Perjalanan hidup ini tidaklah selalu mulus. Terkadang melewati jalan beraspal, kadang melewati bebatuan, kadang juga melewati kerikil-kerikil tajam. Tapi memang harus dilalui.
Begitu juga dengan aku, yang dilahirkan 43 tahun silam di Desa Samilli yang berpenduduk hampir 6.000 jiwa. Mata pencaharian mayoritas bertani. Terletak tidak jauh dari pusat pemerintahan Kabupaten Bima. Untuk sampai desa ku memerlukan waktu tempuh sekitar 25 menit dari Bandara Muhamad Salahudin Bima.
Aku adalah anak ke 7 dari 7 bersaudara. Tepat di usia 21 tahun, Ayahku dipanggil oleh pemilik kehidupan. Saat itu aku sangat sedih dan terpuruk karena aku tidak bisa melihat ayahku untuk terakhir kalinya. Aku sedang menempuh ujian negara pada semester 3 di Fakultas Hukum Universits Islam Syekh Yusuf Tangerang.
Aku berjodoh dengan orang Tangerang dan melahirkan dua orang anak. Perjalanan rumah tanggaku tidak semulus yang kubayangkan. Perkawinanku kandas tepat 10 tahun pernikahanku.
Aku membawa lari kedua anakku yang masih sangat kecil. Yang pertama berusia 4 tahun. Yang kedua genap berusia 30 hari. Tujuanku adalah kembali ke kampung halamanku. Semua karena kehadiran orang ketiga.
Sejak saat itu aku menumpang tinggal dirumah orang tuaku, sambil berjualan kecil-kecilan. Hari- hariku dilalui dengan masa penyesuain diri. Orang mulai tahu aku tak bersuami.
Inilah awalku mengerti kenapa dengan “janda”. Pada dasarnya janda adalah perempuan dipilih. Bukan keinginan, dan juga bukan kemauan. Tapi memang dipilih karena mampu berada di posisi ini.
Kata orang. Janda “heboh” oh!! Tidak menurutku. Aku percaya yang membuat janda heboh adalah orang -orang heboh. Mereka para suami heboh, mereka para istri heboh, mereka para anak heboh. Umumnya mereka adalah laki-laki dan perempuan heboh.
Karena banyaknya manusia heboh membawa janda masuk dalam perangkap stereotipe “heboh”.
3 tahun aku berada di desa kelahiranku. Banyak cobaan dan godaan mulai meyerangku. Akupun menikah dengan mantan pacarku. Pernikahan ini terpaksa kulaksanakan karena aku tidak sejalan dengan ibuku. Suatu hari terjadi percekcokan antara aku dan ibuku.
Hari itu, aku diberitahu oleh pembajak sawah agar aku menyiapkan bibit padi sebanyak dua kaleng (ukuran pembibitan). Aku lanjutkan informasi itu ke ibuku.
Ternyata ibuku marah besar karena merasa tidak dihargai. Ibuku menganggap aku mencari informasi pada orang lain. Sementara ibuku tahu semua tentang tanah garapanku itu.
Akhirnya ibuku berkeinginan pergi dari rumah. Aku menahanya. Aku bilang. “Ibu jangan pergi, biarkan aku dan anak- anak yang pergi. Tapi, ibu harus tahu. Hari ini dan saat ini aku akan menikah karena aku keluar rumah” aku marah besar.
Aku harus menikah. Tapi menikah dengan siapa? Ingatanku tertuju pada mantan pacarku. Dia duda. Pernah menikah 3 kali. Catatan sejarah hidupnya masuk zona hitam. Akhirnya malam itu aku putuskan untuk menikah dengannya.
Ini memang pernikahan diluar kewajaran. Sebulan kami masih bertahan. Pertengkaranpun sering terjadi. Aku mulai tidak nyaman dengan pernikahan ini. Aku memutuskan pisah dengan suami. Tapi belum urus surat talaq. Karena kami hanya nikah sirih.
Aku bersama kedua anakku hijrah ke Kota Mataram dan numpang tinggal di rumah kakak perempuanku. Untuk menyambung hidup, aku mulai mengajar disalah satu PAUD. Aku sangat senang dengan kegiatan baruku. Menjadi guru PAUD tidak ada dalam benakku, tapi setelah kujalani ternyata jiwaku terpanggil untuk itu.
Akhirnya kuputuskan untuk mengambil jurusan pendidikan anak usia dini di Universitas Mataram. Lagi-lagi aku bekerja sambil kuliah. Terkadang ku ajak kedua anakku ke kampus dan masuk dalam ruang kuliah.
1 tahun berjuang bersama kedua anakku. Suamiku datĂ ng membawa perubahan sikap lebih baik. Aku bilang biar kita tetap menjadi suami istri, tapi kita hubungan jarak jauh saja.
Kamu di Bima, aku di Mataram. Dia setuju. Kami menjalani hubungan jarak jauh. Rumor tentangnya bersama perempuan lain pun sering ku dengar. Mau bilang apa, ini adalah pilihanku.
6 tahun menjalani rumah tangga jarak jauh, aku pun hamil dan melahirkan anak laki-laki yang saat ini berusia 2 tahun. Aku menetap kembali di Bima.
Walaupun sudah melahirkan anaknya. Kebiasaan buruknya masih tetap ada. Suamiku suka minggat dalam waktu lama. Ah…. aku sudah terbiasa dengan kehidupan ini. Aku nikmati saja.
Kontributor: Rahmawati AB