Menjadi Buruh Tebu Demi Pendidikan Anak

Menjadi Buruh Tebu Demi Pendidikan Anak

Jangan pernah lagi berkata “Jangan tanamkan harapan yang luas pada kenyataan yang terbatas”. Karena kita punya Allah SWT yang memungkinkan kemustahilan, mengganti keresahan dengan ketenangan, mengganti ketidakmungkinan dengan harapan. Selama kita terus berdo’a dan berikhtiar, bersama-Nya… Tak ada jalan buntu.

Namaku Hasmiaty, usiaku 48 tahun. Aku anak pertama dari 7 (tujuh) bersaudara dari pasangan Andi Abdul Rasyid dan Andi Siti Hawa. Ketika aku berusia 13 tahun, ibuku meninggal dunia. Selang waktu tak berapa lama dari kematian ibuku, aku harus berpisah dengan adik-adikku untuk melanjutkan sekolahku. Aku lulus SMA di tahun 1987.

Setelah lulus SMA perjalanan hidupku yang sesungguhnya pun dimulai. Aku pergi ke Provinsi Sulawesi Tenggara untuk mencari pekerjaan. Namun ternyata, disana harapaku belum terjawab. Kemudian kulanjutkan petualanganku ke Kalimantan Timur, di sini pun aku tak jua menemukan pekerjaan. Kulanjutkan perjalanan ke Tarakan, Kalimantan Utara. Lama sekali aku berkeliling di tempat ini, sampai akhirnya aku diterima bekerja di CV. Hawa. Aku tak lama bekerja di sana, hanya 3 (bulan) karena aku menikah dengan seorang pria, seorang pria yang sebetulnya aku tak tahu sama sekali asal-usulnya.

Di bulan ketiga pernikahanku, aku hamil. Aku sangat senang akan memiliki seorang anak. Namun, rasa senang ini kemudian terusik dengan kepedihan yang luar biasa, di kehamilanku yang menginjak 4 (empat) bulan, suamiku berselingkuh dengan wanita lain. Pilihan yang tersisa bagiku hanyalah mundur dari bahtera rumah tangga yang sudah kami berdua bangun beberapa waktu itu dan mengubur dalam-dalam semua yang telah kami lalui bersama. Aku memutuskan kembali ke Bone.

5 (lima) bulan kemudian aku melahirkan putri pertamaku Fatimah. Ketika itu rasa bahagia yang teramat luar biasa mengalir deras dihatiku, “Aku menjadi seorang ibu!!!”. Walau memang tetap kurasa sakit yang mendalam karena perselingkuhan suamiku.

Sebulan setelah melahirkan, aku mendapatkan surat dari pamanku. Dalam surat itu pamanku berkata, “Sabarki nak, suamimu telah menikah lagi dengan perempuan lain. Uruslah anakmu sebaik-baiknya, sampai dia menjadi anak yang berguna”. Saat membaca surat itu, hatiku hancur. Sakit sekali kurasa. Dan sampai saat ini, hatiku sakit jika teringat hal itu.

Ketika Fatimah berumur 3 (tiga) tahun, dia menanyakan ayahnya “Ummi, dimana ayahku? Semua orang ada ayahnya yang menggendongnya”. Kupeluk erat-erat Fatimah, kucium wajah mungilnya sambil berkata, “ayahmu sudah meninggal, janga ditanyakan lagi. Sabar ya, nak”. Dalam hatiku menangis.

Setelah berusia 7 (tujuh) tahun, Fatimah tahu ayahnya masih hidup dari cerita tetanggaku. Ketika itu Fatimah sangat marah kepadaku, “Ummi bohong pada saya, ternyata ayah masih hidup. Mengapa Ummi berbohong kepada saya, sementara Ummi meminta saya untuk selalu jujur?”. Aku menangis dan memeluk Fatimah, kubisikan padanya “Ayahmu memang masih hidup, tapi di mata Ummi ayahmu sudah meninggal. Karena tidak mungkin seorang ayah masih hidup jika dia tidak mencari anak isterinya”. Fatimah kecil tertegun, kemudian dia berkata “Ummi, kalau begitu ayah memang sudah meninggal. Dan Ummi, tolong jangan tinggalkan saya”. Fatimah memeluk erat tubuhku sambil menangis. Perih sekali hatiku ketika itu dan aku bertekad akan membesarkan Fatimah sampai dia benar-benar menjadi seseorang yang berguna. Aku terus bertawakal kepada Allah.

Di tahun 1999 aku menikah lagi. Sama dengan pernikahanku yang pertama, aku menikah dengan lelaki yang tak kukenal sebelumnya. Aku menikah secara agama. Namun yang jelas, dalam benakku hanya berkata, pria ini adalah suamiku dan aku harus memposisikan diri sebagai isteri yang patuh terhadap suami. Dari pernikahan kedua ini, aku dikaruniai 2 (orang) anak laki-laki, Ulil dan Ihwal.

Ketika Ulil berusia 6 (enam) tahun dan Ihwal berusia 7 (tujuh) bulan, suamiku meninggal. Aku berpikir betapa pahitnya hidupku. Namun aku harus tetap kuat di hadapan anak-anakku, aku tidak boleh lemah menghadapi cobaan ini dan aku harus terus bertawakal dan be’do’a kepada-Nya serta terus berikhtiar untuk melanjutkan kehidupanku beserta ketiga anak-anakku.

Cobaan pun datang bertubi-tubi, 3 (tiga) tahun setelah suamiku meninggal, adikku meninggal, disusul dengan ayah dan adikku yang satunya lagi. Kejadian ini dialami selama 2 (dua) tahun berturut-turut. Namun aku tetap terus bertawakal kepada Allah dan menerima cobaan serta ujian hidup ini.

Aku bekerja ganda, sebagai Ibu sekaligus mencari nafkah sebagai buruh perkebunan tebu dan menjadi guru di TPA dengan gaji yang sangat kecil. Hal ini kulakukan demi keberlangsungan sekolah anak-anakku. Sungguh lelah kurasa, namun aku percaya lelah ini akan menghasilkan kebahagiaan. Fatimah anak pertamaku ternyata merasa gelisah untuk hal ini. Ketika lulus SD, dia tidak ingin melanjutkan sekolah dan ingin bekerja, begitu seterusnya sampai dia lulus SMA, alasannya adalah darimana aku akan mendapatkan uang untuk menyekolahkan dia. Aku memberikan cerita hidupku kepadanya, ku yakin apa yang kualami ini akan mengalirkan semangat Fatimah untuk tetap melanjutkan sekolah. Aku berkata padanya, “Nak, lihat Ummi. Ummi lulusan SMA, tapi Ummi tidak menjadi apa-apa. Ummi hanya menjadi buruh lepas. Apakah kamu ingin hidup seperti Ummi? Ummi ingin kamu maju, jangan seperti Ummi. Ummi ingin kehidupanmu lebih baik dari Ummi dan mendapatkan pekerjaan yang layak”. Hati anakku pun tergerak, dia kemudian tetap melanjutkan kuliah di STAIN di Kecamatan Kajuara sambil bekerja sebagai honorer di salah satu yayasan pendidikan di Makassar.

Pada tanggal 22 Oktober 2012, Mbak Nunung dari Pekka datang ke Camming, daerah dimana tempatku tinggal saat ini. Aku sangat tertarik dengan Pekka. Bagiku, program ini sangatlah bagus karena berbeda dengan program dari organisasi-organisasi yang pernah aku ikuti, dan dibentuklah kelompok yang kami beri nama Mattiro Bulu (Melihat dari atas gunung). Dengan adanya Pekka aku mulai bangkit. Semangatku tumbuh kembali. Bersama Pekka, aku merasa beban hidupku berangsur-angsur berkurang. Kesedihanku sedikit terlupakan. Hal ini karena aku selalu mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan Pekka dimana aku bertemu banyak orang dan banyak ilmu yang kudapat dasri Pekka.

Kebahagiaanku ini bertambah, karena izin Allah aku kemudian mendapatkan kesempatan untuk mengikuti fornas di Jakarta. Aku sangat senang, aku mengunjungi kementerian koordinator bidang kesejahteraan rakyat yang sebelumnya tak pernah kubayangkan. Betapa terharunya ketika ku teringat duduk di forum bersama teman-teman dari 19 provinsi di Indonesia. Photo fornas dengan memakai kaos seragam wilayah yang kudapat, kuperbesar menjadi 10 R dan kupajang di dinding rumahku. Ketika melihat photo itu, aku menangis terharu, mengingat setiap moment yang ada ketika itu. Dan photo itu mengalirkan semangat dalam hidupku.

Setelah fornas, hidupku mulai berubah. Percaya diriku bertambah. Ketika akan dilaksanakan pelayanan terpadu satu atap di kecamatanku Libureng. Aku dan teman-teman pengurus serikat mendata dari rumah ke rumah. Teman-temanku memberikan pelajaran baru bagiku. Aku harus memiliki keberanian. Dan pelayanan terpadu satu atap ini pun berlangsung, ketika itu tanggal 4 Desember 2013.

Setelah kegiatan itu usai, aku mendapatkan tugas lain. Aku mendapatkan sms untuk mendata siapa saja yang tidak memiliki jamkesmas atau jamkesda. Aku mendata dari rumah ke rumah dan ketika itu juga langsung saja namaku dan nama anak-anakku kucantumkan, karena selama ini aku dan anak-anakku tidak dapat mengakses program itu. Kupikir aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Mengingat tidak hanya jamkesmas saja yang tak kudapat tetapi juga anak-anakku yang saat ini bersekolah di SMP dan di SD tidak pernah sama sekali menerima baik dana bos maupun dana sumbangan bagi siswa miskin. Padahal aku telah melampirkan persyaratan yang harus dipenuhi yaitu KK, KTP, dan rapor anak-anakku. Namun meskipun begitu, aku yakin Allah tetap akan membuka rezekiku walau bukan dari pintu yang ini. Ternyata pengurus serikat sangat heran dengan data-data yang ku dapat, apalagi Tari ketua LKM kami, dia sampai bertanya darimana aku mendapat data-data itu. Aku langsung bilang dengan bangga “aku mendatanya dari rumah ke rumah”. Aku berharap usulan ini diterima dan kami mendapat JKN itu.

Kebahagiaan lainnya semenjak aku ikut Pekka dan sepulangnya dari Fornas Pekka di Jakarta, aku akhirnya dapat mengikuti musrenbang. Ketika itu musrenbang dilaksanakan pada tanggal 05 Januari 2014. Dalam musrenbang, aku mengusulkan agar listrik masuk ke dusunku (Dusun Camming, Desa Mattiro Bulu, Kecamatan Libureng), dan aku juga mengusulkan agar jalan menuju kampungku diperbaiki serta ada sumbangan bahan bangun untuk mesjid di atas tanah yang almarhum adikku hibahkan kepadaku. Aku senang, salah satu usulku mendapatkan respon yang positif. Setidaknya aku sekarang melihat ada tiang listrik di dusunku. Semoga listrik masuk dusun ini segera terlaksana.

Setelah Fornas PEKKA dan musrenbang itu, aku semakin dikenal orang. Aku diundang diacara pengajian di desa dan di dusun Lappa data. Dikeduanya aku diberi amplop. Aku sangat senang sekali, di dalam amplop itu ada uang yang isinya Rp 50.000,- berarti dengan dua amplop yang terkumpul aku mendapatkan uang Rp 100.000,-. Ternyata jika kita menjalankan semuanya dengan penuh keikhlasan maka balasan dari Allah pun akan sangat melimpah. Itu yang kini menjadi hal yang akan terus aku pegang. Setelah dua acara tersebut aku juga diundang untuk menjadi pembaca ayat suci al-qur’an di acara Maulid Nabi di kantor kecamatan. Dan aku akan mempersiapkan diri sebaik mungkin.

Namun dari semua kebahagiaan yang ada, ada hal yang amat sangat membuat aku luar biasa bahagia, yang membuatku terharu dan mengucap syukur nikmat atas semua yang diberikan Allah SWT. Pada tanggal 15 Desember 2013, anak pertamaku Fatimah di wisuda dengan predikat cumlaude dan sekarang bekerja menjadi guru di yayasan pendidikan di Makassar. Anak keduaku naik kelas ke kelas 3 SMP dan anak bungsuku naik kelas ke kelas 2 SD. Aku merasa berhasil, menjadi orang tua tunggal tidak menghalangi aku untuk menyekolahkan anak-anakku sampai perguruan tinggi, asalkan aku tetap berdo’a dan berusaha, insyaallah semua cobaan itu dapat kulewati dan menghasilkan kebahagiaan yang luar biasa.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *