Isak tangis bahagia menyelimuti pelataran rumah Bapak Paulus Duran. Pagi itu (13 September 2019), seluruh masyarakat Desa Lewoblolong dan Bayuntaa serta rumpun keluarga dari kedua belah pihak di desa sekitarnya memadati halaman rumah Ama Paulus.
Kami semua adalah saksi sejarah. Sejarah perdamaian antara kedua keluarga yang telah bertikai selama 60 tahun.
Fajar baru menyingsing di ufuk timur, namun peralatan seremonial Adat Tuak Wua telah tertata rapi di halaman Ama Paulus, pertanda proses seremonial akan segera dimulai.
Tuak Wua merupakan salah satu upacara adat perdamaian di dataran Adonara, Kabupaten Flores Timur. Ama Nadus sang pendamping dari keluarga besar Suku Toda Desa Bayuntaa mulai gewale (melakukan pendekatan) ke keluarga besar Suku Bulu Ama Desa Lewobelolong yang didampingi oleh Ata Tuka Mola (orang pintar yang melakukan seremoni adat Tuak Wua), Ama Ola Kopon dan timnya.
Nadus sang delegasi terlihat bolak balik dari rumah keluarga suku Toda ke rumah keluarga suku Bulu Ama untuk menyampaikan permohonan maaf dan meminta agar mereka boleh berdamai. Sayangnya permintaan mereka tidak langsung dikabulkan.
Sekali, dua kali hingga tiga kali permintaan maaf itu ditolak. Penolakan itu tak menyurutkan niat mereka, hingga akhirnya pada pendekatan ke empat kalinya Ama Paulus, perwakilan keluarga suku Bulu Ama menyetujui permintaan mereka. Nadus tertawa riang dan kembali mengarak seluruh keluarga yang bersalah menuju rumah keluarga Bulu Ama.
Tim Ola Kopon mulai beraksi. Aksi pertama adalah menukar barang milik kedua suku yaitu Tuak (air irisan pohon lontar), Ekot Wayak (tempat sirih pinang), Koli Kebako (rokok asli dari tembakau) kemudian mencampurnya. Disaksikan lebih dari 300 orang dewasa, sang orang pintar mulai melakukan seremonial Tuak Wua.
Proses berjalan tenang, hening dan penuh khidmat. Tak ada sedikitpun suara gaduh yang keluar dari mulut kami, yang ada hanyalah helaan napas panjang pertanda rasa lega dari semua orang yang hadir karena kedua suku yang bertikai mulai kini berdamai kembali.
Lelaki sepuh itu kemudian meminta petugas pembagi tuak dari masing-masing perwakilan keluarga untuk saling menyuguhkan tuak kemudian dilanjutkan dengan makan sirih pinang dan isap rokok bersama pertanda pertikaian telah berakhir.
Ama Domi pihak yang bersalah bersalaman dengan Ama Polus diikuti anggota keluarga yang lain. Air mata bahagia tak terbendung keluar dari mata semua yang menyaksikan. Sang orang pintar melanjutkan aksinya, menyembelih 2 ekor ayam jantan dari kedua suku sebagai jamuan makan bersama. Ama Polus dalam sambutannya memohon ampun kepada kedua bapaknya yang menjadi korban waktu itu dan memohon maaf atas peristiwa 12 September 1959.
Kejadian yang telah membuat seluruh warga menderita. Dia berharap peristiwa yang sama tidak terjadi lagi.
Menurut cerita orangtua, 60 tahun yang lalu telah terjadi peristiwa pembunuhan kepada Ama Bolen (orangtua kandung dari Paulus Duran) dan Kopong Sabon. Peristiwa naas itu terjadi dini hari saat mereka berdua pulang dari memancing.
Pembunuhan terencana ini dilakukan oleh Sabon Duran (orang tua kandung dari Domi Duran) bersama saudara-saudaranya, Doni Duran, Masan Bali dan Beda Boli. Persoalan keluarga menjadi pemicu kejadian ini. Sabon Duran beristri Tupat Welada anak dari Ama Bolen dan mempunyai 2 orang anak dari pernikahan tersebut. Namun Tupat Welada dan anak-anaknya kemudian diambil kembali ke rumah Ama Bolen karena Sabon Duran menikah lagi.
Tragedi 1959 berlanjut menjadi masalah besar dan konflik panjang untuk kedua suku .Warga kedua desa sampai lari meninggalkan desanya, bahkan sampai dengan hari ini kampung lama Desa Lewoblolong belum dihuni.
Kontributor: Petronela Peni, Kader Pekka Flores Timur, NTT