Saya menemui ibu Evi Susanti warga RT 001 Dusun I Desa Penyandingan. Sembari menyusui anaknya Laila yang berusia 9 bulan, beliau menjawab pertanyaan satu persatu. Saat saya mendata untuk pemantauan bantuan sosial, Ibu Evi sudah 16 tahun menikah dan memiliki 3 orang anak, sekarang anak tertua Ervandi 15 tahun sekolah di SMK PGRI Tanjung Raja kelas 10, Bunga 8 tahun sekarang kelas 2 SD dan putri ketiganya Laila 9 bulan. Beliau bercerita saat menikah mereka masih tercatat sebagai warga Desa Serijabo.
Selama menjadi warga Desa Serijabo, mereka belum pernah mendapatkan bantuan sekecil apapun dari pemerintah setempat. Padahal waktu itu suami dan istri tidak bekerja hanya mengharapkan upah sebagai buruh tani, sang ibu yang telah berusia lanjut juga tinggal bersama mereka dan ikut menjadi buruh tani. Dulu mereka tinggal masih menumpang di bawah rumah neneknya yang kebetulan rumah panggung, mereka memasang dinding papan keliling di bawah rumah neneknya untuk dijadikan tempat tinggal.
Karena tidak faham akan haknya sebagai warga desa, mereka hanya bisa diam melihat pembagian program bantuan yang tidak adil dan tepat sasaran. Mereka menjalani hidup apa adanya. Tidak lama ada kabar bahwa akan ada perbaikan dan pelebaran jembatan sungai Ogan oleh pemerintah, rumah yang mereka tinggali dibongkar karena terletak di dekat jembatan yang akan diperbaiki dengan ganti rugi, alhamdulillah mereka mendapatkan ganti rugi sebesar 15 juta dengan uang itu mereka bisa membuat rumah permanen di pinggir sungai Ogan. Sejak saat itu mereka semakin jauh dari pemerintah Desa Serijabo karena rumah mereka masuk dalam wilayah Desa Penyandingan.
Setiap ada pembaharuan data, mereka tidak pernah masuk dalam setiap program yang dikeluarkan pemerintah Desa Srijabo. Dari tahun 2006 mereka pindah rumah sampai Januari 2019 tak satupun jenis bantuan mereka dapatkan, bahkan sang ibu yang telah masuk usia lanjut pun luput dari pantauan pemerintah desa. Akhirnya mereka memutuskan untuk mengurus surat pindah menjadi warga desa penyandingan. Sejak pindah mereka telah banyak mencoba berbagai usaha demi kelangsungan hidupnya, ibu Evi mencoba menjual ikan keliling dan suaminya menjual sosis goreng tapi malang tak dapat ditolak tak lama berjualan terjadi insiden minyak panas tumpah dan mengenai anak yang sedang membeli sosis menyebabkan luka bakar yang serius, setelah rembuk secara kekeluargaan mereka diminta untuk membiayai pengobatan sampai si anak sembuh, tentu beban yang berat bagi keluarga ibu Evi, tapi mereka tetap mengusahakan untuk menunaikan kewajiban itu walaupaun harus dibayar dengan cara berhutang ke tetangga.
Sejak saat itu suaminya trauma dan tidak lagi berjualan. Tapi mereka mencoba peruntungan lain dengan mengambil kredit motor dan manjadi tukang ojek, namun lagi-lagi sang suami naas salah membawa penumpang yang ternyata penumpang tersebut adalah bandar narkoba dan sedang bertransaksi dan ternyata telah menjadi incaran polisi, saat berhenti di tempat yang dituju ternyata polisi sudah menunggu dan tanpa bisa menjelaskan langsung saja suami bu Evi dibawa ke Polsek Tanjung Raja, tanpa bantuan dan kebingungan karena tidak mengerti hukum suami dan keluarga hanya bisa menerima vonis hukuman 3 tahun penjara dengan tuduhan sebagai kurir narkoba.
Ibu Evi dan suami hanya bisa pasrah karena tak bisa berbuat apa-apa hanya menunggu sampai selesai masa tahanan. 3 tahun kemudian sang suamipun bebas dan bisa kembali berkumpul dengan keluarga. Setelah bebas suaminya mencoba untuk berdagang mainan keliling lagi-lagi usaha mereka tidak bisa berjalan lama karena pemasukan tidak sesuai pengeluaran yang menyebabkan mereka bangkrut kehabisan modal, keadaan mereka semakin terpuruk ditambah sang ibu yang sudah lansia sering mengeluh sakit namun tidak punya biaya untuk berobat.
Saat itu pula ibu Evi menyadari kalau ia telah telat haid 2 bulan dan positif hamil anak ketiga, semua itu terjadi lantaran Ibu Evi tak punya uang untuk biaya suntik KB, suami bu Evi kembali mencoba menjadi kuli bangunan yang hanya bekerja saat ada yang butuh jasanya, dengan kondisi seperti itu membuat Ibu Evi stres yang berimbas pada kekurangan gizi saat hamil. Petugas kesehatan dan bidan desa pun mencoba membantu dengan mengajukan BPJS PBI namun yang keluar hanya untuk sang nenek ,suami dan anak pertamanya anak kedua dan Ibu Evi belum mendapatkan BPJS atas nama mereka.
Alhasil saat melahirkan ibu evi tidak bisa ke puskesmas karena tidak memiliki BPJS dan memutuskan untuk meminta bantuan bidan desa dengan meminta tempo untuk pembayaran biaya persalinan sebesar 800 ribu, Agustus 2019 lahirlah putri ketiga mereka Laila. Namun sepertinya masalah belum juga bosan menimpa mereka, tahun ajaran baru anak pertama Ervandi masuk sekolah SMK dan Bunga putri keduapun masuk sekolah SD keduanya membutuhkan biaya yang lumayan besar, “ya Allah hanya Tuhan yang tahu betapa stres dan binggungnya saya dan suami semua butuh biaya sedangkan kami tidak memiliki pendapatan atau tabungan” keluh bu Evi mengenang masa sulit itu.
Tidak ada yang bekerja sedangkan keluarga dekat hanya mampu membantu seadanya. Saat itu hanya biaya masuk SD yang bisa dibayar dan untuk biaya masuk SMK 850 ribu hanya bisa dibayar 300 ribu dulu itupun didapat dari swadaya keluarga, sementara untuk biaya bersalin sampai detik ini sepeserpun belum dibayar, untunglah bidan desa bisa mengerti keadaan Ibu Evi beliau hanya satu kali menagih dan dengan keadaan Ibu Evi yang kesulitan akhirnya beliau memberi tempo sampai kapan saja tunggu Ibu Evi punya uang buat bayar.
Pada situasi saat ini dimana virus Covid-19 mewabah di seluruh dunia, tentunya membawa dampak ke semua lapisan masyarakat tak terkecuali ibu Evi dan keluarga, keadaan ekonomi keluarga ini semakin terpuruk, suami bu Evi yang sebelumnya menjadi sopir bentor dihadapkan pada masa sulit, becak motor yang disewa sehari 25 ribu tidak mendapatkan penumpang, apa lagi dengan seruan pemerintah untuk tetap di rumah sehingga penumpang sangat berkurang sedangkan setoran dan biaya makan di rumah tak bisa dielakkan, tak jarang ibu Evi yang masih dalam masa menyusui harus makan jam 3 sore karena menunggu sang suami pulang bekerja membawa uang, saat suaminya pulang baru bisa membeli beras.
Untuk yang pertama kalinya semenjak mereka pindah menjadi warga desa penyandingan pada akhir April kemarin mereka mendapatkan bantuan sembako dari pemerintah kabupaten, tanggal 22 Mei 2020 mereka pun kembali mendapatkan uang Bantuan Langsung Tunai Dana Desa sebesar 600 ribu rupiah. Seharusnya dengan kondisi Ibu Evi, saya merasa beliau berhak mendapatkan PKH atau program bantuan lain dari pemerintah, tapi kenyataan justru kebanyakan yang menerima PKH jauh lebih mampu dari Ibu Evi, saya tidak tahu kesalahan ada di mana namun berharap sistem data di Indonresia bisa diperbaharui sehingga bantuan dari pemerintah juga tepat sasaran.
Penulis: Endang Estaurina, kader Pekka OI-Sumsel