Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Aku diberi tumpangan rumah sederhana oleh saudaraku.<\/p>\n\n\n\n
Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Aku membawa ke 7 anak-anakku. Aku keluar dari rumah menuju desa Donggobolo tempat tinggalku sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Aku diberi tumpangan rumah sederhana oleh saudaraku.<\/p>\n\n\n\n
Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Aku dikejutkan oleh keberadaan suamiku dan Maemunah didalam kamarku. Aku marah. Aku menangis sejadi-jadinya. Dunia gelap kurasakan. Tak ada daya lagi. Tulangku remuk. Aku hacur....<\/p>\n\n\n\n
Aku membawa ke 7 anak-anakku. Aku keluar dari rumah menuju desa Donggobolo tempat tinggalku sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Aku diberi tumpangan rumah sederhana oleh saudaraku.<\/p>\n\n\n\n
Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Sore itu sepulang aku dari menjual jamu.<\/p>\n\n\n\n
Aku dikejutkan oleh keberadaan suamiku dan Maemunah didalam kamarku. Aku marah. Aku menangis sejadi-jadinya. Dunia gelap kurasakan. Tak ada daya lagi. Tulangku remuk. Aku hacur....<\/p>\n\n\n\n
Aku membawa ke 7 anak-anakku. Aku keluar dari rumah menuju desa Donggobolo tempat tinggalku sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Aku diberi tumpangan rumah sederhana oleh saudaraku.<\/p>\n\n\n\n
Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Saat itu posisi suamiku sudah bercerai dengan istri -istri gelapnya.<\/p>\n\n\n\n
Sore itu sepulang aku dari menjual jamu.<\/p>\n\n\n\n
Aku dikejutkan oleh keberadaan suamiku dan Maemunah didalam kamarku. Aku marah. Aku menangis sejadi-jadinya. Dunia gelap kurasakan. Tak ada daya lagi. Tulangku remuk. Aku hacur....<\/p>\n\n\n\n
Aku membawa ke 7 anak-anakku. Aku keluar dari rumah menuju desa Donggobolo tempat tinggalku sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Aku diberi tumpangan rumah sederhana oleh saudaraku.<\/p>\n\n\n\n
Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
B\u00e8gitu akrabnya kami, terkadang Maemunah sering kuajak nginap di rumah. Sambil membantuku membuat jamu. Dan aku memberinya upah seala kadarnya.<\/p>\n\n\n\n
Saat itu posisi suamiku sudah bercerai dengan istri -istri gelapnya.<\/p>\n\n\n\n
Sore itu sepulang aku dari menjual jamu.<\/p>\n\n\n\n
Aku dikejutkan oleh keberadaan suamiku dan Maemunah didalam kamarku. Aku marah. Aku menangis sejadi-jadinya. Dunia gelap kurasakan. Tak ada daya lagi. Tulangku remuk. Aku hacur....<\/p>\n\n\n\n
Aku membawa ke 7 anak-anakku. Aku keluar dari rumah menuju desa Donggobolo tempat tinggalku sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Aku diberi tumpangan rumah sederhana oleh saudaraku.<\/p>\n\n\n\n
Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Maemunah namanya. Teman makan sepiring berdua. Teman curhatku bila ada masalah, teman berbagi suka dan duka. Statusnyapun janda beranak 1.<\/p>\n\n\n\n
B\u00e8gitu akrabnya kami, terkadang Maemunah sering kuajak nginap di rumah. Sambil membantuku membuat jamu. Dan aku memberinya upah seala kadarnya.<\/p>\n\n\n\n
Saat itu posisi suamiku sudah bercerai dengan istri -istri gelapnya.<\/p>\n\n\n\n
Sore itu sepulang aku dari menjual jamu.<\/p>\n\n\n\n
Aku dikejutkan oleh keberadaan suamiku dan Maemunah didalam kamarku. Aku marah. Aku menangis sejadi-jadinya. Dunia gelap kurasakan. Tak ada daya lagi. Tulangku remuk. Aku hacur....<\/p>\n\n\n\n
Aku membawa ke 7 anak-anakku. Aku keluar dari rumah menuju desa Donggobolo tempat tinggalku sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Aku diberi tumpangan rumah sederhana oleh saudaraku.<\/p>\n\n\n\n
Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Maemunah namanya. Teman makan sepiring berdua. Teman curhatku bila ada masalah, teman berbagi suka dan duka. Statusnyapun janda beranak 1.<\/p>\n\n\n\n
B\u00e8gitu akrabnya kami, terkadang Maemunah sering kuajak nginap di rumah. Sambil membantuku membuat jamu. Dan aku memberinya upah seala kadarnya.<\/p>\n\n\n\n
Saat itu posisi suamiku sudah bercerai dengan istri -istri gelapnya.<\/p>\n\n\n\n
Sore itu sepulang aku dari menjual jamu.<\/p>\n\n\n\n
Aku dikejutkan oleh keberadaan suamiku dan Maemunah didalam kamarku. Aku marah. Aku menangis sejadi-jadinya. Dunia gelap kurasakan. Tak ada daya lagi. Tulangku remuk. Aku hacur....<\/p>\n\n\n\n
Aku membawa ke 7 anak-anakku. Aku keluar dari rumah menuju desa Donggobolo tempat tinggalku sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Aku diberi tumpangan rumah sederhana oleh saudaraku.<\/p>\n\n\n\n
Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Akhirnya Bom waktu itu meledak. Tepat tahun 2003 aku menggugat cerai. Kali ini perbuatannya diluar batas kesabaranku. Aku tak diberi harta gono gini sedikitpun. Padahal rumah dan sawah adalah hasil dari usaha kami berdua.<\/p>\n\n\n\n
Oh..... sungguh kejam kalian....<\/p>\n\n\n\n
Maemunah namanya. Teman makan sepiring berdua. Teman curhatku bila ada masalah, teman berbagi suka dan duka. Statusnyapun janda beranak 1.<\/p>\n\n\n\n
B\u00e8gitu akrabnya kami, terkadang Maemunah sering kuajak nginap di rumah. Sambil membantuku membuat jamu. Dan aku memberinya upah seala kadarnya.<\/p>\n\n\n\n
Saat itu posisi suamiku sudah bercerai dengan istri -istri gelapnya.<\/p>\n\n\n\n
Sore itu sepulang aku dari menjual jamu.<\/p>\n\n\n\n
Aku dikejutkan oleh keberadaan suamiku dan Maemunah didalam kamarku. Aku marah. Aku menangis sejadi-jadinya. Dunia gelap kurasakan. Tak ada daya lagi. Tulangku remuk. Aku hacur....<\/p>\n\n\n\n
Aku membawa ke 7 anak-anakku. Aku keluar dari rumah menuju desa Donggobolo tempat tinggalku sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Aku diberi tumpangan rumah sederhana oleh saudaraku.<\/p>\n\n\n\n
Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Mereka kecil bekerja di sawah. Bapaknya sibuk dengan perempuan lain.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya Bom waktu itu meledak. Tepat tahun 2003 aku menggugat cerai. Kali ini perbuatannya diluar batas kesabaranku. Aku tak diberi harta gono gini sedikitpun. Padahal rumah dan sawah adalah hasil dari usaha kami berdua.<\/p>\n\n\n\n
Oh..... sungguh kejam kalian....<\/p>\n\n\n\n
Maemunah namanya. Teman makan sepiring berdua. Teman curhatku bila ada masalah, teman berbagi suka dan duka. Statusnyapun janda beranak 1.<\/p>\n\n\n\n
B\u00e8gitu akrabnya kami, terkadang Maemunah sering kuajak nginap di rumah. Sambil membantuku membuat jamu. Dan aku memberinya upah seala kadarnya.<\/p>\n\n\n\n
Saat itu posisi suamiku sudah bercerai dengan istri -istri gelapnya.<\/p>\n\n\n\n
Sore itu sepulang aku dari menjual jamu.<\/p>\n\n\n\n
Aku dikejutkan oleh keberadaan suamiku dan Maemunah didalam kamarku. Aku marah. Aku menangis sejadi-jadinya. Dunia gelap kurasakan. Tak ada daya lagi. Tulangku remuk. Aku hacur....<\/p>\n\n\n\n
Aku membawa ke 7 anak-anakku. Aku keluar dari rumah menuju desa Donggobolo tempat tinggalku sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Aku diberi tumpangan rumah sederhana oleh saudaraku.<\/p>\n\n\n\n
Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Kukorbankan sekolah ke 4 anak tertuaku. Mereka tak melanjutkan sekolah. Mereka hanya mengenyam pendidikan sampai SD dan SMP. Ini semua terkendala biaya. Karena jaman dulu belum ada bantuan PKH seperti sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Mereka kecil bekerja di sawah. Bapaknya sibuk dengan perempuan lain.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya Bom waktu itu meledak. Tepat tahun 2003 aku menggugat cerai. Kali ini perbuatannya diluar batas kesabaranku. Aku tak diberi harta gono gini sedikitpun. Padahal rumah dan sawah adalah hasil dari usaha kami berdua.<\/p>\n\n\n\n
Oh..... sungguh kejam kalian....<\/p>\n\n\n\n
Maemunah namanya. Teman makan sepiring berdua. Teman curhatku bila ada masalah, teman berbagi suka dan duka. Statusnyapun janda beranak 1.<\/p>\n\n\n\n
B\u00e8gitu akrabnya kami, terkadang Maemunah sering kuajak nginap di rumah. Sambil membantuku membuat jamu. Dan aku memberinya upah seala kadarnya.<\/p>\n\n\n\n
Saat itu posisi suamiku sudah bercerai dengan istri -istri gelapnya.<\/p>\n\n\n\n
Sore itu sepulang aku dari menjual jamu.<\/p>\n\n\n\n
Aku dikejutkan oleh keberadaan suamiku dan Maemunah didalam kamarku. Aku marah. Aku menangis sejadi-jadinya. Dunia gelap kurasakan. Tak ada daya lagi. Tulangku remuk. Aku hacur....<\/p>\n\n\n\n
Aku membawa ke 7 anak-anakku. Aku keluar dari rumah menuju desa Donggobolo tempat tinggalku sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Aku diberi tumpangan rumah sederhana oleh saudaraku.<\/p>\n\n\n\n
Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Kehidupan rumah tanggaku tidak semulus yang kubayangkan. Sejak menikah suamiku sudah berkali-kali bermain perempuan bahkan sempat beberapa kali menikah dengan perempuan lain. Aku masih menerimannya walaupun terkadang dia datang sebulan sekali tanpa memberi nafkah lahiriah.<\/p>\n\n\n\n
Kukorbankan sekolah ke 4 anak tertuaku. Mereka tak melanjutkan sekolah. Mereka hanya mengenyam pendidikan sampai SD dan SMP. Ini semua terkendala biaya. Karena jaman dulu belum ada bantuan PKH seperti sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Mereka kecil bekerja di sawah. Bapaknya sibuk dengan perempuan lain.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya Bom waktu itu meledak. Tepat tahun 2003 aku menggugat cerai. Kali ini perbuatannya diluar batas kesabaranku. Aku tak diberi harta gono gini sedikitpun. Padahal rumah dan sawah adalah hasil dari usaha kami berdua.<\/p>\n\n\n\n
Oh..... sungguh kejam kalian....<\/p>\n\n\n\n
Maemunah namanya. Teman makan sepiring berdua. Teman curhatku bila ada masalah, teman berbagi suka dan duka. Statusnyapun janda beranak 1.<\/p>\n\n\n\n
B\u00e8gitu akrabnya kami, terkadang Maemunah sering kuajak nginap di rumah. Sambil membantuku membuat jamu. Dan aku memberinya upah seala kadarnya.<\/p>\n\n\n\n
Saat itu posisi suamiku sudah bercerai dengan istri -istri gelapnya.<\/p>\n\n\n\n
Sore itu sepulang aku dari menjual jamu.<\/p>\n\n\n\n
Aku dikejutkan oleh keberadaan suamiku dan Maemunah didalam kamarku. Aku marah. Aku menangis sejadi-jadinya. Dunia gelap kurasakan. Tak ada daya lagi. Tulangku remuk. Aku hacur....<\/p>\n\n\n\n
Aku membawa ke 7 anak-anakku. Aku keluar dari rumah menuju desa Donggobolo tempat tinggalku sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Aku diberi tumpangan rumah sederhana oleh saudaraku.<\/p>\n\n\n\n
Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Suami bekerja sebagai petani. Kami memiliki satu petak sawah untuk sumber penghasilan. Sesekali kubantu suami di sawah. Karena aku juga membantu mencari nafkah sebagai penjual jamu tradisional. Itupun kadang-kadang kulakukan disela-sela kesibukanku sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi anak-anak di rumah.<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan rumah tanggaku tidak semulus yang kubayangkan. Sejak menikah suamiku sudah berkali-kali bermain perempuan bahkan sempat beberapa kali menikah dengan perempuan lain. Aku masih menerimannya walaupun terkadang dia datang sebulan sekali tanpa memberi nafkah lahiriah.<\/p>\n\n\n\n
Kukorbankan sekolah ke 4 anak tertuaku. Mereka tak melanjutkan sekolah. Mereka hanya mengenyam pendidikan sampai SD dan SMP. Ini semua terkendala biaya. Karena jaman dulu belum ada bantuan PKH seperti sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Mereka kecil bekerja di sawah. Bapaknya sibuk dengan perempuan lain.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya Bom waktu itu meledak. Tepat tahun 2003 aku menggugat cerai. Kali ini perbuatannya diluar batas kesabaranku. Aku tak diberi harta gono gini sedikitpun. Padahal rumah dan sawah adalah hasil dari usaha kami berdua.<\/p>\n\n\n\n
Oh..... sungguh kejam kalian....<\/p>\n\n\n\n
Maemunah namanya. Teman makan sepiring berdua. Teman curhatku bila ada masalah, teman berbagi suka dan duka. Statusnyapun janda beranak 1.<\/p>\n\n\n\n
B\u00e8gitu akrabnya kami, terkadang Maemunah sering kuajak nginap di rumah. Sambil membantuku membuat jamu. Dan aku memberinya upah seala kadarnya.<\/p>\n\n\n\n
Saat itu posisi suamiku sudah bercerai dengan istri -istri gelapnya.<\/p>\n\n\n\n
Sore itu sepulang aku dari menjual jamu.<\/p>\n\n\n\n
Aku dikejutkan oleh keberadaan suamiku dan Maemunah didalam kamarku. Aku marah. Aku menangis sejadi-jadinya. Dunia gelap kurasakan. Tak ada daya lagi. Tulangku remuk. Aku hacur....<\/p>\n\n\n\n
