Aku Ditikam dari Belakang

Aku Ditikam dari Belakang

2003 silam kembali kuingat. Kala itu kehidupan rumah tangga kita cukup harmonis. Kita dikarunia 7 orang anak yang sangat manis.  Saat itu usia mereka masih belia. Yang paling kecil baru berusia 1 tahun. Dan aku termasuk perempuan yang subur sehingga jedah usia antara anak yang satu dengan yang lain hanya 1-2 tahun.

Suami bekerja sebagai petani. Kami memiliki satu petak sawah untuk sumber penghasilan. Sesekali kubantu suami di sawah. Karena aku juga membantu mencari nafkah sebagai penjual jamu tradisional. Itupun kadang-kadang kulakukan disela-sela kesibukanku sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi anak-anak di rumah.

Kehidupan rumah tanggaku tidak semulus yang kubayangkan. Sejak menikah suamiku sudah berkali-kali bermain perempuan bahkan sempat beberapa kali menikah dengan perempuan lain. Aku masih menerimannya walaupun terkadang dia datang sebulan sekali tanpa memberi nafkah lahiriah.

Kukorbankan sekolah ke 4 anak tertuaku. Mereka tak melanjutkan sekolah. Mereka hanya mengenyam pendidikan sampai SD dan SMP. Ini semua terkendala biaya. Karena jaman dulu belum ada bantuan PKH seperti sekarang.

Mereka kecil bekerja di sawah. Bapaknya sibuk dengan perempuan lain.

Akhirnya Bom waktu itu meledak. Tepat tahun 2003 aku menggugat cerai. Kali ini perbuatannya diluar batas kesabaranku. Aku tak diberi harta gono gini sedikitpun. Padahal rumah dan sawah adalah hasil dari usaha kami berdua.

Oh….. sungguh kejam kalian….

Maemunah namanya. Teman makan sepiring berdua. Teman curhatku bila ada masalah, teman berbagi suka dan duka. Statusnyapun janda beranak 1.

Bègitu akrabnya kami, terkadang Maemunah sering kuajak nginap di rumah. Sambil membantuku membuat jamu. Dan aku memberinya upah seala kadarnya.

Saat itu posisi suamiku sudah bercerai dengan istri -istri gelapnya.

Sore itu sepulang aku dari menjual jamu.

Aku dikejutkan oleh keberadaan suamiku dan Maemunah didalam kamarku. Aku marah. Aku menangis sejadi-jadinya. Dunia gelap kurasakan. Tak ada daya lagi. Tulangku remuk. Aku hacur….

Aku membawa ke 7 anak-anakku. Aku keluar dari rumah menuju desa Donggobolo tempat tinggalku sekarang.

Aku diberi tumpangan rumah sederhana oleh saudaraku.

Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.

Paska bercerai….rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku…

Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.

Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.

Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku “aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam”

Akhirnya aku diberi upah sebesar  Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+  aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.

Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi burĂąh garam

Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.

Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.

Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.

Anakku yang bontot telah menikah.  Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..

Kehidupan terus berjalan… suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.

Jangan putus asa wahai kawan. Tetaplah berkarya.

Gustiar

Bima 010220

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *