Hari Selasa 4 Juni, waktu menunjukkan jam 6 sore saat rombongan Seknas dan Mbak Festina dari Bank Dunia sampai di desa Lamawara, Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, NTT. Masyarakat ramai menunggu berdiri di sisi kanan dan kiri jalan menunggu rombongan kami tiba. Tua, muda, laki-laki, perempuan dan anak-anak terlihat gembira menyambut kedatangan kami yang sudah berjam-jam menunggu dengan sabar. Desa Lamawara terletak di sisi pantai nan indah, semburat warna merah mentari senja menyinari laut laksana kaca memendarkan warna kemerahan dengan riak-riak kecil menambah keindahan pantai dari kejauhan.
Rombongan berhenti dan turun dari kendaraan kemudian jalan kaki sekitar 20 meter menuju tempat seremoni penyambutan secara adat. Di satu mulut gang kami berhenti dan berdiri disambut oleh 4 laki-laki yang mengenakan pakaian adat, salah satunya memimpin penyambutan dengan mendendangkan lagu dalam bahasa lokal yang kami tidak mengerti artinya. Tetapi dari nada suara dan mimik wajah serta bahasa tubuh aku bisa merasakan ada kesedihan dan kesyahduan di dalamnya. Aku berdiri di sebelah Dete, kemudian disebelahnya berdiri Susan, staf lapang Pekka yang bertugas di Flores Timur, NTT. Desa Lamawara adalah desa dimana Dete dilahirkan dan dibesarkan bersama 6 orang saudaranya. Dete terlahir sebagai anak kedua dari 6 bersaudara yang terdiri dari 3 laki-laki dan 3 perempuan.
Saat penyambutan adat berlangsung dan mendengarkan seksama lantunan lagu yang dinyanyikan, tiba-tiba kudengar Dete disampingku menangis tersedu sedan dan menghapus air mata berkali-kali dengan selendang tenun ungu yang terselempang di lehernya. Tiba-tiba pula tangisan itu mengeras dan dia menundukkan kepala dengan lunglai, aku takut dia pingsan, kemudian aku rangkul tubuhnya dan dia benamkan kepalanya di pundakku. Aku merasakan kesedihan dan keharuan yang sangat dalam dirinya dari guncangan tubuhnya yang dia tahan dengan sekuat tenaga. Hal ini berlangsung cukup lama, tangisan Dete kadang mengeras kembali beberapakali seiring lantunan lagu yang dibawakan lelaki di depan kami berdiri. Kulihat perempuan-perempuan yang berdiri di acara itu menyeka airmata mereka terbawa larut oleh tangisan Dete. Seorang penduduk berdiri dibelakangku mengatakan bahwa ibu yang berdiri di dekat Susan adalah ibunda Dete. Kemudian dia mendekat dan memeluk Dete. Ibu dan anak perempuan itu menangis bersama berangkulan saling menguatkan. Aku lihat Dete kadang kembali menangis keras dengan kepala tertunduk lemas.
Selesai lantunan lagu, seorang lelaki memberikan tuak di batok kelapa kepada lelaki yang bernyanyi tadi, dan kemudian menuangkan sedikit tuak ke tanah dan meminum sisanya. Begitu adat daerah ini saat menerima tamu yang berkunjung ke desanya. Biasanya tuak itupun diberikan kepada tamu laki-laki untuk meminumnya, namun tidak mereka lakukan kepada kami saat itu, entah apa alasannya. Kemudian rombongan dipersilahkan untuk memakan sirih pinang kepada perempuan dan rokok dari daun lontar kepada lelaki sebagai tanda penerimaan desa kepada rombongan yang baru datang. Saat perempuan pembawa sirih pinang berada di depanku terdengar seseorang di belakangku berkata : “Ambil sedikit saja Mbak, takutnya tidak terbiasa, hanya sebagai syarat saja”. Sambil menyecap sirih pinang yang terasa “sepet” di lidahku yang mulai terbiasa dengan rasa ini karena sudah lebih dari 5 kali aku memakannya sejak aku menginjakkan kaki di Adonara dan Lembata ini. Kami berjalan mengikuti tarian adat yang dibawakan oleh 4 orang laki-laki yang memegang parang dan tombak serta mengenakan kain sarung tenun khas Ile Ape. Simbol dari kegagahan dalam arena perang. Dengan ekspresi dan gerakan khas peristiwa dalam satu peperangan. Dari 6 penari itu, salah satu penari itu adalah ayah Dete. Dia menyambut sendiri kedatangan putrinya memasuki desanya. Kemudian kami dibawa ke tempat dimana biasa dilakukan upacara adat. Kulihat ada pohon besar dengan daunnya yang rimbun terletak ditengah-tenah tanah yang kosong. Aku membayangkan seperti dalam fim Avatar, dibawah pohon yang sangat rindang dimana komunitas Avatar biasa melakukan upacara adat menghormati leluhur mereka, memuja dan memohon keberkahan kepada leluhur mereka.
Di satu sudut lokasi itu ada tonggak kayu berdiri dengan dua buah kelapa kecil kering menggantung diatasnya, dan untaian daun kelapa kering. Tidak begitu jelas sebenarnya, karena hari mulai gelap. Disitulah ritual adat dilakukan. Seorang lelaki tua memimpin upacara dalam bahasa lokal dengan duduk bersila. Sementara kami berdiri melingkar memperhatikan upacara dengan seksama. Setelah selesai upacara, seorang penerjemah menjelaskan bahwa ritual tadi merupakan permohonan pada leluhur Lamaholot yang menguasai wilayah tersebut. Doa yang dipanjatkan adalah permohonan keselamatan dan penerimaan atas Dete dan rombongan yang hari itu berkunjung. Dengan doa yang dipanjatkan maka berkah dan ijin telah diperoleh, dan selamat sampai nanti rombongan pulang ke rumah masing-masing. Penerjemah juga menjelaskan bahwa tempat ini juga merupakan tempat untuk pengampunan dan rekonsiliasi bagi para pendosa, misalnya ada seseorang yang membunuh, maka dia datang kesini mengakui semua perbuatannya dan meminta maaf. Tempat ritual ini berlaku bukan hanya untuk kecamatan ini saja tapi untuk wilayah Lamaholot yang meliputi pulau Flores dan Lembata yang mencakup beberapa kabupaten.
Selanjutnya rombongan berjalan menuju balai desa dimana kami diterima secara formal. Hadir kepala desa, sekretaris camat, ibu-ibu Pekka, tokoh masyarakat laki dan perempuan serta masyarakat lainnya. Di pintu masuk berdiri ibu-ibu dan anak-anak ikut menyaksikan proses penerimaan rombongan. Acara dimulai dengan pembukaan, ucapan selamat datang, doa, sambutan. Aku duduk di sebelah Dete. Disela-sela acara dengan hati-hati aku bertanya kepada Dete : “Maaf Dete, bisa aku bertanya mengapa tadi dalam penyambutan di pinggir jalan Dete menangis keras?”. Dete kemudian menjelaskan : “Iya mbak, yang melantunkan lagu dalam sambutan itu adalah saudaraku, isinya menceritakan bahwa menurut masyarakat disini keberhasilan seseorang diukur dari baju seragam yang dikenakannya. Sedangkan aku, sudah disekolahkan jauh dan tinggi sampai ke perguruan tinggi tetapi tidak bisa mencapai seperti itu. Masyarakat memandang aku tidak berhasil dan kemudian keluargakupun mengucilkanku. Mereka semua memandang rendah apa yang aku lakukan. Yang membuat aku lebih sedih lagi Mbak, karena yang melantunkan lagu itu adalah saudaraku, keluargaku. Dia mewakili keluarga mengakui semua yang sudah terjadi selama ini”. Dete mulai lagi menangis tersedu-sedu dan kadang terdengar mengeras suaranya.
Kemudian dengan menahan tangis Dete melanjutkan : “Saudaraku bilang tetapi dengan peristiwa hari ini, karena Dete maka ada tamu penting datang dari Jakarta. Dete berjalan dari pulau ke pulau dan juga ketempat lain yang lebih jauh lagi, ke negara lain. Ini menunjukkan bahwa apa yang selama ini mereka sangkakan dan anggapkan adalah salah. Inilah pertama kali ada tamu dari Jakarta berkunjung ke daerahnya. Karena Dete, ada orang jauh dari Jakarta datang ke desanya, dan mereka bilang sangat bangga dan bahagia”. Selesai berkata, Dete menangis kembali dengan badan yang mengguncang menahan kesedihan dan keharuan, perasaan tersisih dan terkucilkan dari keluarga dan masyarakat sirna sudah pada hari itu. Dete berusaha menahan tangis karena kami duduk di depan masyarakat yang sedari tadi memperhatikan kami. Kurasakan mataku memanas dan buliran air mata turun di pipiku. Aku menangis. Tangis keharuan dan kegembiraan bercampur jadi satu. Aku ikut terbawa emosi yang Dete rasakan.
Setelah kades, sekcam dan kornas Pekka memberikan sambutan, MC meminta Dete untuk memberikan sepatah dua patah kata, kulihat dia agak segan dan pelan dia mulai berkata : “Saya rasa saya tidak sanggup untuk berkata-kata…karena penyambutan tadi bergitu besar artinya buat saya. Saya yang selama ini terkucil, dipandang rendah dan tidak berhasil. Karena masayarakat disini memandang keberhasilan seseorang diukur dari seragam dan NIP yang dimilikinya. Sedangkan saya, walau sudah sekolah di perguruan tinggi namun tidak bisa bekerja dan mengenakan baju seragam ataupun memiliki NIP. Namun tadi masyarakat menyambut saya layaknya seorang pahlawan….. Begitu bersemangat dan antusiasnya. Terima kasih untuk semuanya, untuk semua masyarakat, tokoh masyarakat, terutama bapa dan ibu saya dan juga saudara saya”. Sampai disitu Dete menangis keras dan tidak dapat meneruskan kata-katanya. Dia terduduk kembali ke kursinya dan tidak sanggup berdiri. Kuusap lembut punggungnya untuk memberi dia kekuatan dan semangat. Kubisikkan kepadanya : “Bila kau tidak sanggup berdiri…bicara sambil duduk saja Dete. Ambil napas dalam-dalam, pelan-pelan kauhembuskan untuk menguasai emosimu kembali”. Dete menuruti kata-kataku dan dia mulai bicara kembali mengucapkan terima kasih kepada masyarakat dan keluarga, secara detail, aku tidak ingat apa yang dia ucapkan tapi satu hal yang aku ingat betul adalah : “Seperti dalam Al Kitab disebutkan bahwa Nabi tidak bisa diterima di daerahnya sendiri. Seperti yang aku rasakan, sebenarnya sudah lama sekali aku ingin memulai melakukan kegiatan ini di desaku, tetapi aku sangat takut untuk memulai. Aku takut. Takut tidak diterima. Takut ditolak. Setelah 10 tahun lebih baru aku berani, setelah yakin bisa diterima. Terima kasih atas semua dukungan untuk saya. Terima kasih untuk semuanya .” Demikian Dete mengakhiri sambutannya. Kembali kurasakan aliran hangat dipipiku….
Aku mencoba untuk memaknai apa yang baru saja terjadi. Ukuran sebuah keberhasilan. Demikianlah satu keberhasilan yang diukur dengan satu batasan tertentu maka akan sangat berpengaruh pada kehidupan diri seseorang. Siapapun dia. Jika ukuran keberhasilan adalah materi dan status yang diraihnya maka seseorang dianggap berhasil jika dapat memenuhi materi atau status tertentu tersebut. Maka orang akan dengan sekuat tenaga berusaha memenuhi itu dengan cara apapun. Ukurannya jelas, rumah mewah yang dibangun di atas tanah luas, mobil mewah berbiji-biji, jabatan tinggi dan status terpandang. Banyak orang mencoba memaksakan diri untuk mewujudkannya walau kadangkala dengan cara-cara tidak terpuji, menghalalkan segala cara dan berbuat curang. Korupsi, menindas dan merampas hak-hak orang lain demi mewujudkan label “berhasil” itu. Dia juga tidak ingat dampak dari itu semua. Dia tidak ingat dengan penderitaan orang-orang tercinta jika upayanya itu tertangkap.
Orang seringkali lupa tujuan diciptakan manusia adalah sebagai khalifah, penjaga bumi dan dunia ini, dan bahwa orang yang mulia adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain. Kalau saja ingat kedua hal tersebut, tidaklah risau akan ketidakcukupan materi yang dimilikinya, karena memang materi tidak pernah cukup. Tidaklah perlu merasa berkecil hati dengan apa yang dicapainya saat ini. Sebagai contoh apa yang dilakukan Dete dan Susan. Dengan tenaga dan potensi yang dimilikinya, mereka berdua berhasil berbuat sesuatu untuk para perempuan khususnya perempuan kepala keluarga yang tidak mampu agar bangun dan bangkit dari keterpurukannya. Agar mereka dapat lebih tegar dan bahagia menapaki kehidupannya yang masih panjang. Agar mereka dapat membantu menyambung hidup keluarganya. Agar mereka bisa diterima dan diperhitungkan dalam masyarakat disekitarnya. Agar mereka juga dapat berkontribusi kepada kemajuan masyarakat dan komunitasnya. Agar mereka juga dapat membantu masyarakat lain yang membutuhkannya. Singkatnya kehadirannya di dunia ini membawa manfaat bagi manusia dan alam disekitarnya. Itulah menurutku arti khalifah.
Jika saja orang berprinsip bahwa keberhasilan adalah bagaimana dia bisa bermanfaat bagi orang lain, maka siapapun dia, pekerjaan apapun yang dilakukannya, maka akan tetap merasa bangga dan optimal melakukannya.Tetap bersyukur dengan apa yang dia punya. Seandainya saja kita semua mampu meniatkan diri bahwa keberhasilan adalah dari banyaknya manfaat dirinya bagi orang lain……maka tidak ada lagi orang terluka seperti Dete….Semoga……