Aku membawa ke 7 anak-anakku. Aku keluar dari rumah menuju desa Donggobolo tempat tinggalku sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Aku diberi tumpangan rumah sederhana oleh saudaraku.<\/p>\n\n\n\n
Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
2003 silam kembali kuingat. Kala itu kehidupan rumah tangga kita cukup harmonis. Kita dikarunia 7 orang anak yang sangat manis. Saat itu usia mereka masih belia. Yang paling kecil baru berusia 1 tahun. Dan aku termasuk perempuan yang subur sehingga jedah usia antara anak yang satu dengan yang lain hanya 1-2 tahun.<\/p>\n\n\n\n
Suami bekerja sebagai petani. Kami memiliki satu petak sawah untuk sumber penghasilan. Sesekali kubantu suami di sawah. Karena aku juga membantu mencari nafkah sebagai penjual jamu tradisional. Itupun kadang-kadang kulakukan disela-sela kesibukanku sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi anak-anak di rumah.<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan rumah tanggaku tidak semulus yang kubayangkan. Sejak menikah suamiku sudah berkali-kali bermain perempuan bahkan sempat beberapa kali menikah dengan perempuan lain. Aku masih menerimannya walaupun terkadang dia datang sebulan sekali tanpa memberi nafkah lahiriah.<\/p>\n\n\n\n
Kukorbankan sekolah ke 4 anak tertuaku. Mereka tak melanjutkan sekolah. Mereka hanya mengenyam pendidikan sampai SD dan SMP. Ini semua terkendala biaya. Karena jaman dulu belum ada bantuan PKH seperti sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Mereka kecil bekerja di sawah. Bapaknya sibuk dengan perempuan lain.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya Bom waktu itu meledak. Tepat tahun 2003 aku menggugat cerai. Kali ini perbuatannya diluar batas kesabaranku. Aku tak diberi harta gono gini sedikitpun. Padahal rumah dan sawah adalah hasil dari usaha kami berdua.<\/p>\n\n\n\n
Oh..... sungguh kejam kalian....<\/p>\n\n\n\n
Maemunah namanya. Teman makan sepiring berdua. Teman curhatku bila ada masalah, teman berbagi suka dan duka. Statusnyapun janda beranak 1.<\/p>\n\n\n\n
B\u00e8gitu akrabnya kami, terkadang Maemunah sering kuajak nginap di rumah. Sambil membantuku membuat jamu. Dan aku memberinya upah seala kadarnya.<\/p>\n\n\n\n
Saat itu posisi suamiku sudah bercerai dengan istri -istri gelapnya.<\/p>\n\n\n\n
Sore itu sepulang aku dari menjual jamu.<\/p>\n\n\n\n
Aku dikejutkan oleh keberadaan suamiku dan Maemunah didalam kamarku. Aku marah. Aku menangis sejadi-jadinya. Dunia gelap kurasakan. Tak ada daya lagi. Tulangku remuk. Aku hacur....<\/p>\n\n\n\n
Aku membawa ke 7 anak-anakku. Aku keluar dari rumah menuju desa Donggobolo tempat tinggalku sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Aku diberi tumpangan rumah sederhana oleh saudaraku.<\/p>\n\n\n\n
Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Namun dari semua kebahagiaan yang ada, ada hal yang amat sangat membuat aku luar biasa bahagia, yang membuatku terharu dan mengucap syukur nikmat atas semua yang diberikan Allah SWT. Pada tanggal 15 Desember 2013, anak pertamaku Fatimah di wisuda dengan predikat cumlaude dan sekarang bekerja menjadi guru di yayasan pendidikan di Makassar. Anak keduaku naik kelas ke kelas 3 SMP dan anak bungsuku naik kelas ke kelas 2 SD. Aku merasa berhasil, menjadi orang tua tunggal tidak menghalangi aku untuk menyekolahkan anak-anakku sampai perguruan tinggi, asalkan aku tetap berdo\u2019a dan berusaha, insyaallah semua cobaan itu dapat kulewati dan menghasilkan kebahagiaan yang luar biasa.<\/p>\n","post_title":"Menjadi Buruh Tebu Demi Pendidikan Anak","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"menjadi-buruh-tebu-demi-pendidikan-anak","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-24 03:40:25","post_modified_gmt":"2021-02-24 03:40:25","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1649","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1612,"post_author":"4","post_date":"2021-02-04 09:19:12","post_date_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content":"\n
2003 silam kembali kuingat. Kala itu kehidupan rumah tangga kita cukup harmonis. Kita dikarunia 7 orang anak yang sangat manis. Saat itu usia mereka masih belia. Yang paling kecil baru berusia 1 tahun. Dan aku termasuk perempuan yang subur sehingga jedah usia antara anak yang satu dengan yang lain hanya 1-2 tahun.<\/p>\n\n\n\n
Suami bekerja sebagai petani. Kami memiliki satu petak sawah untuk sumber penghasilan. Sesekali kubantu suami di sawah. Karena aku juga membantu mencari nafkah sebagai penjual jamu tradisional. Itupun kadang-kadang kulakukan disela-sela kesibukanku sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi anak-anak di rumah.<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan rumah tanggaku tidak semulus yang kubayangkan. Sejak menikah suamiku sudah berkali-kali bermain perempuan bahkan sempat beberapa kali menikah dengan perempuan lain. Aku masih menerimannya walaupun terkadang dia datang sebulan sekali tanpa memberi nafkah lahiriah.<\/p>\n\n\n\n
Kukorbankan sekolah ke 4 anak tertuaku. Mereka tak melanjutkan sekolah. Mereka hanya mengenyam pendidikan sampai SD dan SMP. Ini semua terkendala biaya. Karena jaman dulu belum ada bantuan PKH seperti sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Mereka kecil bekerja di sawah. Bapaknya sibuk dengan perempuan lain.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya Bom waktu itu meledak. Tepat tahun 2003 aku menggugat cerai. Kali ini perbuatannya diluar batas kesabaranku. Aku tak diberi harta gono gini sedikitpun. Padahal rumah dan sawah adalah hasil dari usaha kami berdua.<\/p>\n\n\n\n
Oh..... sungguh kejam kalian....<\/p>\n\n\n\n
Maemunah namanya. Teman makan sepiring berdua. Teman curhatku bila ada masalah, teman berbagi suka dan duka. Statusnyapun janda beranak 1.<\/p>\n\n\n\n
B\u00e8gitu akrabnya kami, terkadang Maemunah sering kuajak nginap di rumah. Sambil membantuku membuat jamu. Dan aku memberinya upah seala kadarnya.<\/p>\n\n\n\n
Saat itu posisi suamiku sudah bercerai dengan istri -istri gelapnya.<\/p>\n\n\n\n
Sore itu sepulang aku dari menjual jamu.<\/p>\n\n\n\n
Aku dikejutkan oleh keberadaan suamiku dan Maemunah didalam kamarku. Aku marah. Aku menangis sejadi-jadinya. Dunia gelap kurasakan. Tak ada daya lagi. Tulangku remuk. Aku hacur....<\/p>\n\n\n\n
Aku membawa ke 7 anak-anakku. Aku keluar dari rumah menuju desa Donggobolo tempat tinggalku sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Aku diberi tumpangan rumah sederhana oleh saudaraku.<\/p>\n\n\n\n
Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Setelah Fornas PEKKA dan musrenbang itu, aku semakin dikenal orang. Aku diundang diacara pengajian di desa dan di dusun Lappa data. Dikeduanya aku diberi amplop. Aku sangat senang sekali, di dalam amplop itu ada uang yang isinya Rp 50.000,- berarti dengan dua amplop yang terkumpul aku mendapatkan uang Rp 100.000,-. Ternyata jika kita menjalankan semuanya dengan penuh keikhlasan maka balasan dari Allah pun akan sangat melimpah. Itu yang kini menjadi hal yang akan terus aku pegang. Setelah dua acara tersebut aku juga diundang untuk menjadi pembaca ayat suci al-qur\u2019an di acara Maulid Nabi di kantor kecamatan. Dan aku akan mempersiapkan diri sebaik mungkin.<\/p>\n\n\n\n
Namun dari semua kebahagiaan yang ada, ada hal yang amat sangat membuat aku luar biasa bahagia, yang membuatku terharu dan mengucap syukur nikmat atas semua yang diberikan Allah SWT. Pada tanggal 15 Desember 2013, anak pertamaku Fatimah di wisuda dengan predikat cumlaude dan sekarang bekerja menjadi guru di yayasan pendidikan di Makassar. Anak keduaku naik kelas ke kelas 3 SMP dan anak bungsuku naik kelas ke kelas 2 SD. Aku merasa berhasil, menjadi orang tua tunggal tidak menghalangi aku untuk menyekolahkan anak-anakku sampai perguruan tinggi, asalkan aku tetap berdo\u2019a dan berusaha, insyaallah semua cobaan itu dapat kulewati dan menghasilkan kebahagiaan yang luar biasa.<\/p>\n","post_title":"Menjadi Buruh Tebu Demi Pendidikan Anak","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"menjadi-buruh-tebu-demi-pendidikan-anak","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-24 03:40:25","post_modified_gmt":"2021-02-24 03:40:25","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1649","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1612,"post_author":"4","post_date":"2021-02-04 09:19:12","post_date_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content":"\n
2003 silam kembali kuingat. Kala itu kehidupan rumah tangga kita cukup harmonis. Kita dikarunia 7 orang anak yang sangat manis. Saat itu usia mereka masih belia. Yang paling kecil baru berusia 1 tahun. Dan aku termasuk perempuan yang subur sehingga jedah usia antara anak yang satu dengan yang lain hanya 1-2 tahun.<\/p>\n\n\n\n
Suami bekerja sebagai petani. Kami memiliki satu petak sawah untuk sumber penghasilan. Sesekali kubantu suami di sawah. Karena aku juga membantu mencari nafkah sebagai penjual jamu tradisional. Itupun kadang-kadang kulakukan disela-sela kesibukanku sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi anak-anak di rumah.<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan rumah tanggaku tidak semulus yang kubayangkan. Sejak menikah suamiku sudah berkali-kali bermain perempuan bahkan sempat beberapa kali menikah dengan perempuan lain. Aku masih menerimannya walaupun terkadang dia datang sebulan sekali tanpa memberi nafkah lahiriah.<\/p>\n\n\n\n
Kukorbankan sekolah ke 4 anak tertuaku. Mereka tak melanjutkan sekolah. Mereka hanya mengenyam pendidikan sampai SD dan SMP. Ini semua terkendala biaya. Karena jaman dulu belum ada bantuan PKH seperti sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Mereka kecil bekerja di sawah. Bapaknya sibuk dengan perempuan lain.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya Bom waktu itu meledak. Tepat tahun 2003 aku menggugat cerai. Kali ini perbuatannya diluar batas kesabaranku. Aku tak diberi harta gono gini sedikitpun. Padahal rumah dan sawah adalah hasil dari usaha kami berdua.<\/p>\n\n\n\n
Oh..... sungguh kejam kalian....<\/p>\n\n\n\n
Maemunah namanya. Teman makan sepiring berdua. Teman curhatku bila ada masalah, teman berbagi suka dan duka. Statusnyapun janda beranak 1.<\/p>\n\n\n\n
B\u00e8gitu akrabnya kami, terkadang Maemunah sering kuajak nginap di rumah. Sambil membantuku membuat jamu. Dan aku memberinya upah seala kadarnya.<\/p>\n\n\n\n
Saat itu posisi suamiku sudah bercerai dengan istri -istri gelapnya.<\/p>\n\n\n\n
Sore itu sepulang aku dari menjual jamu.<\/p>\n\n\n\n
Aku dikejutkan oleh keberadaan suamiku dan Maemunah didalam kamarku. Aku marah. Aku menangis sejadi-jadinya. Dunia gelap kurasakan. Tak ada daya lagi. Tulangku remuk. Aku hacur....<\/p>\n\n\n\n
Aku membawa ke 7 anak-anakku. Aku keluar dari rumah menuju desa Donggobolo tempat tinggalku sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Aku diberi tumpangan rumah sederhana oleh saudaraku.<\/p>\n\n\n\n
Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Kebahagiaan lainnya semenjak aku ikut Pekka dan sepulangnya dari Fornas Pekka di Jakarta, aku akhirnya dapat mengikuti musrenbang. Ketika itu musrenbang dilaksanakan pada tanggal 05 Januari 2014. Dalam musrenbang, aku mengusulkan agar listrik masuk ke dusunku (Dusun Camming, Desa Mattiro Bulu, Kecamatan Libureng), dan aku juga mengusulkan agar jalan menuju kampungku diperbaiki serta ada sumbangan bahan bangun untuk mesjid di atas tanah yang almarhum adikku hibahkan kepadaku. Aku senang, salah satu usulku mendapatkan respon yang positif. Setidaknya aku sekarang melihat ada tiang listrik di dusunku. Semoga listrik masuk dusun ini segera terlaksana.<\/p>\n\n\n\n
Setelah Fornas PEKKA dan musrenbang itu, aku semakin dikenal orang. Aku diundang diacara pengajian di desa dan di dusun Lappa data. Dikeduanya aku diberi amplop. Aku sangat senang sekali, di dalam amplop itu ada uang yang isinya Rp 50.000,- berarti dengan dua amplop yang terkumpul aku mendapatkan uang Rp 100.000,-. Ternyata jika kita menjalankan semuanya dengan penuh keikhlasan maka balasan dari Allah pun akan sangat melimpah. Itu yang kini menjadi hal yang akan terus aku pegang. Setelah dua acara tersebut aku juga diundang untuk menjadi pembaca ayat suci al-qur\u2019an di acara Maulid Nabi di kantor kecamatan. Dan aku akan mempersiapkan diri sebaik mungkin.<\/p>\n\n\n\n
Namun dari semua kebahagiaan yang ada, ada hal yang amat sangat membuat aku luar biasa bahagia, yang membuatku terharu dan mengucap syukur nikmat atas semua yang diberikan Allah SWT. Pada tanggal 15 Desember 2013, anak pertamaku Fatimah di wisuda dengan predikat cumlaude dan sekarang bekerja menjadi guru di yayasan pendidikan di Makassar. Anak keduaku naik kelas ke kelas 3 SMP dan anak bungsuku naik kelas ke kelas 2 SD. Aku merasa berhasil, menjadi orang tua tunggal tidak menghalangi aku untuk menyekolahkan anak-anakku sampai perguruan tinggi, asalkan aku tetap berdo\u2019a dan berusaha, insyaallah semua cobaan itu dapat kulewati dan menghasilkan kebahagiaan yang luar biasa.<\/p>\n","post_title":"Menjadi Buruh Tebu Demi Pendidikan Anak","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"menjadi-buruh-tebu-demi-pendidikan-anak","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-24 03:40:25","post_modified_gmt":"2021-02-24 03:40:25","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1649","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1612,"post_author":"4","post_date":"2021-02-04 09:19:12","post_date_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content":"\n
2003 silam kembali kuingat. Kala itu kehidupan rumah tangga kita cukup harmonis. Kita dikarunia 7 orang anak yang sangat manis. Saat itu usia mereka masih belia. Yang paling kecil baru berusia 1 tahun. Dan aku termasuk perempuan yang subur sehingga jedah usia antara anak yang satu dengan yang lain hanya 1-2 tahun.<\/p>\n\n\n\n
Suami bekerja sebagai petani. Kami memiliki satu petak sawah untuk sumber penghasilan. Sesekali kubantu suami di sawah. Karena aku juga membantu mencari nafkah sebagai penjual jamu tradisional. Itupun kadang-kadang kulakukan disela-sela kesibukanku sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi anak-anak di rumah.<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan rumah tanggaku tidak semulus yang kubayangkan. Sejak menikah suamiku sudah berkali-kali bermain perempuan bahkan sempat beberapa kali menikah dengan perempuan lain. Aku masih menerimannya walaupun terkadang dia datang sebulan sekali tanpa memberi nafkah lahiriah.<\/p>\n\n\n\n
Kukorbankan sekolah ke 4 anak tertuaku. Mereka tak melanjutkan sekolah. Mereka hanya mengenyam pendidikan sampai SD dan SMP. Ini semua terkendala biaya. Karena jaman dulu belum ada bantuan PKH seperti sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Mereka kecil bekerja di sawah. Bapaknya sibuk dengan perempuan lain.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya Bom waktu itu meledak. Tepat tahun 2003 aku menggugat cerai. Kali ini perbuatannya diluar batas kesabaranku. Aku tak diberi harta gono gini sedikitpun. Padahal rumah dan sawah adalah hasil dari usaha kami berdua.<\/p>\n\n\n\n
Oh..... sungguh kejam kalian....<\/p>\n\n\n\n
Maemunah namanya. Teman makan sepiring berdua. Teman curhatku bila ada masalah, teman berbagi suka dan duka. Statusnyapun janda beranak 1.<\/p>\n\n\n\n
B\u00e8gitu akrabnya kami, terkadang Maemunah sering kuajak nginap di rumah. Sambil membantuku membuat jamu. Dan aku memberinya upah seala kadarnya.<\/p>\n\n\n\n
Saat itu posisi suamiku sudah bercerai dengan istri -istri gelapnya.<\/p>\n\n\n\n
Sore itu sepulang aku dari menjual jamu.<\/p>\n\n\n\n
Aku dikejutkan oleh keberadaan suamiku dan Maemunah didalam kamarku. Aku marah. Aku menangis sejadi-jadinya. Dunia gelap kurasakan. Tak ada daya lagi. Tulangku remuk. Aku hacur....<\/p>\n\n\n\n
Aku membawa ke 7 anak-anakku. Aku keluar dari rumah menuju desa Donggobolo tempat tinggalku sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Aku diberi tumpangan rumah sederhana oleh saudaraku.<\/p>\n\n\n\n
Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Setelah kegiatan itu usai, aku mendapatkan tugas lain. Aku mendapatkan sms untuk mendata siapa saja yang tidak memiliki jamkesmas atau jamkesda. Aku mendata dari rumah ke rumah dan ketika itu juga langsung saja namaku dan nama anak-anakku kucantumkan, karena selama ini aku dan anak-anakku tidak dapat mengakses program itu. Kupikir aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Mengingat tidak hanya jamkesmas saja yang tak kudapat tetapi juga anak-anakku yang saat ini bersekolah di SMP dan di SD tidak pernah sama sekali menerima baik dana bos maupun dana sumbangan bagi siswa miskin. Padahal aku telah melampirkan persyaratan yang harus dipenuhi yaitu KK, KTP, dan rapor anak-anakku. Namun meskipun begitu, aku yakin Allah tetap akan membuka rezekiku walau bukan dari pintu yang ini. Ternyata pengurus serikat sangat heran dengan data-data yang ku dapat, apalagi Tari ketua LKM kami, dia sampai bertanya darimana aku mendapat data-data itu. Aku langsung bilang dengan bangga \u201caku mendatanya dari rumah ke rumah\u201d. Aku berharap usulan ini diterima dan kami mendapat JKN itu.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaan lainnya semenjak aku ikut Pekka dan sepulangnya dari Fornas Pekka di Jakarta, aku akhirnya dapat mengikuti musrenbang. Ketika itu musrenbang dilaksanakan pada tanggal 05 Januari 2014. Dalam musrenbang, aku mengusulkan agar listrik masuk ke dusunku (Dusun Camming, Desa Mattiro Bulu, Kecamatan Libureng), dan aku juga mengusulkan agar jalan menuju kampungku diperbaiki serta ada sumbangan bahan bangun untuk mesjid di atas tanah yang almarhum adikku hibahkan kepadaku. Aku senang, salah satu usulku mendapatkan respon yang positif. Setidaknya aku sekarang melihat ada tiang listrik di dusunku. Semoga listrik masuk dusun ini segera terlaksana.<\/p>\n\n\n\n
Setelah Fornas PEKKA dan musrenbang itu, aku semakin dikenal orang. Aku diundang diacara pengajian di desa dan di dusun Lappa data. Dikeduanya aku diberi amplop. Aku sangat senang sekali, di dalam amplop itu ada uang yang isinya Rp 50.000,- berarti dengan dua amplop yang terkumpul aku mendapatkan uang Rp 100.000,-. Ternyata jika kita menjalankan semuanya dengan penuh keikhlasan maka balasan dari Allah pun akan sangat melimpah. Itu yang kini menjadi hal yang akan terus aku pegang. Setelah dua acara tersebut aku juga diundang untuk menjadi pembaca ayat suci al-qur\u2019an di acara Maulid Nabi di kantor kecamatan. Dan aku akan mempersiapkan diri sebaik mungkin.<\/p>\n\n\n\n
Namun dari semua kebahagiaan yang ada, ada hal yang amat sangat membuat aku luar biasa bahagia, yang membuatku terharu dan mengucap syukur nikmat atas semua yang diberikan Allah SWT. Pada tanggal 15 Desember 2013, anak pertamaku Fatimah di wisuda dengan predikat cumlaude dan sekarang bekerja menjadi guru di yayasan pendidikan di Makassar. Anak keduaku naik kelas ke kelas 3 SMP dan anak bungsuku naik kelas ke kelas 2 SD. Aku merasa berhasil, menjadi orang tua tunggal tidak menghalangi aku untuk menyekolahkan anak-anakku sampai perguruan tinggi, asalkan aku tetap berdo\u2019a dan berusaha, insyaallah semua cobaan itu dapat kulewati dan menghasilkan kebahagiaan yang luar biasa.<\/p>\n","post_title":"Menjadi Buruh Tebu Demi Pendidikan Anak","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"menjadi-buruh-tebu-demi-pendidikan-anak","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-24 03:40:25","post_modified_gmt":"2021-02-24 03:40:25","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1649","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1612,"post_author":"4","post_date":"2021-02-04 09:19:12","post_date_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content":"\n
2003 silam kembali kuingat. Kala itu kehidupan rumah tangga kita cukup harmonis. Kita dikarunia 7 orang anak yang sangat manis. Saat itu usia mereka masih belia. Yang paling kecil baru berusia 1 tahun. Dan aku termasuk perempuan yang subur sehingga jedah usia antara anak yang satu dengan yang lain hanya 1-2 tahun.<\/p>\n\n\n\n
Suami bekerja sebagai petani. Kami memiliki satu petak sawah untuk sumber penghasilan. Sesekali kubantu suami di sawah. Karena aku juga membantu mencari nafkah sebagai penjual jamu tradisional. Itupun kadang-kadang kulakukan disela-sela kesibukanku sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi anak-anak di rumah.<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan rumah tanggaku tidak semulus yang kubayangkan. Sejak menikah suamiku sudah berkali-kali bermain perempuan bahkan sempat beberapa kali menikah dengan perempuan lain. Aku masih menerimannya walaupun terkadang dia datang sebulan sekali tanpa memberi nafkah lahiriah.<\/p>\n\n\n\n
Kukorbankan sekolah ke 4 anak tertuaku. Mereka tak melanjutkan sekolah. Mereka hanya mengenyam pendidikan sampai SD dan SMP. Ini semua terkendala biaya. Karena jaman dulu belum ada bantuan PKH seperti sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Mereka kecil bekerja di sawah. Bapaknya sibuk dengan perempuan lain.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya Bom waktu itu meledak. Tepat tahun 2003 aku menggugat cerai. Kali ini perbuatannya diluar batas kesabaranku. Aku tak diberi harta gono gini sedikitpun. Padahal rumah dan sawah adalah hasil dari usaha kami berdua.<\/p>\n\n\n\n
Oh..... sungguh kejam kalian....<\/p>\n\n\n\n
Maemunah namanya. Teman makan sepiring berdua. Teman curhatku bila ada masalah, teman berbagi suka dan duka. Statusnyapun janda beranak 1.<\/p>\n\n\n\n
B\u00e8gitu akrabnya kami, terkadang Maemunah sering kuajak nginap di rumah. Sambil membantuku membuat jamu. Dan aku memberinya upah seala kadarnya.<\/p>\n\n\n\n
Saat itu posisi suamiku sudah bercerai dengan istri -istri gelapnya.<\/p>\n\n\n\n
Sore itu sepulang aku dari menjual jamu.<\/p>\n\n\n\n
Aku dikejutkan oleh keberadaan suamiku dan Maemunah didalam kamarku. Aku marah. Aku menangis sejadi-jadinya. Dunia gelap kurasakan. Tak ada daya lagi. Tulangku remuk. Aku hacur....<\/p>\n\n\n\n
Aku membawa ke 7 anak-anakku. Aku keluar dari rumah menuju desa Donggobolo tempat tinggalku sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Aku diberi tumpangan rumah sederhana oleh saudaraku.<\/p>\n\n\n\n
Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Setelah fornas, hidupku mulai berubah. Percaya diriku bertambah. Ketika akan dilaksanakan pelayanan terpadu satu atap di kecamatanku Libureng. Aku dan teman-teman pengurus serikat mendata dari rumah ke rumah. Teman-temanku memberikan pelajaran baru bagiku. Aku harus memiliki keberanian. Dan pelayanan terpadu satu atap ini pun berlangsung, ketika itu tanggal 4 Desember 2013.<\/p>\n\n\n\n
Setelah kegiatan itu usai, aku mendapatkan tugas lain. Aku mendapatkan sms untuk mendata siapa saja yang tidak memiliki jamkesmas atau jamkesda. Aku mendata dari rumah ke rumah dan ketika itu juga langsung saja namaku dan nama anak-anakku kucantumkan, karena selama ini aku dan anak-anakku tidak dapat mengakses program itu. Kupikir aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Mengingat tidak hanya jamkesmas saja yang tak kudapat tetapi juga anak-anakku yang saat ini bersekolah di SMP dan di SD tidak pernah sama sekali menerima baik dana bos maupun dana sumbangan bagi siswa miskin. Padahal aku telah melampirkan persyaratan yang harus dipenuhi yaitu KK, KTP, dan rapor anak-anakku. Namun meskipun begitu, aku yakin Allah tetap akan membuka rezekiku walau bukan dari pintu yang ini. Ternyata pengurus serikat sangat heran dengan data-data yang ku dapat, apalagi Tari ketua LKM kami, dia sampai bertanya darimana aku mendapat data-data itu. Aku langsung bilang dengan bangga \u201caku mendatanya dari rumah ke rumah\u201d. Aku berharap usulan ini diterima dan kami mendapat JKN itu.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaan lainnya semenjak aku ikut Pekka dan sepulangnya dari Fornas Pekka di Jakarta, aku akhirnya dapat mengikuti musrenbang. Ketika itu musrenbang dilaksanakan pada tanggal 05 Januari 2014. Dalam musrenbang, aku mengusulkan agar listrik masuk ke dusunku (Dusun Camming, Desa Mattiro Bulu, Kecamatan Libureng), dan aku juga mengusulkan agar jalan menuju kampungku diperbaiki serta ada sumbangan bahan bangun untuk mesjid di atas tanah yang almarhum adikku hibahkan kepadaku. Aku senang, salah satu usulku mendapatkan respon yang positif. Setidaknya aku sekarang melihat ada tiang listrik di dusunku. Semoga listrik masuk dusun ini segera terlaksana.<\/p>\n\n\n\n
Setelah Fornas PEKKA dan musrenbang itu, aku semakin dikenal orang. Aku diundang diacara pengajian di desa dan di dusun Lappa data. Dikeduanya aku diberi amplop. Aku sangat senang sekali, di dalam amplop itu ada uang yang isinya Rp 50.000,- berarti dengan dua amplop yang terkumpul aku mendapatkan uang Rp 100.000,-. Ternyata jika kita menjalankan semuanya dengan penuh keikhlasan maka balasan dari Allah pun akan sangat melimpah. Itu yang kini menjadi hal yang akan terus aku pegang. Setelah dua acara tersebut aku juga diundang untuk menjadi pembaca ayat suci al-qur\u2019an di acara Maulid Nabi di kantor kecamatan. Dan aku akan mempersiapkan diri sebaik mungkin.<\/p>\n\n\n\n
