Sekolah di Ujung Waktu

Sekolah di Ujung Waktu

“Perempuan itu kerjanya di dapur. Tidak perlu sekolah tinggi!  Pupuslah harapanku mendengarnya.

“Aku menangis melampiaskan rasa kecewaku ketika ibu menolak keinginanku untuk melanjutkan sekolah ke bangku SMP”, demikian ucap Siti Anisa.

“Seandainya Ayahku masih hidup, tentu aku masih punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi lagi.

Namun takdir berkata lain. Ayahku telah pergi untuk selamanya ketika usiaku masih dua tahun”, lanjut nya.

Anak bungsu dari tiga bersaudara ini sehari-hari hanya berteman dengan kedayang, nuda dan pola hapit yaitu peralatan-peralatan yang digunakan untuk menenun. Tak ada hari tanpa menenun bagi Siti Anisa.

Anak perempuan satu-satunya kelahiran Boleng, 10 Oktober 1966 tersebut setia membantu Ibunya membiayai sekolah kakaknya. Dari hasil menenun itu, kakaknya meraih gelar sarjana.

Kesetiaan mengabdi sepenuhnya pada Ibunda tercinta dia tinggalkan semenjak ia mengambil keputusan untuk menikah dengan pria pujaan hatinya pada tahun 1988. Meski sudah menikah Ibu dua anak ini tetap menenun untuk membiayai keluarganya karena Sang Suami merantau ke Malaysia.

“Pekka sungguh sangat membantuku. Aku dengan mudah mengakses pinjaman untuk merehab rumah dan membiayai pendidikan kedua anakku ke perguruan tinggi”, ungkap wanita separuh baya ini.

Kehadiran sekolah akademi paradigta baginya seperti air di padang pasir, perempuan yang haus akan pendidikan tersebut menyambut sekolah ini dengan sukacita. Usianya memang sudah tidak muda untuk bersekolah namun semangatnya tidak pernah menua.

Hingga dirinya mendaftar diri sebagai calon akademia pada angkatan pertama di Center Seni Tawa tahun 2017, dia bertekad untuk belajar sampai tuntas hingga di wisuda.

Dari 3 teman lain di Desa Boleng, hanya dia yang bertahan hingga lulus sekolah. Ketiga temannya mengundurkan diri.

“Aku sungguh senang. Kini aku semakin percaya diri. Berani berbicara dan mengeluarkan pendapat di depan orang banyak, bahkan menjadi narasumber pelatihan pencelupan benang yang diselenggarakan oleh Pemdes dari kecamatan yang berbeda denganku”

katanya penuh kebanggaan.

Siti Anisa juga membentuk satu kelompok arisan tenun yang bernama ‘Mentari’ dan beranggotakan 14 orang.

Setiap dua minggu sekali masing-masing anggota kelompok ini menyetor satu kain tenun. Kemudian dilakukan pengundian untuk menentukan siapa yang mendapatkannya hari itu. Kelompok ini terbentuk dari hasil penugasan lapang semasa menjadi Akademia Paradigta.

Berkat belajar di Akademi Paradigta, kini dia tidak perlu lagi membeli sayuran. Dia kini punya warung hidup di pekarangan rumahnya. Meski belum berhasil, dia pernah melakukan upaya mempengaruhi kebijakan di desanya terkait penyederhanaan adat kematian. “Upacara kematian biasanya melibatkan seluruh warga desa selama seminggu. Aku mengusulkan agar hanya melibatkan satu suku saja. Kucoba mulai dari suku kami. Namun hanya berjalan diawal-awal saja”, kata perempuan yang kini memiliki 2 cucu ini menutup ceritanya.

Kontributor: Kornelia Bunga

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *