Malam itu bagai malam panjang. Jarum jam menunjukkan pukul 3 pagi, Rina tidak bisa memejamkan mata.Terbersit dalam pikirannya untuk melakukan sesuatu agar terlepas dari belenggu yang menjeratnya. Rina, gadis periang usia 16 tahun merupakan anak kedua dari lima bersaudara. Gadis yang dilahirkan dari keluarga sederhana. Mereka tinggal di satu desa di daerah Cipanas Jawa Barat.
Setelah membuka pintu kamar, perempuan itu mulai melangkah pelan agar tak menimbulkan suara, sesekali menengok ke belakang, memastikan sekitarnya betul-betul aman. Setelah berada di luar rumah, ia berjalan cepat walaupun tak tahu arah yang akan dituju.
Rina merupakan anak perempuan tertua di antara saudara saudaranya. Sebab itu, Ia harus menggantikan pekerjaan ibunya di rumah mulai dari masak, mencuci, mengurus rumah sampai mengasuh adik-adiknya. Rina pasrah saat orangtuanya menyuruh untuk tidak melanjutkan sekolah saat Rina lulus Sekolah Dasar.
Rina menyadari kondisi ekonomi keluarga. Apalagi ia mempunyai adik yang masih kecil- kecil. Sedangkan ibunya setiap hari harus ke kebun untuk membantu babaknya mengolah kebun yang letaknya lumayan jauh dari rumahnya.
Apalagi di dusun tempat Rina tinggal tidak banyak anak- anak yang seusianya melanjutkan ke SMP apalagi ke SMA. Anak laki- laki kebanyakan bekerja sebagai buruh tani agar mendapatkan penghasilan, sementara anak perempuan dituntut membantu orangtua di rumah atau bahkan dinikahkan.
Begitu juga dengan nasib Rina. Ketika Rina sedang asyik menonton tivi, tiba-tiba bapaknya memanggil, seolah ada sesuatu yang sangat penting. Rina pun menghampiri dan duduk di hadapannya. Lalu bapaknya mulai berbicara dengan nada hati-hati.”Rina, umur kamu sekarang sudah menginjak 16 tahun, sudah cukup untuk kamu berumah tangga. Kebetulan anak tetangga kita, si Mamat, berniat untuk menikahi kamu.” Spontan Rina menjawab dan memotong pembicaraan bapaknya.” Si Mamat yang anak tetangga itu?? ngga mau iihh..” kata Rina sambil meninggikan pundaknya.
Rina pun merasa lega karena sudah menjawab pertanyaan bapaknya. Ia yakin bapaknya tidak akan memaksakan kehendaknya.Namun, Rina tiba-tiba heran, ibunya banyak sekali membuat kue, dibantu beberapa tetangga dekatnya. Rina pun bertanya pada ibunya,” Umi ada acara apa, Kenapa bikin kuenya banyak banget??” Ibunya hanya tersenyum dan mengatakan, “Itu buat acara syukuran”. Meski memendam kecurigaan dalam hati Rina, namun ia percaya kalau orangtuanya tidak akan menikahkan dia tanpa persetujuannya.
Ternyata dugaan Rina keliru. Hari itu, beberapa orang membawa perlengkapan resepsi perkawinan ke rumahnya. Di tambah lagi desas-desus perkawinan itu sudah tersebar di telinga tetangga. Betapa hancur dan sedih hatinya, karena Ia mulai yakin kalau dirinya yang akan bersanding esok. Tak terasa air matanya mulai membasahi pipinya. Namun Ia tak bisa berbuat apa-apa.
Bahkan ia tidak tahu kepada siapa ia harus mengadu. Esok harinya ia dibangunkan lebih awal, karena akan didandani oleh tim rias pengantin. Sesekali airmatnya berlinang, namun ia coba usap dengan telapak tangannya. Ia berusaha membendung airmatanya agar tak tumpah membanjiri pipinya yang telah dirias.
Selama di pelaminan Rina tak banyak bicara. Sampai akhirnya tamu mulai sepi.Dan Rina pun disuruh masuk kamar, menyusul Mamat yang sudah tidur terlebih dahulu. Ada perasan takut dan juga jijik saat ia harus tidur satu ranjang dengan seseorang yang tidak pernah ia cintai. Untungnya Mamat pun tidak memaksakan kehendaknya.
Keesokan hari, keluarga Rina tiba- tiba panik, Rina menghilang. Orangtua Rina merasa malu dan kecewa atas kelakuan anaknya. Namun begitu, mereka menyadari kalau semua itu kesalahan mereka yang terlalu memaksakan kehendak terhadap anak.
Dua bulan kemudian Rina pun kembali ke rumahnya. Sang suami masih setia menunggu dan tidak ingin menceraikannya. Beda dengan orang tuanya Mamat yang merasa telah di permalukan oleh Rina dan tidak mau menerima Rina sebagai menantunya lagi.
Atas kesepakatan bersama akhirnya Rina dan Mamatpun bercerai. Namun hubungan keluarga Rina dengan keluarga Mamat sulit untuk diperbaiki lagi. Bahkan pada saat keluarga Rina ada yang meninggal pun, keluarga Mamat tidak ada yang datang melayat. Seperti itulah keegoisan orangtua, yang terlalu memaksakan kehendaknya.Menikahkan anak di usia dini, tanpa memikirkan akibat yang akan terjadi. (Kartini)
Kontributor: Kartini, kader Pekka Cianjur