Namun dari semua kebahagiaan yang ada, ada hal yang amat sangat membuat aku luar biasa bahagia, yang membuatku terharu dan mengucap syukur nikmat atas semua yang diberikan Allah SWT. Pada tanggal 15 Desember 2013, anak pertamaku Fatimah di wisuda dengan predikat cumlaude dan sekarang bekerja menjadi guru di yayasan pendidikan di Makassar. Anak keduaku naik kelas ke kelas 3 SMP dan anak bungsuku naik kelas ke kelas 2 SD. Aku merasa berhasil, menjadi orang tua tunggal tidak menghalangi aku untuk menyekolahkan anak-anakku sampai perguruan tinggi, asalkan aku tetap berdo\u2019a dan berusaha, insyaallah semua cobaan itu dapat kulewati dan menghasilkan kebahagiaan yang luar biasa.<\/p>\n","post_title":"Menjadi Buruh Tebu Demi Pendidikan Anak","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"menjadi-buruh-tebu-demi-pendidikan-anak","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-24 03:40:25","post_modified_gmt":"2021-02-24 03:40:25","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1649","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1612,"post_author":"4","post_date":"2021-02-04 09:19:12","post_date_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content":"\n
2003 silam kembali kuingat. Kala itu kehidupan rumah tangga kita cukup harmonis. Kita dikarunia 7 orang anak yang sangat manis. Saat itu usia mereka masih belia. Yang paling kecil baru berusia 1 tahun. Dan aku termasuk perempuan yang subur sehingga jedah usia antara anak yang satu dengan yang lain hanya 1-2 tahun.<\/p>\n\n\n\n
Suami bekerja sebagai petani. Kami memiliki satu petak sawah untuk sumber penghasilan. Sesekali kubantu suami di sawah. Karena aku juga membantu mencari nafkah sebagai penjual jamu tradisional. Itupun kadang-kadang kulakukan disela-sela kesibukanku sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi anak-anak di rumah.<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan rumah tanggaku tidak semulus yang kubayangkan. Sejak menikah suamiku sudah berkali-kali bermain perempuan bahkan sempat beberapa kali menikah dengan perempuan lain. Aku masih menerimannya walaupun terkadang dia datang sebulan sekali tanpa memberi nafkah lahiriah.<\/p>\n\n\n\n
Kukorbankan sekolah ke 4 anak tertuaku. Mereka tak melanjutkan sekolah. Mereka hanya mengenyam pendidikan sampai SD dan SMP. Ini semua terkendala biaya. Karena jaman dulu belum ada bantuan PKH seperti sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Mereka kecil bekerja di sawah. Bapaknya sibuk dengan perempuan lain.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya Bom waktu itu meledak. Tepat tahun 2003 aku menggugat cerai. Kali ini perbuatannya diluar batas kesabaranku. Aku tak diberi harta gono gini sedikitpun. Padahal rumah dan sawah adalah hasil dari usaha kami berdua.<\/p>\n\n\n\n
Oh..... sungguh kejam kalian....<\/p>\n\n\n\n
Maemunah namanya. Teman makan sepiring berdua. Teman curhatku bila ada masalah, teman berbagi suka dan duka. Statusnyapun janda beranak 1.<\/p>\n\n\n\n
B\u00e8gitu akrabnya kami, terkadang Maemunah sering kuajak nginap di rumah. Sambil membantuku membuat jamu. Dan aku memberinya upah seala kadarnya.<\/p>\n\n\n\n
Saat itu posisi suamiku sudah bercerai dengan istri -istri gelapnya.<\/p>\n\n\n\n
Sore itu sepulang aku dari menjual jamu.<\/p>\n\n\n\n
Aku dikejutkan oleh keberadaan suamiku dan Maemunah didalam kamarku. Aku marah. Aku menangis sejadi-jadinya. Dunia gelap kurasakan. Tak ada daya lagi. Tulangku remuk. Aku hacur....<\/p>\n\n\n\n
Aku membawa ke 7 anak-anakku. Aku keluar dari rumah menuju desa Donggobolo tempat tinggalku sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Aku diberi tumpangan rumah sederhana oleh saudaraku.<\/p>\n\n\n\n
Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Kebahagiaanku ini bertambah, karena izin Allah aku kemudian mendapatkan kesempatan untuk mengikuti fornas di Jakarta. Aku sangat senang, aku mengunjungi kementerian koordinator bidang kesejahteraan rakyat yang sebelumnya tak pernah kubayangkan. Betapa terharunya ketika ku teringat duduk di forum bersama teman-teman dari 19 provinsi di Indonesia. Photo fornas dengan memakai kaos seragam wilayah yang kudapat, kuperbesar menjadi 10 R dan kupajang di dinding rumahku. Ketika melihat photo itu, aku menangis terharu, mengingat setiap moment yang ada ketika itu. Dan photo itu mengalirkan semangat dalam hidupku.<\/p>\n\n\n\n
Setelah fornas, hidupku mulai berubah. Percaya diriku bertambah. Ketika akan dilaksanakan pelayanan terpadu satu atap di kecamatanku Libureng. Aku dan teman-teman pengurus serikat mendata dari rumah ke rumah. Teman-temanku memberikan pelajaran baru bagiku. Aku harus memiliki keberanian. Dan pelayanan terpadu satu atap ini pun berlangsung, ketika itu tanggal 4 Desember 2013.<\/p>\n\n\n\n
Setelah kegiatan itu usai, aku mendapatkan tugas lain. Aku mendapatkan sms untuk mendata siapa saja yang tidak memiliki jamkesmas atau jamkesda. Aku mendata dari rumah ke rumah dan ketika itu juga langsung saja namaku dan nama anak-anakku kucantumkan, karena selama ini aku dan anak-anakku tidak dapat mengakses program itu. Kupikir aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Mengingat tidak hanya jamkesmas saja yang tak kudapat tetapi juga anak-anakku yang saat ini bersekolah di SMP dan di SD tidak pernah sama sekali menerima baik dana bos maupun dana sumbangan bagi siswa miskin. Padahal aku telah melampirkan persyaratan yang harus dipenuhi yaitu KK, KTP, dan rapor anak-anakku. Namun meskipun begitu, aku yakin Allah tetap akan membuka rezekiku walau bukan dari pintu yang ini. Ternyata pengurus serikat sangat heran dengan data-data yang ku dapat, apalagi Tari ketua LKM kami, dia sampai bertanya darimana aku mendapat data-data itu. Aku langsung bilang dengan bangga \u201caku mendatanya dari rumah ke rumah\u201d. Aku berharap usulan ini diterima dan kami mendapat JKN itu.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaan lainnya semenjak aku ikut Pekka dan sepulangnya dari Fornas Pekka di Jakarta, aku akhirnya dapat mengikuti musrenbang. Ketika itu musrenbang dilaksanakan pada tanggal 05 Januari 2014. Dalam musrenbang, aku mengusulkan agar listrik masuk ke dusunku (Dusun Camming, Desa Mattiro Bulu, Kecamatan Libureng), dan aku juga mengusulkan agar jalan menuju kampungku diperbaiki serta ada sumbangan bahan bangun untuk mesjid di atas tanah yang almarhum adikku hibahkan kepadaku. Aku senang, salah satu usulku mendapatkan respon yang positif. Setidaknya aku sekarang melihat ada tiang listrik di dusunku. Semoga listrik masuk dusun ini segera terlaksana.<\/p>\n\n\n\n
Setelah Fornas PEKKA dan musrenbang itu, aku semakin dikenal orang. Aku diundang diacara pengajian di desa dan di dusun Lappa data. Dikeduanya aku diberi amplop. Aku sangat senang sekali, di dalam amplop itu ada uang yang isinya Rp 50.000,- berarti dengan dua amplop yang terkumpul aku mendapatkan uang Rp 100.000,-. Ternyata jika kita menjalankan semuanya dengan penuh keikhlasan maka balasan dari Allah pun akan sangat melimpah. Itu yang kini menjadi hal yang akan terus aku pegang. Setelah dua acara tersebut aku juga diundang untuk menjadi pembaca ayat suci al-qur\u2019an di acara Maulid Nabi di kantor kecamatan. Dan aku akan mempersiapkan diri sebaik mungkin.<\/p>\n\n\n\n
Namun dari semua kebahagiaan yang ada, ada hal yang amat sangat membuat aku luar biasa bahagia, yang membuatku terharu dan mengucap syukur nikmat atas semua yang diberikan Allah SWT. Pada tanggal 15 Desember 2013, anak pertamaku Fatimah di wisuda dengan predikat cumlaude dan sekarang bekerja menjadi guru di yayasan pendidikan di Makassar. Anak keduaku naik kelas ke kelas 3 SMP dan anak bungsuku naik kelas ke kelas 2 SD. Aku merasa berhasil, menjadi orang tua tunggal tidak menghalangi aku untuk menyekolahkan anak-anakku sampai perguruan tinggi, asalkan aku tetap berdo\u2019a dan berusaha, insyaallah semua cobaan itu dapat kulewati dan menghasilkan kebahagiaan yang luar biasa.<\/p>\n","post_title":"Menjadi Buruh Tebu Demi Pendidikan Anak","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"menjadi-buruh-tebu-demi-pendidikan-anak","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-24 03:40:25","post_modified_gmt":"2021-02-24 03:40:25","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1649","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1612,"post_author":"4","post_date":"2021-02-04 09:19:12","post_date_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content":"\n
2003 silam kembali kuingat. Kala itu kehidupan rumah tangga kita cukup harmonis. Kita dikarunia 7 orang anak yang sangat manis. Saat itu usia mereka masih belia. Yang paling kecil baru berusia 1 tahun. Dan aku termasuk perempuan yang subur sehingga jedah usia antara anak yang satu dengan yang lain hanya 1-2 tahun.<\/p>\n\n\n\n
Suami bekerja sebagai petani. Kami memiliki satu petak sawah untuk sumber penghasilan. Sesekali kubantu suami di sawah. Karena aku juga membantu mencari nafkah sebagai penjual jamu tradisional. Itupun kadang-kadang kulakukan disela-sela kesibukanku sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi anak-anak di rumah.<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan rumah tanggaku tidak semulus yang kubayangkan. Sejak menikah suamiku sudah berkali-kali bermain perempuan bahkan sempat beberapa kali menikah dengan perempuan lain. Aku masih menerimannya walaupun terkadang dia datang sebulan sekali tanpa memberi nafkah lahiriah.<\/p>\n\n\n\n
Kukorbankan sekolah ke 4 anak tertuaku. Mereka tak melanjutkan sekolah. Mereka hanya mengenyam pendidikan sampai SD dan SMP. Ini semua terkendala biaya. Karena jaman dulu belum ada bantuan PKH seperti sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Mereka kecil bekerja di sawah. Bapaknya sibuk dengan perempuan lain.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya Bom waktu itu meledak. Tepat tahun 2003 aku menggugat cerai. Kali ini perbuatannya diluar batas kesabaranku. Aku tak diberi harta gono gini sedikitpun. Padahal rumah dan sawah adalah hasil dari usaha kami berdua.<\/p>\n\n\n\n
Oh..... sungguh kejam kalian....<\/p>\n\n\n\n
Maemunah namanya. Teman makan sepiring berdua. Teman curhatku bila ada masalah, teman berbagi suka dan duka. Statusnyapun janda beranak 1.<\/p>\n\n\n\n
B\u00e8gitu akrabnya kami, terkadang Maemunah sering kuajak nginap di rumah. Sambil membantuku membuat jamu. Dan aku memberinya upah seala kadarnya.<\/p>\n\n\n\n
Saat itu posisi suamiku sudah bercerai dengan istri -istri gelapnya.<\/p>\n\n\n\n
Sore itu sepulang aku dari menjual jamu.<\/p>\n\n\n\n
Aku dikejutkan oleh keberadaan suamiku dan Maemunah didalam kamarku. Aku marah. Aku menangis sejadi-jadinya. Dunia gelap kurasakan. Tak ada daya lagi. Tulangku remuk. Aku hacur....<\/p>\n\n\n\n
Aku membawa ke 7 anak-anakku. Aku keluar dari rumah menuju desa Donggobolo tempat tinggalku sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Aku diberi tumpangan rumah sederhana oleh saudaraku.<\/p>\n\n\n\n
Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Pada tanggal 22 Oktober 2012, Mbak Nunung dari Pekka datang ke Camming, daerah dimana tempatku tinggal saat ini. Aku sangat tertarik dengan Pekka. Bagiku, program ini sangatlah bagus karena berbeda dengan program dari organisasi-organisasi yang pernah aku ikuti, dan dibentuklah kelompok yang kami beri nama Mattiro Bulu (Melihat dari atas gunung). Dengan adanya Pekka aku mulai bangkit. Semangatku tumbuh kembali. Bersama Pekka, aku merasa beban hidupku berangsur-angsur berkurang. Kesedihanku sedikit terlupakan. Hal ini karena aku selalu mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan Pekka dimana aku bertemu banyak orang dan banyak ilmu yang kudapat dasri Pekka.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaanku ini bertambah, karena izin Allah aku kemudian mendapatkan kesempatan untuk mengikuti fornas di Jakarta. Aku sangat senang, aku mengunjungi kementerian koordinator bidang kesejahteraan rakyat yang sebelumnya tak pernah kubayangkan. Betapa terharunya ketika ku teringat duduk di forum bersama teman-teman dari 19 provinsi di Indonesia. Photo fornas dengan memakai kaos seragam wilayah yang kudapat, kuperbesar menjadi 10 R dan kupajang di dinding rumahku. Ketika melihat photo itu, aku menangis terharu, mengingat setiap moment yang ada ketika itu. Dan photo itu mengalirkan semangat dalam hidupku.<\/p>\n\n\n\n
