Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat “sudah jatuh ketiban tangga lagi”. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya ”Yang penting saya kirim uang, nanti saya pulang”. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta “Jangan gugat cerai”. “Ya sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini” kata saya, “Bisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini” kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang “Kamu tidak berhak dapat ini”. Spontan saya teriak “Maling…!”. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, “Saya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang”. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan “Kamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu”. Saya langsung jawab “Jangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti”. Saya kemudian mendapatkan prodeo.
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)