“Keluargaku benar-benar miskin. Aku harus mengubur dalam-dalam keinginanku untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi,” ungkap Ina Agnes Barek Suban memulai ceritanya. ”Walau lulus sebagai juara pertama namun aku tidak melanjutkan pada sekolah menengah,” lanjutnya bercerita. Hari-hari yang dilaluinya tak seindah teman-teman seusianya.
Pagi hari ketika teman-temannya berangkat ke sekolah, perempuan kelahiran 26 Juli 1978 ini masuk ke dapur membantu ibunya. Saat sore hari anak seusianya asik bermain, anak ketiga dari enam bersaudara ini masih di kebun bersama ayahnya. Memasuki usia remaja seperti kebanyakan anak gadis lainnya, ia pun berkenalan dengan seorang pemuda tampan asal Desa Lewopulo, Kecamatan Witihama, yang kemudian menjadi kekasih hatinya.
Masa indah remajanya dilalui bersama sang kekasih hati. Ingin mengurangi beban hidup orangtuanya, ia menyetujui permintaan sang pujaan hati; mewujudkan masa indah mereka dengan hidup bersama, walaupun perkenalan mereka masih dibilang singkat, hanya 5 bulan. Pada akhir tahun 1999 dia memutuskan kawin lari bersama Gusti, pria pujaan hatinya itu.
Dengan hidup bersama, dia berharap dapat membawa perempuan asal desa lewo bunga ini keluar dari kemiskinan. Namun sayang, kenyataan tidak sesuai dengan impiannya. Hal yang dimulai dengan kebohongan pasti akan berujung dengan ketidakharmonisan. Gusti ternyata bernama asli Karim dan seorang muslim, bukan seperti pengakuannya saat berkenalan bahwa dia beragaman katolik. Hal ini diketahui Ina Nes saat dia menginjakkan kaki di rumah suaminya tersebut. Tidak adanya restu dari ibu mertua, membuat keharmonisan rumah tangga sulit diwujudkan.
Sering terjadi keributan kecil di kehidupan rumah tangganya. Saat usia kehamilan tiga bulan, sang suami membawanya keluar dari rumah ibunya dan menitipkannya di rumah Nenek Moyang Karim di Desa Lamahelan Kecamatan Ile Boleng. Hari-hari selanjutnya perempuan malang ini menumpang hidup dari famili suami, sedangkan sang suami kembali ke rumah orangtuanya di Witihama. Dua hingga tiga minggu sekali Karim datang mengunjunginya, namun memasuki usia kehamilan 5 bulan Karim sama sekali tidak menampakkan batang hidungnya.
Beruntung keluarga yang menampungnya baik hati dan tidak mengijinkannya bekerja yang berat-berat. Menghadapi kenyataan itu, Ina Nes mengambil keputusan untuk kabur dan kembali ke rumah orang tuanya di Lewo Bunga. Namun baru beberapa hari Ina Nes disusul oleh keluarga yang menampungnya, memintanya untuk pulang karena adat mereka tidak mengijinkan untuk melahirkan di rumah orangtua.
Calon ibu ini pun memenuhi permintaan keluarga dan pulang ke kampung Lama Helan. Namun sebelum sempat keluar rumah dia berdoa, ”Tuhan..aku sudah tak sanggup lagi biarkan anakku lahir dan besar di luar’’. Doanya di dengar Tuhan, pada 16 September 2000 jam 02.00 dini hari pecah tangis Rivaldus Balamaking di usianya yang masih 7 bulan dari dalam kandungan. Putra semata wayangnya lahir di rumah tidak ditolong oleh tenaga kesehatan ataupun dukun bersalin. Atas paksaan keluarga, enam hari setelah Rival lahir sang ayah datang. Mereka kemudian hidup bersama di Lamahelan.
Kebersamaan mereka hanya berjalan 11 bulan, karena suaminya pamit untuk mengadu nasibnya ke tanah Papua. Nes dan anaknya tinggal berdua di gubuk kecil berdinding bambu, beratap daun kelapa dan berlantaikan tanah. Sementara Karim, setahun dua tahun masih mengirimkan sesen dua sen untuk kehidupan anak istrinya namun selanjutnya tak ada sama sekali.
Apapun pekerjaan yang penting halal dilakukan Ina Nes untuk kelanjutan hidup mereka. Titi jagung, ambil upahan dan buruh tani ia jalani, namun segala usahanya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Di tahun 2008, Ina Ines bergabung dengan Kelompok Pekka Tabah Hati setelah diajak oleh salah satu pengurusnya. Setelah beberapa bulan bergabung di kelompok, perempuan pekerja keras ini kemudian meminjam uang sebanyak satu juta rupiah untuk usaha jualan di rumah dan membeli seekor anakan babi.
Anakan babi itu dia pelihara lalu dikawinkan hingga menghasilkan tiga ekor anak babi. Dari hasil menjual anak babi inilah kemudian dia membeli 30 lembar seng untuk mengganti atap rumahnya yang sudah mulai bocor. ”Aku ingin, aku dan anakku bisa tinggal di rumah yang layak ditempati. Tapi aku tidak mungkin membangunnya dengan serta merta,” kenang orangtua tunggal Rival tersebut sambil meneteskan air mata.
Untuk mewujudkan impiannya, perempuan berkulit sawo matang itu meminjam lagi dari kelompok sebesar 5 juta rupiah; sebagian untuk menambah modal jualan dan sebagian lagi untuk cetak batako. Pemerintah desa tidak menutup mata, ketika ada program anggur merah masuk di desa, mereka memutuskan Ina Nes termasuk salah satu dari mereka yang mendapatkan dana untuk pembangunan rumah tinggal. Masing-masing keluarga mendapat suntikan dana sebesar 10 juta rupiah.
Namun dana tersebut tidaklah cukup, sehingga Ina Nes kembali mengajukan usulan pinjaman ke Koperasi Seni Tawa sebesar 15 juta untuk tambahan dana membangun rumahnya. Pinjaman dari koperasi cair enam bulan sebelum dana dari desa cair, sehingga pinjamannya dari koperasi digunakannya terlebih dulu untuk modal usaha; 5 juta untuk menambah modal jualan sembako di rumah dan 10 juta rupiah digunakan untuk menimbun arak, minuman keras dari penyulingan air irisan pohon lontar.
Saat dana anggur merah cair pada tahun 2014, Ina Nes menjual arak yang ditimbunnya seharga 14 juta rupiah. Keinginan untuk memiliki rumah yang layak terpenuhi. Meski hanya seluas 5 x7 meter dan tembok tanpa plesteran dan berlantai semen kasar, tapi setidaknya memberikan kenyamanan buat mereka berdua. Namun sayang, modal usaha sembako ludes untuk biaya konsumsi selama pembangunan rumah.
Untuk mengangsur pinjaman ke koperasi, Ina Nes harus meninggalkan putra tunggalnya sendirian di rumah dan bekerja pada salah satu warung makan di kota dengan gaji 700.000 rupiah per bulan. Pekerjaan itu dijalaninya sampai pandemic COVID melanda. Ina Nes diistirahatkan sambil menunggu situasi normal kembali. Ia kembali ke rumahnya pada 10 april 2020 dengan mengantongi uang 200 ribu rupiah. Ina Nes tidak ingin kembali lagi ke tempat kerjanya, ia bertekad untuk kembali merintis usahanya dengan modal pinjaman yang akan diajukan ke koperasi nanti.
Saat ini dia sudah mulai jualan kecil-kecil dengan modal dari SHU kelompok yang diterimanya. Saat ini Rival lulus dari SMA, namun ketiadaan biaya membuat Rival tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Bersama ibunya, Rival berencana akan memproduksi dan menjual arak.
Kontributor Kornelia Bunga