Pada suatu sore di bulan September tahun 2021, aku dan beberapa tetanggaku sedang duduk santai sambil bercengkerama di depan kios milik Sumarni yang terletak tak jauh di belakang rumahku di Desa Samili, Kecamatan Woha, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Aku yang datang paling akhir tentu saja penasaran dengan apa yang sedang mereka bicarakan. Aku awalnya hanya diam dan mendengarkan, lalu aku sampai pada kesimpulan bahwa mereka sedang membahas masalah perkawinan anak. Aku yang sedang fokus mendengarkan, kemudian dicerca dengan beberapa pertanyaan.
“Kakak, bukankah sekarang sudah ada aturan kalau tidak boleh menikah di bawah usia 18 tahun?”, tanya Emi Yati, salah satu tetangga yang ikut duduk santai di depan kios.
“Apa, sih, yang sedang kalian bicarakan?, tanyaku balik ke Emi Yati.
“Anaknya Sina (nama tetangga sekampung) kemarin malam selarian (bahasa Sasak untuk kawin lari) dengan pemuda yang ternyata masih satu desa. Si perempuan usianya belum genap 14 tahun”, Emi menjelaskan.
“Memangnya nggak sekolah?”, tanyaku melanjutkan.
“Enggak. Si perempuan sudah putus sekolah dikarenakan ikut orang tuanya bertani di daerah Sumbawa”, sahut Sumarni, si pemilik kios yang juga tetangga kami.
“Anaknya yang mana?”, tanyaku lagi.
“Yang biasa belanja ke sini (kios milik Sumarni), badannya kecil dan kurus. Kalaupun sekolah, mungkin masih kelas satu atau dua SMP. Rencananya minggu depan akan dinikahkan, jadi saat ini masih mengurus segala kelengkapan berkas untuk urusan administrasinya”, terang Sumarni.
“Waduh, ternyata masih sangat kecil, mana bisa dinikahkan? Setahuku, NTB termasuk salah satu provinsi pertama di Indonesia yang mengeluarkan Peraturan Gubernur tentang pencegahan pernikahan dini atau perkawinan anak. Malah semua pihak yang terlibat di dalamnya dapat dikenakan sanksi enam bulan penjara jika terbukti mendukung terjadinya perkawinan anak. Itu sedikit yang kutahu”, lanjutku menjelaskan.
Selang beberapa hari, aku bertemu dengan ibu dari si anak tersebut. Aku sempat bertanya apakah pernikahannya tidak bisa ditunda mengingat usia anaknya yang masih di bawah umur. Aku juga menjelaskan sedikit kalau sebenarnya Pemerintah saat ini melarang perkawinan anak, serta usia minimal menikah baik untuk perempuan dan laki-laki adalah 19 tahun. Peraturan dilarangnya perkawinan anak tentu bukan tanpa alasan. Pada perkawinan anak, seringkali para calon pengantin perempuan tidak siap, baik secara mental, finansial, dan juga kesehatan reproduksinya. Tentu ini akan menimbulkan dampak yang cukup fatal di kemudian hari.
Di sisi kesehatan misalnya, si anak perempuan akan lebih rentan untuk mengalami pendarahan dan terkena kanker serviks. Selain itu, dari sisi finansial juga mereka belum mampu untuk mencari nafkah karena anak-anak seusia mereka seharusnya masih mengenyam bangku pendidikan di sekolah, bukan bekerja. Lalu dari sisi mental juga mereka belum terlalu stabil, terlebih apabila terjadi hal-hal yang di luar batas kemampuan mereka untuk berpikir dan bertindak, sehingga ancaman terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tentu tidak dapat dihindarkan, serta tidak menutup kemungkinan akan terjadinya perceraian.
Dari penjelasanku kepada si ibu, terlihat dari raut mukanya yang sedih dan kecewa bahwa sebenarnya dia tidak tega untuk menikahkan anaknya yang masih di bawah umur, tapi apa daya, pernikahan itu akan tetap dilaksanakan. Sebenarnya aku tidak memiliki pemahaman yang mendalam tentang pencegahan perkawinan anak atau pernikahan dini, ditambah aku juga bukan siapa-siapa. Jadi, kemungkinan besar aku hanya akan dianggap sebagai angin lalu bila aku menyosialisasikan tentang pencegahan perkawinan anak di masyarakat sekitar tempat tinggalku. Pada akhirnya, pesta pernikahan sederhana pun tetap terjadi tepat pada tanggal 21 September 2021. Mereka menikah secara sederhana dan disaksikan oleh keluarga besar mereka. Aku sangat miris melihatnya. Lagi-lagi aku tak dapat berkutik.
Penulis: Rahmawati
Editor: Capella Latief