Kisah Hidup Ibu Pekka di Pesisir Pantai Batu Bara, Sumatera Utara

Kisah Hidup Ibu Pekka di Pesisir Pantai Batu Bara, Sumatera Utara

Foto Diri Farida

Namaku Farida, aku adalah seorang perempuan yang lahir dari keluarga sederhana pada tahun 1981 silam. Statusku saat ini adalah seorang janda dengan delapan anak. Kehidupan rumah tanggaku bisa dibilang sangat menyedihkan dan berantakan. Di pernikahan pertamaku, suamiku tiba-tiba menikah lagi dengan alasan khilaf, padahal kami sudah dikaruniai tiga anak. Kekhilafan macam apa yang dimaksud, aku pun tak tahu. Ia sampai bisa menghamili seorang janda. Dengan perasaan sedih dan marah, aku minta suamiku untuk menceraikanku, tapi ia tidak mau.

Enam tahun lebih aku merasakan hidup dimadu di Kota Duri, Riau bersama istri muda suamiku. Pada bulan Februari 2006, aku memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuaku, tempat di mana aku dilahirkan, Kabupaten Batu Bara. Aku merasa sudah tidak sanggup lagi dengan kehidupan seperti itu. Sudah sebulan aku tinggal bersama orangtuaku, dan pada suatu hari, suamiku memberi kabar melalu handphone, ia berpesan, apabila ada seorang lelaki yang menyukaiku dan ingin menikahiku, dia telah mengikhlaskannya. Bagiku, kata-kata itu sudah cukup untuk kuanggap sebagai talak.

Tiga tahun lebih aku hidup bersama anak-anakku, suka dan duka kami lalui bersama. Walaupun saat itu mantan suamiku masih mengirim uang belanja untuk keperluan anak-anaknya, tapi aku tak menggantungkan hidupku padanya. Aku bekerja di desaku sebagai penjemur udang kecopai yang merupakan bahan baku pembuatan terasi.

Di awal tahun 2009, aku berkenalan dengan seorang duda tanpa anak yang kehidupannya sudah cukup mapan. Umurnya memang lebih tua dariku, tapi itu tak menjadi masalah karena aku masih memiliki harapan tuk membina rumah tangga baru yang lebih bahagia. Di akhir tahun 2019, aku resmi menikah dengannya. Di awal pernikahan, rumah tangga kami cukup bahagia karena aku bisa memiliki anak dengannya. Dari pernikahan ini, kami dikaruniai empat orang anak. Namun setelah tujuh tahun berlalu, suamiku mulai bertingkah dan sering mencari masalah.

Kebun sawit warisan dari orang tuanya habis dijual, dan uangnya ia pakai untuk berjudi serta main perempuan. Aku tidak bisa berbuat banyak. Setiap aku melarang perbuatan tercela suamiku, ia pasti selalu berkata bahwa itu bukan urusanku, aku juga tidak mempunyai hak untuk mengatur apalagi melarangnya karena rumah dan kebun sawit tersebut merupakan warisan dari orang tuanya. Perilakunya semakin hari semakin kasar, ia juga selalu meluapkan emosinya kepadaku. Aku sudah tidak sanggup lagi meladeninya hingga akhirnya aku minta cerai dari suamiku, dan dia pun mengabulkan permintaanku. Pada awal tahun 2018, kami pun resmi bercerai.

Masih di tahun yang sama setelah aku resmi bercerai, aku mulai mengenal Pekka. Saat itu, aku bekerja sebagai penggunting udang kotak untuk membiayai kebutuhan ketujuh anakku. Ketiga anakku dari pernikahanku yang pertama sudah mulai beranjak dewasa, sehingga mereka ikut bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Ketika aku mulai ikut kelompok Pekka, aku selalu aktif dalam setiap pertemuan dan kegiatan yang dilaksanakan. Aku juga sering memposting setiap kegiatan yang dilaksanakan di desaku. Mungkin alasan itulah yang membuat Mbak Diah, Pengawas Lapang saat itu menunjuk diriku untuk berangkat ke Jakarta dan mengikuti pelatihan paralegal di akhir tahun 2019. Di tahun 2019 juga, aku mengenal seorang duda baik hati yang bisa menerimaku dan juga ketujuh anakku. Bahkan kami sudah berencana akan melangsungkan pernikahan sepulangnya aku dari Jakarta.

Setelah pulang, aku pun akhirnya menikah lagi untuk yang ketiga kalinya. Kehidupan rumah tangga baruku sangat bahagia. Suamiku begitu menyayangiku dan juga anak-anakku. Di pernikahanku kali ini, kebahagiaanku dan suamiku semakin bertambah karena kami dikaruniai seorang bayi perempuan. Namun dua minggu setelah aku melahirkan bayiku, suamiku mulai sakit. Aku pikir suamiku hanya masuk angin biasa. Namun keadaannya semakin buruk setiap harinya. Segala usaha untuk berobat pun sudah kami lakukan, tapi tetap tidak membuahkan hasil. Ketika bayiku berumur empat bulan, suamiku meninggal dunia. Aku harus kembali menjalani hari-hariku untuk membesarkan kedelapan anakku seorang diri. Aku yakin kalau ada hikmah atas semua kejadian ini, dan aku harus tetap semangat bekerja demi menghidupi mereka. Semoga perjalanan hidupku bisa lebih baik lagi ke depannya.

Penulis: Farida Hanum

Editor: Nur Aisyah

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *