalah untuk mengganti nyawa yang akan hilang, sehingga tukang bangunan yang akan mengerjakan bagian atap terhindar dari bahaya terjatuh dari atap. Walaupun tidak setuju dengan alasan tersebut, namun demi ketenangan hati para tukang, dilaksanakan juga acara pemotongan ayam di atas atap. Dan tentu saja pengeluaran ini menjadi dana ekstra diluar dugaan.
Pengerjaan terakhir dari pembangunan adalah pemasangan plafon, lagi-lagi panitia bingung mencari dana. Sebenarnya hanya sedikit sekitar 1.000.000. Di tengah kebingungan ada sebuah toko dekat center yang menawarkan diri memasang plafon dengan cara berhutang. Dengan malu-malu panitia meminta hutang bahan bangunan lain seperti daun pintu.
Selama pembangunan berjalan, banyak masyarakat berdecak kagum tidak percaya dan berkomentar “Mengapa pekka bisa membangun center sebesar ini ya….. Mengapa pekka bisa punya kantor ya, padahal dia kelompok perempuan, janda pula, tetapi bisa ya. Satu –satunya kelompok masyarakat yang dapat membuat kantor adalah kelompok pekka. Wah…kantor desa kalah nih… “.
Kader lain menambahkan, “Mba Reni, banyak masyarakat tidak percaya dengan kita bahwa kita membangun center ini dengan dana kita sendiri. Masyarakat berkata : masak sih tanah seluas itu pekka beli sendiri. Masak sih bangunan sebesar itu pekka swadaya. Tidak percaya…pasti ada dana dikasih pemerintah”. Lalu dijawab kader : “Ada bantuan 60 juta, tapi mana cukup dana segitu, tanah itu saja kita beli dengan dana kita sendiri. Memang sih dana kita dulu dikasi pinjam untuk diputar di kelompok sekecamatan. Hasil perputaran dana tersebut berkembang dan menjadi besar. Hasil dari perkembangan dana itu dipakai untuk membeli tanah dan sebagian kita pakai utk membangun. Selain itu juga setiap anggota Pekka mengumpulkan uang Rp 500-1.000 tiap bulan. Nah….dana ini yang dipakai untuk membangun center kami ini……….“.
”Mba, sejak dibangunnya center kita ini, banyak yang menyapa saya dengan hormat, mereka bangga dengan kelompok Pekka, dan saya merasa tersanjung. Masyarakat bilang : oh….ternyata Pekka-Pekka ini tidak hanya sekedar berkelompok ya. Ternyata Pekka-Pekka ini pikirannya jauh sekali, mereka tidak hanya sekedar berkelompok, tetapi mereka benar-benar berjuang dan memikirkan 10 tahun ke depan”. Ungkap kader bangga meniru ucapan masyarakat.
Ada satu ibu anggota Pekka yang berusia lanjut, dengan semangatnya bertanya pada Koordinator Lapang : “Mba..kapan kita diajak ke pembangunan kantor? Walaupun saya sudah tua, tapi saya ingin datang kesana sekedar membantu mengangkut tanah urug. Bawa kami semua kesana dalam 1 mobil mbak. Saya ingin lihat kantor kita, biar kami bayar ongkos sendiri kami mau..”. Ternyata anggota yang tua ini juga ingin melihat kantor Pekka. Mungkin karena dia termasuk yang dimintai sumbangan uang dan pasir 1 karung sebelum mulai pembangunan dan 2 karung saat pembangunan berjalan. Tidak heran jika banyak anggota yang penasaran dan ingin melihat kantor mereka.
Walau babak belur dan bermodal nekat membangun center, banyak pelajaran berharga yang diperoleh pengurus dan kader. Disaat dana tidak ada sama sekali, sementara pembangunan harus berjalan, kebersamaan amatlah berharga, kepedulian seluruh anggota kelompok sangat terasa, masing-masing anggota kelompok berduyun-duyun menyerahkan dana swadaya untuk pembangunan center.
Pembangunan fisik sebagai simbul kekuatan kelompok, menunjukkan eksistensi kelompok dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat akan tujuan kelompok. Pembelajaran bagi masyarakat bahwa dana swadaya dapat diwujudkan. Ini menjadi contoh bagi mereka, agar mereka mau bergerak, berkegiatan, saling menghormati dan menghargai. Ibu pekka dengan kemampuan sendiri dapat berjuang untuk diri sendiri merubah kehidupan menjadi lebih baik.