Pentingnya Keterlibatan Perempuan Dalam Penyusunan Peraturan Desa

Pentingnya Keterlibatan Perempuan Dalam Penyusunan Peraturan Desa

Awan tipis menyelimuti mentari. Cuaca pagi menjelang siang pada hari Senin, 23 September 2019, sebentar cerah  sebentar berawan. Riuh suara Akademia Paradigta memasuki halaman Center Pekka Seni Tawa.

Para akademia yang hadir tersebut kemudian duduk lesehan melingkar di aula utama tempat kelas dilaksananakan.

Setelah berdoa memohon kelancaran proses belajar, mentor mengingatkan kepada akademia tentang materi sebelumnya tentang Perempuan dan Tata Kelola Pemerintahan Desa.

Pemerintahan Desa yang bersih dan bertanggung jawab adalah pemerintah yang dikelola dengan transparan dan jujur dengan melibatkan masyarakat dalam perencanaan, pengawasan, evaluasi dan pelaporannya.

Materi pembelajaran memasuki modul 6 pokok bahasan 2 tentang Perempuan Memahami Peraturan Desa. Tujuan pembelajaran adalah agar akademia mengetahui jenis peraturan dan prinsip peraturan yang ramah terhadap perempuan serta pentingnya keterlibatan perempuan dalam pembuatan peraturan desa.

“Perempuan harus terlibat agar dapat mengusulkan peraturan yang akan meringankan perempuan agar kita tidak terpinggirkan”,

ucap Onna menjawab pertanyaan mentor mengapa perempuan harus terlibat dalam proses penyusunan Perdes.

Mengkop peserta lainnya mengungkapkan, “penyesalannya bahwa terkadang perempuan sendiri melanggar aturan. Dalam aturannya saat ada orang meninggal, masyarakat dapat menyumbang dengan uang seikhlasnya dalam amplop. Namun karena gengsi, seringkali mereka membawa hantaran berupa makanan yang nilainya lebih mahal. Akhirnya menjadi beban untuk diri perempuan sendiri”, katanya

Diskusi berlangsung seru. Dengan semangat luar biasa mereka menyampaikan berbagai macam peraturan yang ada di desa masing-masing.

Ada 9 aturan yang muncul dari sharing mereka hari itu, yaitu:

  1. Perdes larangan anak-anak nongkrong di jalan lebih dari jam 9 malam,
  2. Perdes larangan masyarakat mabuk,
  3. Perdes sumbangan sosial kematian berupa uang dalam amplop,
  4. Perdes dan aturan adat tentang jumlah pakaian penutup mayat paling banyak 10 potong pakaian,
  5. Aturan Paroki/Gereja tidak ada pesta pribadi untuk anak sambut baru,
  6. Kesepakatan bersama warga bahwa menghadiri suatu pesta harus ada undangan, jika ada masalah yang timbul dari pelanggaran maka denda ke lewo (kampung) sebesar Rp 1 juta,
  7. Aturan adat jika menikahi istri orang atau janda maka belisnya 5 batang gading,
  8. Kesepakatan bersama bahwa perempuan yang sudah menikah ke luar desa jika kembali ke rumah orangtua dan mengantongi surat pindah wajib membayar RP 500.000,-
  9. Perdes tentang penggantian suguhan kopi atau teh menjadi air kemasan.

Vero salah satu mentor yang memfasilitasi materi tersebut mengajak peserta untuk manganalisis dari aturan-aturan tersebut aturan mana yang berpihak kepada perempuan dan aturan yang mendiskriminasi perempuan.

Dari hasil diskusi masih banyak aturan-aturan yang tidak berpihak atau ramah terhadap perempuan. Misalnya pada aturan ketujuh, hak perempuan dibatasi dengan belis yang tinggi; demikian juga pada aturan ke-8 yang isinya mendiskriminasikan perempuan.

“Aturan yang berlaku di desa ternyata ada yang merugikan perempuan juga. Disini kami baru sadar”, kata Lipa.

Peserta menyadari pentingnya keterlibatan perempuan dalam proses penyusunan aturan-aturan di desa untuk memastikan kepentingan perempuan dapat diakomodir, meski jalan untuk pelibatannya sendiri tidak akan mudah karena budaya patriarki yang masih sangat kental di lingkungan masyarakat.

Kontributor : Kornelia Bunga

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *