Pagi itu, cahaya surya belum nampak di pelupuk mata, Alfrina Wattimena (48), perempuan asal Desa Sabatai Baru, Kec. Morotai Selatan, Kab. Pulau Morotai, Maluku Utara, bergegas menelusuri jalan setapak sejauh lima kilometer sambil membawa sayuran dan buah-buahan yang ia sanggul di atas kepalanya untuk sampai ke jalan besar, menuggu mobil yang akan membawanya ke pasar.
Setelah suaminya tak mampu bekerja, Alfrina harus banting tulang mencari nafkah keluarga. sepulang dari pasar, Rina, begitu ia disapa, juga menjajakan bakso pada sore hari hingga larut malam. Waktu terus berjalan, tengah malam, pukul 1.00 dini hari, ia sudah bangun, meracik bahan olahan untuk membuat kue hingga menjelang subuh.
Tak mudah menjalani semua, namun rutinitas itu ia lakukan sendiri, tanpa bantuan siapa pun, “Setelah merasa tak enak badan, baru bisa istirahat,” katanya sambil mengusap air mata yang tetiba mengucur deras, mengingat masa-masa terberat itu. Seperti tak ada senyum terlintas di bibirnya sebab baginya, dunia terasa bagitu pahit, namun ia tetap jalani dengan penuh kepasrahan.
Rina terdiam sejenak sambil menghela nafas panjang. Ia menarik jauh waktu di mana ia harus menanggung beban batin, ketika suami masih sehat dan kuat bekerja. Saat itu, ia merasa cukup dengan menggantungkan hidupnya dari penghasilan suami, karena pendapatan suami cukup besar, meski kadang tidak semua penghasilan suami diberikan kepada sang istri. bahkan, kerap kali suaminya menghabiskannya hanya untuk mabuk-mabukan, berjudi, bahkan main perempuan.
“Ibu tetap bertahan dengan perlakuan suami karena mengingat masa depan anak-anak,” kata perempuan yang sudah dikaruniai empat orang anak. Ia harus tetap tegar dan kuat menjalani semuanya, demi mewujudkan mimpi masa depan bagi anak-anaknya kelak. kini ia harus menanggung biaya pendidikan anaknya yang sedang duduk di bangku SMA dan di perguruan tinggi. Sedangkan yang lain sudah berumah tangga, namun, mereka masih sering meminta uang belanja untuk kebutuhan hidupnya.
Mengorganisir masyarakat
Sebelum bergabung dengan komunitas Pekka, keberadaannya tidak diperhitungkan di ranah publik. “Saya tidak tahu berbicara di depan umum, karena kerjanya di dapur” kata perempuan tamatan SMP ini. pada 2014, Rina bergabung di Pekka ketika ada perluasan wilayah kerja PEKKA ke Kab. Pulau Morotai. saat itulah, ia mulai belajar berbicara dan berorganisasi. beragam pelatihan dan pengembangan kapasitas ia dapatkan. bersama kelompoknya, ia memperkuat gerakan. salah satunya aktif mengorganisir masyarakat melalui KLIK (Klinik Layanan Informasi dan Konsultasi) Pekka.
Dengan kemampuan dan pengalaman ini, ia makin terlibat aktif dalam kepengurusan serikat Pekka mulai tingkat kelompok sampai tingkat kabupaten, begitu juga di institusi keagamaan sebagai kordinator bidang wanita. Namanya kian dikenal oleh masyarakat. melalui pengalaman keorganisasian di Serikat Pekka inilah, ia mendapatkan banyak pelajaran berharga dan bersama-sama memperjuangkan nasib perempuan.
Menjadi ketua BPD
Tak cukup mendampingi dan menyuarakan hak kaum perempuan, ia pun bertekad merebut posisi penting dalam pemerintahan desa. Ia menyakini untuk memperkuat suara perempuan, posisi penting di pemerintahan harus direbut agar aspirasi dan keberpihakan pada kaum perempuan bisa diakomodir.
Pada 2017, berbekal ijazah SMP dan sertifikat pelatihan yang diselenggarakan Yayasan PEKKA, ia mendaftarkan diri sebagai calon BPD. “Ada 5 perempuan yang mendaftar, dua orang lulusan sarjana, dua orang utusan dari pemerintah desa, hanya saya sendiri peserta yang tak tamat SMA,” aku Rina saat ditemui di sela-sela Lokakarya Nasional Federasi Serikat Pekka, tentang Perencanaan Strategis dan Berkelanjutan PEKKA -MAMPU “Memperkuat Suara, Pengaruh dan Kepemimpinan Perempuan Kepala Keluarga”, Bogor, Jawa Barat (26/4/2019).
Meski harus bersaing dengan lulusan sarjana, ia tak patah semangat dan terus maju. Namun, perjuangannya untuk menjadi calon BPD tak semudah membalik telapak tangan. ia menceritakan, meskipun semua persyaratannya sudah ia penuhi, namun, ada upaya dari pihak-pihak tertentu untuk menggagalkan pencalonan Ibu Rina. ” Ijazah saya dianggap tidak memenuhi syarat pencalonan, saya tetap lawan mereka, sampai harus ke kecamatan,” kata Rina saat memprotes mereka yang ingin menjegal pencalonannya.
Usaha Rina tidak sia-sia, ia pun akhirnya terpilih sebagai Ketua BPD Desa Sabatai Baru karena memperoleh suara terbanyak di antara masing-masing kandidat. ia bersyukur usahanya membuahkan hasil. setelah dilantik sebagai ketua BPD, ia semakin aktif mengawasi dan mendorong program kerja pemerintah desa yang sensitif gender. saat ini ia mengawal dana desa agar dialokasikan untuk pemberdayaan perempuan, salah satunya melalui Serikat Pekka.
Ia meyakini apa yang telah diraihnya saat ini, merupakan bagian dari usahanya yang sudah dirintis sejak dirinya aktif di Pekka, membangun kepercayaan diri, mendampingi kelompok dan melayani masyarakat. Kini saatnya ia membuktikan diri kepada dunia tentang pentingnya keterlibatan perempuan dalam pembangunan desa.