Setelah fornas, hidupku mulai berubah. Percaya diriku bertambah. Ketika akan dilaksanakan pelayanan terpadu satu atap di kecamatanku Libureng. Aku dan teman-teman pengurus serikat mendata dari rumah ke rumah. Teman-temanku memberikan pelajaran baru bagiku. Aku harus memiliki keberanian. Dan pelayanan terpadu satu atap ini pun berlangsung, ketika itu tanggal 4 Desember 2013.<\/p>\n\n\n\n
Setelah kegiatan itu usai, aku mendapatkan tugas lain. Aku mendapatkan sms untuk mendata siapa saja yang tidak memiliki jamkesmas atau jamkesda. Aku mendata dari rumah ke rumah dan ketika itu juga langsung saja namaku dan nama anak-anakku kucantumkan, karena selama ini aku dan anak-anakku tidak dapat mengakses program itu. Kupikir aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Mengingat tidak hanya jamkesmas saja yang tak kudapat tetapi juga anak-anakku yang saat ini bersekolah di SMP dan di SD tidak pernah sama sekali menerima baik dana bos maupun dana sumbangan bagi siswa miskin. Padahal aku telah melampirkan persyaratan yang harus dipenuhi yaitu KK, KTP, dan rapor anak-anakku. Namun meskipun begitu, aku yakin Allah tetap akan membuka rezekiku walau bukan dari pintu yang ini. Ternyata pengurus serikat sangat heran dengan data-data yang ku dapat, apalagi Tari ketua LKM kami, dia sampai bertanya darimana aku mendapat data-data itu. Aku langsung bilang dengan bangga \u201caku mendatanya dari rumah ke rumah\u201d. Aku berharap usulan ini diterima dan kami mendapat JKN itu.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaan lainnya semenjak aku ikut Pekka dan sepulangnya dari Fornas Pekka di Jakarta, aku akhirnya dapat mengikuti musrenbang. Ketika itu musrenbang dilaksanakan pada tanggal 05 Januari 2014. Dalam musrenbang, aku mengusulkan agar listrik masuk ke dusunku (Dusun Camming, Desa Mattiro Bulu, Kecamatan Libureng), dan aku juga mengusulkan agar jalan menuju kampungku diperbaiki serta ada sumbangan bahan bangun untuk mesjid di atas tanah yang almarhum adikku hibahkan kepadaku. Aku senang, salah satu usulku mendapatkan respon yang positif. Setidaknya aku sekarang melihat ada tiang listrik di dusunku. Semoga listrik masuk dusun ini segera terlaksana.<\/p>\n\n\n\n
Setelah Fornas PEKKA dan musrenbang itu, aku semakin dikenal orang. Aku diundang diacara pengajian di desa dan di dusun Lappa data. Dikeduanya aku diberi amplop. Aku sangat senang sekali, di dalam amplop itu ada uang yang isinya Rp 50.000,- berarti dengan dua amplop yang terkumpul aku mendapatkan uang Rp 100.000,-. Ternyata jika kita menjalankan semuanya dengan penuh keikhlasan maka balasan dari Allah pun akan sangat melimpah. Itu yang kini menjadi hal yang akan terus aku pegang. Setelah dua acara tersebut aku juga diundang untuk menjadi pembaca ayat suci al-qur\u2019an di acara Maulid Nabi di kantor kecamatan. Dan aku akan mempersiapkan diri sebaik mungkin.<\/p>\n\n\n\n
Namun dari semua kebahagiaan yang ada, ada hal yang amat sangat membuat aku luar biasa bahagia, yang membuatku terharu dan mengucap syukur nikmat atas semua yang diberikan Allah SWT. Pada tanggal 15 Desember 2013, anak pertamaku Fatimah di wisuda dengan predikat cumlaude dan sekarang bekerja menjadi guru di yayasan pendidikan di Makassar. Anak keduaku naik kelas ke kelas 3 SMP dan anak bungsuku naik kelas ke kelas 2 SD. Aku merasa berhasil, menjadi orang tua tunggal tidak menghalangi aku untuk menyekolahkan anak-anakku sampai perguruan tinggi, asalkan aku tetap berdo\u2019a dan berusaha, insyaallah semua cobaan itu dapat kulewati dan menghasilkan kebahagiaan yang luar biasa.<\/p>\n","post_title":"Menjadi Buruh Tebu Demi Pendidikan Anak","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"menjadi-buruh-tebu-demi-pendidikan-anak","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-24 03:40:25","post_modified_gmt":"2021-02-24 03:40:25","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1649","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1612,"post_author":"4","post_date":"2021-02-04 09:19:12","post_date_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content":"\n
2003 silam kembali kuingat. Kala itu kehidupan rumah tangga kita cukup harmonis. Kita dikarunia 7 orang anak yang sangat manis. Saat itu usia mereka masih belia. Yang paling kecil baru berusia 1 tahun. Dan aku termasuk perempuan yang subur sehingga jedah usia antara anak yang satu dengan yang lain hanya 1-2 tahun.<\/p>\n\n\n\n
Suami bekerja sebagai petani. Kami memiliki satu petak sawah untuk sumber penghasilan. Sesekali kubantu suami di sawah. Karena aku juga membantu mencari nafkah sebagai penjual jamu tradisional. Itupun kadang-kadang kulakukan disela-sela kesibukanku sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi anak-anak di rumah.<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan rumah tanggaku tidak semulus yang kubayangkan. Sejak menikah suamiku sudah berkali-kali bermain perempuan bahkan sempat beberapa kali menikah dengan perempuan lain. Aku masih menerimannya walaupun terkadang dia datang sebulan sekali tanpa memberi nafkah lahiriah.<\/p>\n\n\n\n
Kukorbankan sekolah ke 4 anak tertuaku. Mereka tak melanjutkan sekolah. Mereka hanya mengenyam pendidikan sampai SD dan SMP. Ini semua terkendala biaya. Karena jaman dulu belum ada bantuan PKH seperti sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Mereka kecil bekerja di sawah. Bapaknya sibuk dengan perempuan lain.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya Bom waktu itu meledak. Tepat tahun 2003 aku menggugat cerai. Kali ini perbuatannya diluar batas kesabaranku. Aku tak diberi harta gono gini sedikitpun. Padahal rumah dan sawah adalah hasil dari usaha kami berdua.<\/p>\n\n\n\n
Oh..... sungguh kejam kalian....<\/p>\n\n\n\n
Maemunah namanya. Teman makan sepiring berdua. Teman curhatku bila ada masalah, teman berbagi suka dan duka. Statusnyapun janda beranak 1.<\/p>\n\n\n\n
B\u00e8gitu akrabnya kami, terkadang Maemunah sering kuajak nginap di rumah. Sambil membantuku membuat jamu. Dan aku memberinya upah seala kadarnya.<\/p>\n\n\n\n
Saat itu posisi suamiku sudah bercerai dengan istri -istri gelapnya.<\/p>\n\n\n\n
Sore itu sepulang aku dari menjual jamu.<\/p>\n\n\n\n
Aku dikejutkan oleh keberadaan suamiku dan Maemunah didalam kamarku. Aku marah. Aku menangis sejadi-jadinya. Dunia gelap kurasakan. Tak ada daya lagi. Tulangku remuk. Aku hacur....<\/p>\n\n\n\n
Aku membawa ke 7 anak-anakku. Aku keluar dari rumah menuju desa Donggobolo tempat tinggalku sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Aku diberi tumpangan rumah sederhana oleh saudaraku.<\/p>\n\n\n\n
Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Aku bekerja ganda, sebagai Ibu sekaligus mencari nafkah sebagai buruh perkebunan tebu dan menjadi guru di TPA dengan gaji yang sangat kecil. Hal ini kulakukan demi keberlangsungan sekolah anak-anakku. Sungguh lelah kurasa, namun aku percaya lelah ini akan menghasilkan kebahagiaan. Fatimah anak pertamaku ternyata merasa gelisah untuk hal ini. Ketika lulus SD, dia tidak ingin melanjutkan sekolah dan ingin bekerja, begitu seterusnya sampai dia lulus SMA, alasannya adalah darimana aku akan mendapatkan uang untuk menyekolahkan dia. Aku memberikan cerita hidupku kepadanya, ku yakin apa yang kualami ini akan mengalirkan semangat Fatimah untuk tetap melanjutkan sekolah. Aku berkata padanya, \u201cNak, lihat Ummi. Ummi lulusan SMA, tapi Ummi tidak menjadi apa-apa. Ummi hanya menjadi buruh lepas. Apakah kamu ingin hidup seperti Ummi? Ummi ingin kamu maju, jangan seperti Ummi. Ummi ingin kehidupanmu lebih baik dari Ummi dan mendapatkan pekerjaan yang layak\u201d. Hati anakku pun tergerak, dia kemudian tetap melanjutkan kuliah di STAIN di Kecamatan Kajuara sambil bekerja sebagai honorer di salah satu yayasan pendidikan di Makassar.<\/p>\n\n\n\n
Pada tanggal 22 Oktober 2012, Mbak Nunung dari Pekka datang ke Camming, daerah dimana tempatku tinggal saat ini. Aku sangat tertarik dengan Pekka. Bagiku, program ini sangatlah bagus karena berbeda dengan program dari organisasi-organisasi yang pernah aku ikuti, dan dibentuklah kelompok yang kami beri nama Mattiro Bulu (Melihat dari atas gunung). Dengan adanya Pekka aku mulai bangkit. Semangatku tumbuh kembali. Bersama Pekka, aku merasa beban hidupku berangsur-angsur berkurang. Kesedihanku sedikit terlupakan. Hal ini karena aku selalu mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan Pekka dimana aku bertemu banyak orang dan banyak ilmu yang kudapat dasri Pekka.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaanku ini bertambah, karena izin Allah aku kemudian mendapatkan kesempatan untuk mengikuti fornas di Jakarta. Aku sangat senang, aku mengunjungi kementerian koordinator bidang kesejahteraan rakyat yang sebelumnya tak pernah kubayangkan. Betapa terharunya ketika ku teringat duduk di forum bersama teman-teman dari 19 provinsi di Indonesia. Photo fornas dengan memakai kaos seragam wilayah yang kudapat, kuperbesar menjadi 10 R dan kupajang di dinding rumahku. Ketika melihat photo itu, aku menangis terharu, mengingat setiap moment yang ada ketika itu. Dan photo itu mengalirkan semangat dalam hidupku.<\/p>\n\n\n\n
Setelah fornas, hidupku mulai berubah. Percaya diriku bertambah. Ketika akan dilaksanakan pelayanan terpadu satu atap di kecamatanku Libureng. Aku dan teman-teman pengurus serikat mendata dari rumah ke rumah. Teman-temanku memberikan pelajaran baru bagiku. Aku harus memiliki keberanian. Dan pelayanan terpadu satu atap ini pun berlangsung, ketika itu tanggal 4 Desember 2013.<\/p>\n\n\n\n
Setelah kegiatan itu usai, aku mendapatkan tugas lain. Aku mendapatkan sms untuk mendata siapa saja yang tidak memiliki jamkesmas atau jamkesda. Aku mendata dari rumah ke rumah dan ketika itu juga langsung saja namaku dan nama anak-anakku kucantumkan, karena selama ini aku dan anak-anakku tidak dapat mengakses program itu. Kupikir aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Mengingat tidak hanya jamkesmas saja yang tak kudapat tetapi juga anak-anakku yang saat ini bersekolah di SMP dan di SD tidak pernah sama sekali menerima baik dana bos maupun dana sumbangan bagi siswa miskin. Padahal aku telah melampirkan persyaratan yang harus dipenuhi yaitu KK, KTP, dan rapor anak-anakku. Namun meskipun begitu, aku yakin Allah tetap akan membuka rezekiku walau bukan dari pintu yang ini. Ternyata pengurus serikat sangat heran dengan data-data yang ku dapat, apalagi Tari ketua LKM kami, dia sampai bertanya darimana aku mendapat data-data itu. Aku langsung bilang dengan bangga \u201caku mendatanya dari rumah ke rumah\u201d. Aku berharap usulan ini diterima dan kami mendapat JKN itu.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaan lainnya semenjak aku ikut Pekka dan sepulangnya dari Fornas Pekka di Jakarta, aku akhirnya dapat mengikuti musrenbang. Ketika itu musrenbang dilaksanakan pada tanggal 05 Januari 2014. Dalam musrenbang, aku mengusulkan agar listrik masuk ke dusunku (Dusun Camming, Desa Mattiro Bulu, Kecamatan Libureng), dan aku juga mengusulkan agar jalan menuju kampungku diperbaiki serta ada sumbangan bahan bangun untuk mesjid di atas tanah yang almarhum adikku hibahkan kepadaku. Aku senang, salah satu usulku mendapatkan respon yang positif. Setidaknya aku sekarang melihat ada tiang listrik di dusunku. Semoga listrik masuk dusun ini segera terlaksana.<\/p>\n\n\n\n
Setelah Fornas PEKKA dan musrenbang itu, aku semakin dikenal orang. Aku diundang diacara pengajian di desa dan di dusun Lappa data. Dikeduanya aku diberi amplop. Aku sangat senang sekali, di dalam amplop itu ada uang yang isinya Rp 50.000,- berarti dengan dua amplop yang terkumpul aku mendapatkan uang Rp 100.000,-. Ternyata jika kita menjalankan semuanya dengan penuh keikhlasan maka balasan dari Allah pun akan sangat melimpah. Itu yang kini menjadi hal yang akan terus aku pegang. Setelah dua acara tersebut aku juga diundang untuk menjadi pembaca ayat suci al-qur\u2019an di acara Maulid Nabi di kantor kecamatan. Dan aku akan mempersiapkan diri sebaik mungkin.<\/p>\n\n\n\n
Namun dari semua kebahagiaan yang ada, ada hal yang amat sangat membuat aku luar biasa bahagia, yang membuatku terharu dan mengucap syukur nikmat atas semua yang diberikan Allah SWT. Pada tanggal 15 Desember 2013, anak pertamaku Fatimah di wisuda dengan predikat cumlaude dan sekarang bekerja menjadi guru di yayasan pendidikan di Makassar. Anak keduaku naik kelas ke kelas 3 SMP dan anak bungsuku naik kelas ke kelas 2 SD. Aku merasa berhasil, menjadi orang tua tunggal tidak menghalangi aku untuk menyekolahkan anak-anakku sampai perguruan tinggi, asalkan aku tetap berdo\u2019a dan berusaha, insyaallah semua cobaan itu dapat kulewati dan menghasilkan kebahagiaan yang luar biasa.<\/p>\n","post_title":"Menjadi Buruh Tebu Demi Pendidikan Anak","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"menjadi-buruh-tebu-demi-pendidikan-anak","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-24 03:40:25","post_modified_gmt":"2021-02-24 03:40:25","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1649","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1612,"post_author":"4","post_date":"2021-02-04 09:19:12","post_date_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content":"\n
2003 silam kembali kuingat. Kala itu kehidupan rumah tangga kita cukup harmonis. Kita dikarunia 7 orang anak yang sangat manis. Saat itu usia mereka masih belia. Yang paling kecil baru berusia 1 tahun. Dan aku termasuk perempuan yang subur sehingga jedah usia antara anak yang satu dengan yang lain hanya 1-2 tahun.<\/p>\n\n\n\n
Suami bekerja sebagai petani. Kami memiliki satu petak sawah untuk sumber penghasilan. Sesekali kubantu suami di sawah. Karena aku juga membantu mencari nafkah sebagai penjual jamu tradisional. Itupun kadang-kadang kulakukan disela-sela kesibukanku sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi anak-anak di rumah.<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan rumah tanggaku tidak semulus yang kubayangkan. Sejak menikah suamiku sudah berkali-kali bermain perempuan bahkan sempat beberapa kali menikah dengan perempuan lain. Aku masih menerimannya walaupun terkadang dia datang sebulan sekali tanpa memberi nafkah lahiriah.<\/p>\n\n\n\n
Kukorbankan sekolah ke 4 anak tertuaku. Mereka tak melanjutkan sekolah. Mereka hanya mengenyam pendidikan sampai SD dan SMP. Ini semua terkendala biaya. Karena jaman dulu belum ada bantuan PKH seperti sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Mereka kecil bekerja di sawah. Bapaknya sibuk dengan perempuan lain.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya Bom waktu itu meledak. Tepat tahun 2003 aku menggugat cerai. Kali ini perbuatannya diluar batas kesabaranku. Aku tak diberi harta gono gini sedikitpun. Padahal rumah dan sawah adalah hasil dari usaha kami berdua.<\/p>\n\n\n\n
Oh..... sungguh kejam kalian....<\/p>\n\n\n\n
Maemunah namanya. Teman makan sepiring berdua. Teman curhatku bila ada masalah, teman berbagi suka dan duka. Statusnyapun janda beranak 1.<\/p>\n\n\n\n
B\u00e8gitu akrabnya kami, terkadang Maemunah sering kuajak nginap di rumah. Sambil membantuku membuat jamu. Dan aku memberinya upah seala kadarnya.<\/p>\n\n\n\n
Saat itu posisi suamiku sudah bercerai dengan istri -istri gelapnya.<\/p>\n\n\n\n
Sore itu sepulang aku dari menjual jamu.<\/p>\n\n\n\n
Aku dikejutkan oleh keberadaan suamiku dan Maemunah didalam kamarku. Aku marah. Aku menangis sejadi-jadinya. Dunia gelap kurasakan. Tak ada daya lagi. Tulangku remuk. Aku hacur....<\/p>\n\n\n\n
Aku membawa ke 7 anak-anakku. Aku keluar dari rumah menuju desa Donggobolo tempat tinggalku sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Aku diberi tumpangan rumah sederhana oleh saudaraku.<\/p>\n\n\n\n
Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Cobaan pun datang bertubi-tubi, 3 (tiga) tahun setelah suamiku meninggal, adikku meninggal, disusul dengan ayah dan adikku yang satunya lagi. Kejadian ini dialami selama 2 (dua) tahun berturut-turut. Namun aku tetap terus bertawakal kepada Allah dan menerima cobaan serta ujian hidup ini.<\/p>\n\n\n\n
Aku bekerja ganda, sebagai Ibu sekaligus mencari nafkah sebagai buruh perkebunan tebu dan menjadi guru di TPA dengan gaji yang sangat kecil. Hal ini kulakukan demi keberlangsungan sekolah anak-anakku. Sungguh lelah kurasa, namun aku percaya lelah ini akan menghasilkan kebahagiaan. Fatimah anak pertamaku ternyata merasa gelisah untuk hal ini. Ketika lulus SD, dia tidak ingin melanjutkan sekolah dan ingin bekerja, begitu seterusnya sampai dia lulus SMA, alasannya adalah darimana aku akan mendapatkan uang untuk menyekolahkan dia. Aku memberikan cerita hidupku kepadanya, ku yakin apa yang kualami ini akan mengalirkan semangat Fatimah untuk tetap melanjutkan sekolah. Aku berkata padanya, \u201cNak, lihat Ummi. Ummi lulusan SMA, tapi Ummi tidak menjadi apa-apa. Ummi hanya menjadi buruh lepas. Apakah kamu ingin hidup seperti Ummi? Ummi ingin kamu maju, jangan seperti Ummi. Ummi ingin kehidupanmu lebih baik dari Ummi dan mendapatkan pekerjaan yang layak\u201d. Hati anakku pun tergerak, dia kemudian tetap melanjutkan kuliah di STAIN di Kecamatan Kajuara sambil bekerja sebagai honorer di salah satu yayasan pendidikan di Makassar.<\/p>\n\n\n\n
Pada tanggal 22 Oktober 2012, Mbak Nunung dari Pekka datang ke Camming, daerah dimana tempatku tinggal saat ini. Aku sangat tertarik dengan Pekka. Bagiku, program ini sangatlah bagus karena berbeda dengan program dari organisasi-organisasi yang pernah aku ikuti, dan dibentuklah kelompok yang kami beri nama Mattiro Bulu (Melihat dari atas gunung). Dengan adanya Pekka aku mulai bangkit. Semangatku tumbuh kembali. Bersama Pekka, aku merasa beban hidupku berangsur-angsur berkurang. Kesedihanku sedikit terlupakan. Hal ini karena aku selalu mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan Pekka dimana aku bertemu banyak orang dan banyak ilmu yang kudapat dasri Pekka.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaanku ini bertambah, karena izin Allah aku kemudian mendapatkan kesempatan untuk mengikuti fornas di Jakarta. Aku sangat senang, aku mengunjungi kementerian koordinator bidang kesejahteraan rakyat yang sebelumnya tak pernah kubayangkan. Betapa terharunya ketika ku teringat duduk di forum bersama teman-teman dari 19 provinsi di Indonesia. Photo fornas dengan memakai kaos seragam wilayah yang kudapat, kuperbesar menjadi 10 R dan kupajang di dinding rumahku. Ketika melihat photo itu, aku menangis terharu, mengingat setiap moment yang ada ketika itu. Dan photo itu mengalirkan semangat dalam hidupku.<\/p>\n\n\n\n
Setelah fornas, hidupku mulai berubah. Percaya diriku bertambah. Ketika akan dilaksanakan pelayanan terpadu satu atap di kecamatanku Libureng. Aku dan teman-teman pengurus serikat mendata dari rumah ke rumah. Teman-temanku memberikan pelajaran baru bagiku. Aku harus memiliki keberanian. Dan pelayanan terpadu satu atap ini pun berlangsung, ketika itu tanggal 4 Desember 2013.<\/p>\n\n\n\n
Setelah kegiatan itu usai, aku mendapatkan tugas lain. Aku mendapatkan sms untuk mendata siapa saja yang tidak memiliki jamkesmas atau jamkesda. Aku mendata dari rumah ke rumah dan ketika itu juga langsung saja namaku dan nama anak-anakku kucantumkan, karena selama ini aku dan anak-anakku tidak dapat mengakses program itu. Kupikir aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Mengingat tidak hanya jamkesmas saja yang tak kudapat tetapi juga anak-anakku yang saat ini bersekolah di SMP dan di SD tidak pernah sama sekali menerima baik dana bos maupun dana sumbangan bagi siswa miskin. Padahal aku telah melampirkan persyaratan yang harus dipenuhi yaitu KK, KTP, dan rapor anak-anakku. Namun meskipun begitu, aku yakin Allah tetap akan membuka rezekiku walau bukan dari pintu yang ini. Ternyata pengurus serikat sangat heran dengan data-data yang ku dapat, apalagi Tari ketua LKM kami, dia sampai bertanya darimana aku mendapat data-data itu. Aku langsung bilang dengan bangga \u201caku mendatanya dari rumah ke rumah\u201d. Aku berharap usulan ini diterima dan kami mendapat JKN itu.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaan lainnya semenjak aku ikut Pekka dan sepulangnya dari Fornas Pekka di Jakarta, aku akhirnya dapat mengikuti musrenbang. Ketika itu musrenbang dilaksanakan pada tanggal 05 Januari 2014. Dalam musrenbang, aku mengusulkan agar listrik masuk ke dusunku (Dusun Camming, Desa Mattiro Bulu, Kecamatan Libureng), dan aku juga mengusulkan agar jalan menuju kampungku diperbaiki serta ada sumbangan bahan bangun untuk mesjid di atas tanah yang almarhum adikku hibahkan kepadaku. Aku senang, salah satu usulku mendapatkan respon yang positif. Setidaknya aku sekarang melihat ada tiang listrik di dusunku. Semoga listrik masuk dusun ini segera terlaksana.<\/p>\n\n\n\n
Setelah Fornas PEKKA dan musrenbang itu, aku semakin dikenal orang. Aku diundang diacara pengajian di desa dan di dusun Lappa data. Dikeduanya aku diberi amplop. Aku sangat senang sekali, di dalam amplop itu ada uang yang isinya Rp 50.000,- berarti dengan dua amplop yang terkumpul aku mendapatkan uang Rp 100.000,-. Ternyata jika kita menjalankan semuanya dengan penuh keikhlasan maka balasan dari Allah pun akan sangat melimpah. Itu yang kini menjadi hal yang akan terus aku pegang. Setelah dua acara tersebut aku juga diundang untuk menjadi pembaca ayat suci al-qur\u2019an di acara Maulid Nabi di kantor kecamatan. Dan aku akan mempersiapkan diri sebaik mungkin.<\/p>\n\n\n\n
Namun dari semua kebahagiaan yang ada, ada hal yang amat sangat membuat aku luar biasa bahagia, yang membuatku terharu dan mengucap syukur nikmat atas semua yang diberikan Allah SWT. Pada tanggal 15 Desember 2013, anak pertamaku Fatimah di wisuda dengan predikat cumlaude dan sekarang bekerja menjadi guru di yayasan pendidikan di Makassar. Anak keduaku naik kelas ke kelas 3 SMP dan anak bungsuku naik kelas ke kelas 2 SD. Aku merasa berhasil, menjadi orang tua tunggal tidak menghalangi aku untuk menyekolahkan anak-anakku sampai perguruan tinggi, asalkan aku tetap berdo\u2019a dan berusaha, insyaallah semua cobaan itu dapat kulewati dan menghasilkan kebahagiaan yang luar biasa.<\/p>\n","post_title":"Menjadi Buruh Tebu Demi Pendidikan Anak","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"menjadi-buruh-tebu-demi-pendidikan-anak","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-24 03:40:25","post_modified_gmt":"2021-02-24 03:40:25","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1649","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1612,"post_author":"4","post_date":"2021-02-04 09:19:12","post_date_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content":"\n
2003 silam kembali kuingat. Kala itu kehidupan rumah tangga kita cukup harmonis. Kita dikarunia 7 orang anak yang sangat manis. Saat itu usia mereka masih belia. Yang paling kecil baru berusia 1 tahun. Dan aku termasuk perempuan yang subur sehingga jedah usia antara anak yang satu dengan yang lain hanya 1-2 tahun.<\/p>\n\n\n\n
Suami bekerja sebagai petani. Kami memiliki satu petak sawah untuk sumber penghasilan. Sesekali kubantu suami di sawah. Karena aku juga membantu mencari nafkah sebagai penjual jamu tradisional. Itupun kadang-kadang kulakukan disela-sela kesibukanku sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi anak-anak di rumah.<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan rumah tanggaku tidak semulus yang kubayangkan. Sejak menikah suamiku sudah berkali-kali bermain perempuan bahkan sempat beberapa kali menikah dengan perempuan lain. Aku masih menerimannya walaupun terkadang dia datang sebulan sekali tanpa memberi nafkah lahiriah.<\/p>\n\n\n\n
Kukorbankan sekolah ke 4 anak tertuaku. Mereka tak melanjutkan sekolah. Mereka hanya mengenyam pendidikan sampai SD dan SMP. Ini semua terkendala biaya. Karena jaman dulu belum ada bantuan PKH seperti sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Mereka kecil bekerja di sawah. Bapaknya sibuk dengan perempuan lain.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya Bom waktu itu meledak. Tepat tahun 2003 aku menggugat cerai. Kali ini perbuatannya diluar batas kesabaranku. Aku tak diberi harta gono gini sedikitpun. Padahal rumah dan sawah adalah hasil dari usaha kami berdua.<\/p>\n\n\n\n
Oh..... sungguh kejam kalian....<\/p>\n\n\n\n
Maemunah namanya. Teman makan sepiring berdua. Teman curhatku bila ada masalah, teman berbagi suka dan duka. Statusnyapun janda beranak 1.<\/p>\n\n\n\n
B\u00e8gitu akrabnya kami, terkadang Maemunah sering kuajak nginap di rumah. Sambil membantuku membuat jamu. Dan aku memberinya upah seala kadarnya.<\/p>\n\n\n\n
Saat itu posisi suamiku sudah bercerai dengan istri -istri gelapnya.<\/p>\n\n\n\n
Sore itu sepulang aku dari menjual jamu.<\/p>\n\n\n\n
Aku dikejutkan oleh keberadaan suamiku dan Maemunah didalam kamarku. Aku marah. Aku menangis sejadi-jadinya. Dunia gelap kurasakan. Tak ada daya lagi. Tulangku remuk. Aku hacur....<\/p>\n\n\n\n
Aku membawa ke 7 anak-anakku. Aku keluar dari rumah menuju desa Donggobolo tempat tinggalku sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Aku diberi tumpangan rumah sederhana oleh saudaraku.<\/p>\n\n\n\n
Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Ketika Ulil berusia 6 (enam) tahun dan Ihwal berusia 7 (tujuh) bulan, suamiku meninggal. Aku berpikir betapa pahitnya hidupku. Namun aku harus tetap kuat di hadapan anak-anakku, aku tidak boleh lemah menghadapi cobaan ini dan aku harus terus bertawakal dan be\u2019do'a kepada-Nya serta terus berikhtiar untuk melanjutkan kehidupanku beserta ketiga anak-anakku.<\/p>\n\n\n\n
Cobaan pun datang bertubi-tubi, 3 (tiga) tahun setelah suamiku meninggal, adikku meninggal, disusul dengan ayah dan adikku yang satunya lagi. Kejadian ini dialami selama 2 (dua) tahun berturut-turut. Namun aku tetap terus bertawakal kepada Allah dan menerima cobaan serta ujian hidup ini.<\/p>\n\n\n\n
Aku bekerja ganda, sebagai Ibu sekaligus mencari nafkah sebagai buruh perkebunan tebu dan menjadi guru di TPA dengan gaji yang sangat kecil. Hal ini kulakukan demi keberlangsungan sekolah anak-anakku. Sungguh lelah kurasa, namun aku percaya lelah ini akan menghasilkan kebahagiaan. Fatimah anak pertamaku ternyata merasa gelisah untuk hal ini. Ketika lulus SD, dia tidak ingin melanjutkan sekolah dan ingin bekerja, begitu seterusnya sampai dia lulus SMA, alasannya adalah darimana aku akan mendapatkan uang untuk menyekolahkan dia. Aku memberikan cerita hidupku kepadanya, ku yakin apa yang kualami ini akan mengalirkan semangat Fatimah untuk tetap melanjutkan sekolah. Aku berkata padanya, \u201cNak, lihat Ummi. Ummi lulusan SMA, tapi Ummi tidak menjadi apa-apa. Ummi hanya menjadi buruh lepas. Apakah kamu ingin hidup seperti Ummi? Ummi ingin kamu maju, jangan seperti Ummi. Ummi ingin kehidupanmu lebih baik dari Ummi dan mendapatkan pekerjaan yang layak\u201d. Hati anakku pun tergerak, dia kemudian tetap melanjutkan kuliah di STAIN di Kecamatan Kajuara sambil bekerja sebagai honorer di salah satu yayasan pendidikan di Makassar.<\/p>\n\n\n\n
Pada tanggal 22 Oktober 2012, Mbak Nunung dari Pekka datang ke Camming, daerah dimana tempatku tinggal saat ini. Aku sangat tertarik dengan Pekka. Bagiku, program ini sangatlah bagus karena berbeda dengan program dari organisasi-organisasi yang pernah aku ikuti, dan dibentuklah kelompok yang kami beri nama Mattiro Bulu (Melihat dari atas gunung). Dengan adanya Pekka aku mulai bangkit. Semangatku tumbuh kembali. Bersama Pekka, aku merasa beban hidupku berangsur-angsur berkurang. Kesedihanku sedikit terlupakan. Hal ini karena aku selalu mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan Pekka dimana aku bertemu banyak orang dan banyak ilmu yang kudapat dasri Pekka.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaanku ini bertambah, karena izin Allah aku kemudian mendapatkan kesempatan untuk mengikuti fornas di Jakarta. Aku sangat senang, aku mengunjungi kementerian koordinator bidang kesejahteraan rakyat yang sebelumnya tak pernah kubayangkan. Betapa terharunya ketika ku teringat duduk di forum bersama teman-teman dari 19 provinsi di Indonesia. Photo fornas dengan memakai kaos seragam wilayah yang kudapat, kuperbesar menjadi 10 R dan kupajang di dinding rumahku. Ketika melihat photo itu, aku menangis terharu, mengingat setiap moment yang ada ketika itu. Dan photo itu mengalirkan semangat dalam hidupku.<\/p>\n\n\n\n
Setelah fornas, hidupku mulai berubah. Percaya diriku bertambah. Ketika akan dilaksanakan pelayanan terpadu satu atap di kecamatanku Libureng. Aku dan teman-teman pengurus serikat mendata dari rumah ke rumah. Teman-temanku memberikan pelajaran baru bagiku. Aku harus memiliki keberanian. Dan pelayanan terpadu satu atap ini pun berlangsung, ketika itu tanggal 4 Desember 2013.<\/p>\n\n\n\n
Setelah kegiatan itu usai, aku mendapatkan tugas lain. Aku mendapatkan sms untuk mendata siapa saja yang tidak memiliki jamkesmas atau jamkesda. Aku mendata dari rumah ke rumah dan ketika itu juga langsung saja namaku dan nama anak-anakku kucantumkan, karena selama ini aku dan anak-anakku tidak dapat mengakses program itu. Kupikir aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Mengingat tidak hanya jamkesmas saja yang tak kudapat tetapi juga anak-anakku yang saat ini bersekolah di SMP dan di SD tidak pernah sama sekali menerima baik dana bos maupun dana sumbangan bagi siswa miskin. Padahal aku telah melampirkan persyaratan yang harus dipenuhi yaitu KK, KTP, dan rapor anak-anakku. Namun meskipun begitu, aku yakin Allah tetap akan membuka rezekiku walau bukan dari pintu yang ini. Ternyata pengurus serikat sangat heran dengan data-data yang ku dapat, apalagi Tari ketua LKM kami, dia sampai bertanya darimana aku mendapat data-data itu. Aku langsung bilang dengan bangga \u201caku mendatanya dari rumah ke rumah\u201d. Aku berharap usulan ini diterima dan kami mendapat JKN itu.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaan lainnya semenjak aku ikut Pekka dan sepulangnya dari Fornas Pekka di Jakarta, aku akhirnya dapat mengikuti musrenbang. Ketika itu musrenbang dilaksanakan pada tanggal 05 Januari 2014. Dalam musrenbang, aku mengusulkan agar listrik masuk ke dusunku (Dusun Camming, Desa Mattiro Bulu, Kecamatan Libureng), dan aku juga mengusulkan agar jalan menuju kampungku diperbaiki serta ada sumbangan bahan bangun untuk mesjid di atas tanah yang almarhum adikku hibahkan kepadaku. Aku senang, salah satu usulku mendapatkan respon yang positif. Setidaknya aku sekarang melihat ada tiang listrik di dusunku. Semoga listrik masuk dusun ini segera terlaksana.<\/p>\n\n\n\n
Setelah Fornas PEKKA dan musrenbang itu, aku semakin dikenal orang. Aku diundang diacara pengajian di desa dan di dusun Lappa data. Dikeduanya aku diberi amplop. Aku sangat senang sekali, di dalam amplop itu ada uang yang isinya Rp 50.000,- berarti dengan dua amplop yang terkumpul aku mendapatkan uang Rp 100.000,-. Ternyata jika kita menjalankan semuanya dengan penuh keikhlasan maka balasan dari Allah pun akan sangat melimpah. Itu yang kini menjadi hal yang akan terus aku pegang. Setelah dua acara tersebut aku juga diundang untuk menjadi pembaca ayat suci al-qur\u2019an di acara Maulid Nabi di kantor kecamatan. Dan aku akan mempersiapkan diri sebaik mungkin.<\/p>\n\n\n\n
Namun dari semua kebahagiaan yang ada, ada hal yang amat sangat membuat aku luar biasa bahagia, yang membuatku terharu dan mengucap syukur nikmat atas semua yang diberikan Allah SWT. Pada tanggal 15 Desember 2013, anak pertamaku Fatimah di wisuda dengan predikat cumlaude dan sekarang bekerja menjadi guru di yayasan pendidikan di Makassar. Anak keduaku naik kelas ke kelas 3 SMP dan anak bungsuku naik kelas ke kelas 2 SD. Aku merasa berhasil, menjadi orang tua tunggal tidak menghalangi aku untuk menyekolahkan anak-anakku sampai perguruan tinggi, asalkan aku tetap berdo\u2019a dan berusaha, insyaallah semua cobaan itu dapat kulewati dan menghasilkan kebahagiaan yang luar biasa.<\/p>\n","post_title":"Menjadi Buruh Tebu Demi Pendidikan Anak","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"menjadi-buruh-tebu-demi-pendidikan-anak","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-24 03:40:25","post_modified_gmt":"2021-02-24 03:40:25","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1649","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1612,"post_author":"4","post_date":"2021-02-04 09:19:12","post_date_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content":"\n
2003 silam kembali kuingat. Kala itu kehidupan rumah tangga kita cukup harmonis. Kita dikarunia 7 orang anak yang sangat manis. Saat itu usia mereka masih belia. Yang paling kecil baru berusia 1 tahun. Dan aku termasuk perempuan yang subur sehingga jedah usia antara anak yang satu dengan yang lain hanya 1-2 tahun.<\/p>\n\n\n\n
Suami bekerja sebagai petani. Kami memiliki satu petak sawah untuk sumber penghasilan. Sesekali kubantu suami di sawah. Karena aku juga membantu mencari nafkah sebagai penjual jamu tradisional. Itupun kadang-kadang kulakukan disela-sela kesibukanku sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi anak-anak di rumah.<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan rumah tanggaku tidak semulus yang kubayangkan. Sejak menikah suamiku sudah berkali-kali bermain perempuan bahkan sempat beberapa kali menikah dengan perempuan lain. Aku masih menerimannya walaupun terkadang dia datang sebulan sekali tanpa memberi nafkah lahiriah.<\/p>\n\n\n\n
Kukorbankan sekolah ke 4 anak tertuaku. Mereka tak melanjutkan sekolah. Mereka hanya mengenyam pendidikan sampai SD dan SMP. Ini semua terkendala biaya. Karena jaman dulu belum ada bantuan PKH seperti sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Mereka kecil bekerja di sawah. Bapaknya sibuk dengan perempuan lain.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya Bom waktu itu meledak. Tepat tahun 2003 aku menggugat cerai. Kali ini perbuatannya diluar batas kesabaranku. Aku tak diberi harta gono gini sedikitpun. Padahal rumah dan sawah adalah hasil dari usaha kami berdua.<\/p>\n\n\n\n
Oh..... sungguh kejam kalian....<\/p>\n\n\n\n
Maemunah namanya. Teman makan sepiring berdua. Teman curhatku bila ada masalah, teman berbagi suka dan duka. Statusnyapun janda beranak 1.<\/p>\n\n\n\n
B\u00e8gitu akrabnya kami, terkadang Maemunah sering kuajak nginap di rumah. Sambil membantuku membuat jamu. Dan aku memberinya upah seala kadarnya.<\/p>\n\n\n\n
Saat itu posisi suamiku sudah bercerai dengan istri -istri gelapnya.<\/p>\n\n\n\n
Sore itu sepulang aku dari menjual jamu.<\/p>\n\n\n\n
Aku dikejutkan oleh keberadaan suamiku dan Maemunah didalam kamarku. Aku marah. Aku menangis sejadi-jadinya. Dunia gelap kurasakan. Tak ada daya lagi. Tulangku remuk. Aku hacur....<\/p>\n\n\n\n
Aku membawa ke 7 anak-anakku. Aku keluar dari rumah menuju desa Donggobolo tempat tinggalku sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Aku diberi tumpangan rumah sederhana oleh saudaraku.<\/p>\n\n\n\n
Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Di tahun 1999 aku menikah lagi. Sama dengan pernikahanku yang pertama, aku menikah dengan lelaki yang tak kukenal sebelumnya. Aku menikah secara agama. Namun yang jelas, dalam benakku hanya berkata, pria ini adalah suamiku dan aku harus memposisikan diri sebagai isteri yang patuh terhadap suami. Dari pernikahan kedua ini, aku dikaruniai 2 (orang) anak laki-laki, Ulil dan Ihwal.<\/p>\n\n\n\n
Ketika Ulil berusia 6 (enam) tahun dan Ihwal berusia 7 (tujuh) bulan, suamiku meninggal. Aku berpikir betapa pahitnya hidupku. Namun aku harus tetap kuat di hadapan anak-anakku, aku tidak boleh lemah menghadapi cobaan ini dan aku harus terus bertawakal dan be\u2019do'a kepada-Nya serta terus berikhtiar untuk melanjutkan kehidupanku beserta ketiga anak-anakku.<\/p>\n\n\n\n
Cobaan pun datang bertubi-tubi, 3 (tiga) tahun setelah suamiku meninggal, adikku meninggal, disusul dengan ayah dan adikku yang satunya lagi. Kejadian ini dialami selama 2 (dua) tahun berturut-turut. Namun aku tetap terus bertawakal kepada Allah dan menerima cobaan serta ujian hidup ini.<\/p>\n\n\n\n
Aku bekerja ganda, sebagai Ibu sekaligus mencari nafkah sebagai buruh perkebunan tebu dan menjadi guru di TPA dengan gaji yang sangat kecil. Hal ini kulakukan demi keberlangsungan sekolah anak-anakku. Sungguh lelah kurasa, namun aku percaya lelah ini akan menghasilkan kebahagiaan. Fatimah anak pertamaku ternyata merasa gelisah untuk hal ini. Ketika lulus SD, dia tidak ingin melanjutkan sekolah dan ingin bekerja, begitu seterusnya sampai dia lulus SMA, alasannya adalah darimana aku akan mendapatkan uang untuk menyekolahkan dia. Aku memberikan cerita hidupku kepadanya, ku yakin apa yang kualami ini akan mengalirkan semangat Fatimah untuk tetap melanjutkan sekolah. Aku berkata padanya, \u201cNak, lihat Ummi. Ummi lulusan SMA, tapi Ummi tidak menjadi apa-apa. Ummi hanya menjadi buruh lepas. Apakah kamu ingin hidup seperti Ummi? Ummi ingin kamu maju, jangan seperti Ummi. Ummi ingin kehidupanmu lebih baik dari Ummi dan mendapatkan pekerjaan yang layak\u201d. Hati anakku pun tergerak, dia kemudian tetap melanjutkan kuliah di STAIN di Kecamatan Kajuara sambil bekerja sebagai honorer di salah satu yayasan pendidikan di Makassar.<\/p>\n\n\n\n
Pada tanggal 22 Oktober 2012, Mbak Nunung dari Pekka datang ke Camming, daerah dimana tempatku tinggal saat ini. Aku sangat tertarik dengan Pekka. Bagiku, program ini sangatlah bagus karena berbeda dengan program dari organisasi-organisasi yang pernah aku ikuti, dan dibentuklah kelompok yang kami beri nama Mattiro Bulu (Melihat dari atas gunung). Dengan adanya Pekka aku mulai bangkit. Semangatku tumbuh kembali. Bersama Pekka, aku merasa beban hidupku berangsur-angsur berkurang. Kesedihanku sedikit terlupakan. Hal ini karena aku selalu mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan Pekka dimana aku bertemu banyak orang dan banyak ilmu yang kudapat dasri Pekka.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaanku ini bertambah, karena izin Allah aku kemudian mendapatkan kesempatan untuk mengikuti fornas di Jakarta. Aku sangat senang, aku mengunjungi kementerian koordinator bidang kesejahteraan rakyat yang sebelumnya tak pernah kubayangkan. Betapa terharunya ketika ku teringat duduk di forum bersama teman-teman dari 19 provinsi di Indonesia. Photo fornas dengan memakai kaos seragam wilayah yang kudapat, kuperbesar menjadi 10 R dan kupajang di dinding rumahku. Ketika melihat photo itu, aku menangis terharu, mengingat setiap moment yang ada ketika itu. Dan photo itu mengalirkan semangat dalam hidupku.<\/p>\n\n\n\n
Setelah fornas, hidupku mulai berubah. Percaya diriku bertambah. Ketika akan dilaksanakan pelayanan terpadu satu atap di kecamatanku Libureng. Aku dan teman-teman pengurus serikat mendata dari rumah ke rumah. Teman-temanku memberikan pelajaran baru bagiku. Aku harus memiliki keberanian. Dan pelayanan terpadu satu atap ini pun berlangsung, ketika itu tanggal 4 Desember 2013.<\/p>\n\n\n\n
Setelah kegiatan itu usai, aku mendapatkan tugas lain. Aku mendapatkan sms untuk mendata siapa saja yang tidak memiliki jamkesmas atau jamkesda. Aku mendata dari rumah ke rumah dan ketika itu juga langsung saja namaku dan nama anak-anakku kucantumkan, karena selama ini aku dan anak-anakku tidak dapat mengakses program itu. Kupikir aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Mengingat tidak hanya jamkesmas saja yang tak kudapat tetapi juga anak-anakku yang saat ini bersekolah di SMP dan di SD tidak pernah sama sekali menerima baik dana bos maupun dana sumbangan bagi siswa miskin. Padahal aku telah melampirkan persyaratan yang harus dipenuhi yaitu KK, KTP, dan rapor anak-anakku. Namun meskipun begitu, aku yakin Allah tetap akan membuka rezekiku walau bukan dari pintu yang ini. Ternyata pengurus serikat sangat heran dengan data-data yang ku dapat, apalagi Tari ketua LKM kami, dia sampai bertanya darimana aku mendapat data-data itu. Aku langsung bilang dengan bangga \u201caku mendatanya dari rumah ke rumah\u201d. Aku berharap usulan ini diterima dan kami mendapat JKN itu.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaan lainnya semenjak aku ikut Pekka dan sepulangnya dari Fornas Pekka di Jakarta, aku akhirnya dapat mengikuti musrenbang. Ketika itu musrenbang dilaksanakan pada tanggal 05 Januari 2014. Dalam musrenbang, aku mengusulkan agar listrik masuk ke dusunku (Dusun Camming, Desa Mattiro Bulu, Kecamatan Libureng), dan aku juga mengusulkan agar jalan menuju kampungku diperbaiki serta ada sumbangan bahan bangun untuk mesjid di atas tanah yang almarhum adikku hibahkan kepadaku. Aku senang, salah satu usulku mendapatkan respon yang positif. Setidaknya aku sekarang melihat ada tiang listrik di dusunku. Semoga listrik masuk dusun ini segera terlaksana.<\/p>\n\n\n\n
Setelah Fornas PEKKA dan musrenbang itu, aku semakin dikenal orang. Aku diundang diacara pengajian di desa dan di dusun Lappa data. Dikeduanya aku diberi amplop. Aku sangat senang sekali, di dalam amplop itu ada uang yang isinya Rp 50.000,- berarti dengan dua amplop yang terkumpul aku mendapatkan uang Rp 100.000,-. Ternyata jika kita menjalankan semuanya dengan penuh keikhlasan maka balasan dari Allah pun akan sangat melimpah. Itu yang kini menjadi hal yang akan terus aku pegang. Setelah dua acara tersebut aku juga diundang untuk menjadi pembaca ayat suci al-qur\u2019an di acara Maulid Nabi di kantor kecamatan. Dan aku akan mempersiapkan diri sebaik mungkin.<\/p>\n\n\n\n
Namun dari semua kebahagiaan yang ada, ada hal yang amat sangat membuat aku luar biasa bahagia, yang membuatku terharu dan mengucap syukur nikmat atas semua yang diberikan Allah SWT. Pada tanggal 15 Desember 2013, anak pertamaku Fatimah di wisuda dengan predikat cumlaude dan sekarang bekerja menjadi guru di yayasan pendidikan di Makassar. Anak keduaku naik kelas ke kelas 3 SMP dan anak bungsuku naik kelas ke kelas 2 SD. Aku merasa berhasil, menjadi orang tua tunggal tidak menghalangi aku untuk menyekolahkan anak-anakku sampai perguruan tinggi, asalkan aku tetap berdo\u2019a dan berusaha, insyaallah semua cobaan itu dapat kulewati dan menghasilkan kebahagiaan yang luar biasa.<\/p>\n","post_title":"Menjadi Buruh Tebu Demi Pendidikan Anak","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"menjadi-buruh-tebu-demi-pendidikan-anak","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-24 03:40:25","post_modified_gmt":"2021-02-24 03:40:25","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1649","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1612,"post_author":"4","post_date":"2021-02-04 09:19:12","post_date_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content":"\n
2003 silam kembali kuingat. Kala itu kehidupan rumah tangga kita cukup harmonis. Kita dikarunia 7 orang anak yang sangat manis. Saat itu usia mereka masih belia. Yang paling kecil baru berusia 1 tahun. Dan aku termasuk perempuan yang subur sehingga jedah usia antara anak yang satu dengan yang lain hanya 1-2 tahun.<\/p>\n\n\n\n
Suami bekerja sebagai petani. Kami memiliki satu petak sawah untuk sumber penghasilan. Sesekali kubantu suami di sawah. Karena aku juga membantu mencari nafkah sebagai penjual jamu tradisional. Itupun kadang-kadang kulakukan disela-sela kesibukanku sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi anak-anak di rumah.<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan rumah tanggaku tidak semulus yang kubayangkan. Sejak menikah suamiku sudah berkali-kali bermain perempuan bahkan sempat beberapa kali menikah dengan perempuan lain. Aku masih menerimannya walaupun terkadang dia datang sebulan sekali tanpa memberi nafkah lahiriah.<\/p>\n\n\n\n
Kukorbankan sekolah ke 4 anak tertuaku. Mereka tak melanjutkan sekolah. Mereka hanya mengenyam pendidikan sampai SD dan SMP. Ini semua terkendala biaya. Karena jaman dulu belum ada bantuan PKH seperti sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Mereka kecil bekerja di sawah. Bapaknya sibuk dengan perempuan lain.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya Bom waktu itu meledak. Tepat tahun 2003 aku menggugat cerai. Kali ini perbuatannya diluar batas kesabaranku. Aku tak diberi harta gono gini sedikitpun. Padahal rumah dan sawah adalah hasil dari usaha kami berdua.<\/p>\n\n\n\n
Oh..... sungguh kejam kalian....<\/p>\n\n\n\n
Maemunah namanya. Teman makan sepiring berdua. Teman curhatku bila ada masalah, teman berbagi suka dan duka. Statusnyapun janda beranak 1.<\/p>\n\n\n\n
B\u00e8gitu akrabnya kami, terkadang Maemunah sering kuajak nginap di rumah. Sambil membantuku membuat jamu. Dan aku memberinya upah seala kadarnya.<\/p>\n\n\n\n
Saat itu posisi suamiku sudah bercerai dengan istri -istri gelapnya.<\/p>\n\n\n\n
Sore itu sepulang aku dari menjual jamu.<\/p>\n\n\n\n
Aku dikejutkan oleh keberadaan suamiku dan Maemunah didalam kamarku. Aku marah. Aku menangis sejadi-jadinya. Dunia gelap kurasakan. Tak ada daya lagi. Tulangku remuk. Aku hacur....<\/p>\n\n\n\n
Aku membawa ke 7 anak-anakku. Aku keluar dari rumah menuju desa Donggobolo tempat tinggalku sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Aku diberi tumpangan rumah sederhana oleh saudaraku.<\/p>\n\n\n\n
Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Setelah berusia 7 (tujuh) tahun, Fatimah tahu ayahnya masih hidup dari cerita tetanggaku. Ketika itu Fatimah sangat marah kepadaku, \u201cUmmi bohong pada saya, ternyata ayah masih hidup. Mengapa Ummi berbohong kepada saya, sementara Ummi meminta saya untuk selalu jujur?\u201d. Aku menangis dan memeluk Fatimah, kubisikan padanya \u201cAyahmu memang masih hidup, tapi di mata Ummi ayahmu sudah meninggal. Karena tidak mungkin seorang ayah masih hidup jika dia tidak mencari anak isterinya\u201d. Fatimah kecil tertegun, kemudian dia berkata \u201cUmmi, kalau begitu ayah memang sudah meninggal. Dan Ummi, tolong jangan tinggalkan saya\u201d. Fatimah memeluk erat tubuhku sambil menangis. Perih sekali hatiku ketika itu dan aku bertekad akan membesarkan Fatimah sampai dia benar-benar menjadi seseorang yang berguna. Aku terus bertawakal kepada Allah.<\/p>\n\n\n\n
Di tahun 1999 aku menikah lagi. Sama dengan pernikahanku yang pertama, aku menikah dengan lelaki yang tak kukenal sebelumnya. Aku menikah secara agama. Namun yang jelas, dalam benakku hanya berkata, pria ini adalah suamiku dan aku harus memposisikan diri sebagai isteri yang patuh terhadap suami. Dari pernikahan kedua ini, aku dikaruniai 2 (orang) anak laki-laki, Ulil dan Ihwal.<\/p>\n\n\n\n
Ketika Ulil berusia 6 (enam) tahun dan Ihwal berusia 7 (tujuh) bulan, suamiku meninggal. Aku berpikir betapa pahitnya hidupku. Namun aku harus tetap kuat di hadapan anak-anakku, aku tidak boleh lemah menghadapi cobaan ini dan aku harus terus bertawakal dan be\u2019do'a kepada-Nya serta terus berikhtiar untuk melanjutkan kehidupanku beserta ketiga anak-anakku.<\/p>\n\n\n\n
Cobaan pun datang bertubi-tubi, 3 (tiga) tahun setelah suamiku meninggal, adikku meninggal, disusul dengan ayah dan adikku yang satunya lagi. Kejadian ini dialami selama 2 (dua) tahun berturut-turut. Namun aku tetap terus bertawakal kepada Allah dan menerima cobaan serta ujian hidup ini.<\/p>\n\n\n\n
Aku bekerja ganda, sebagai Ibu sekaligus mencari nafkah sebagai buruh perkebunan tebu dan menjadi guru di TPA dengan gaji yang sangat kecil. Hal ini kulakukan demi keberlangsungan sekolah anak-anakku. Sungguh lelah kurasa, namun aku percaya lelah ini akan menghasilkan kebahagiaan. Fatimah anak pertamaku ternyata merasa gelisah untuk hal ini. Ketika lulus SD, dia tidak ingin melanjutkan sekolah dan ingin bekerja, begitu seterusnya sampai dia lulus SMA, alasannya adalah darimana aku akan mendapatkan uang untuk menyekolahkan dia. Aku memberikan cerita hidupku kepadanya, ku yakin apa yang kualami ini akan mengalirkan semangat Fatimah untuk tetap melanjutkan sekolah. Aku berkata padanya, \u201cNak, lihat Ummi. Ummi lulusan SMA, tapi Ummi tidak menjadi apa-apa. Ummi hanya menjadi buruh lepas. Apakah kamu ingin hidup seperti Ummi? Ummi ingin kamu maju, jangan seperti Ummi. Ummi ingin kehidupanmu lebih baik dari Ummi dan mendapatkan pekerjaan yang layak\u201d. Hati anakku pun tergerak, dia kemudian tetap melanjutkan kuliah di STAIN di Kecamatan Kajuara sambil bekerja sebagai honorer di salah satu yayasan pendidikan di Makassar.<\/p>\n\n\n\n
Pada tanggal 22 Oktober 2012, Mbak Nunung dari Pekka datang ke Camming, daerah dimana tempatku tinggal saat ini. Aku sangat tertarik dengan Pekka. Bagiku, program ini sangatlah bagus karena berbeda dengan program dari organisasi-organisasi yang pernah aku ikuti, dan dibentuklah kelompok yang kami beri nama Mattiro Bulu (Melihat dari atas gunung). Dengan adanya Pekka aku mulai bangkit. Semangatku tumbuh kembali. Bersama Pekka, aku merasa beban hidupku berangsur-angsur berkurang. Kesedihanku sedikit terlupakan. Hal ini karena aku selalu mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan Pekka dimana aku bertemu banyak orang dan banyak ilmu yang kudapat dasri Pekka.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaanku ini bertambah, karena izin Allah aku kemudian mendapatkan kesempatan untuk mengikuti fornas di Jakarta. Aku sangat senang, aku mengunjungi kementerian koordinator bidang kesejahteraan rakyat yang sebelumnya tak pernah kubayangkan. Betapa terharunya ketika ku teringat duduk di forum bersama teman-teman dari 19 provinsi di Indonesia. Photo fornas dengan memakai kaos seragam wilayah yang kudapat, kuperbesar menjadi 10 R dan kupajang di dinding rumahku. Ketika melihat photo itu, aku menangis terharu, mengingat setiap moment yang ada ketika itu. Dan photo itu mengalirkan semangat dalam hidupku.<\/p>\n\n\n\n
Setelah fornas, hidupku mulai berubah. Percaya diriku bertambah. Ketika akan dilaksanakan pelayanan terpadu satu atap di kecamatanku Libureng. Aku dan teman-teman pengurus serikat mendata dari rumah ke rumah. Teman-temanku memberikan pelajaran baru bagiku. Aku harus memiliki keberanian. Dan pelayanan terpadu satu atap ini pun berlangsung, ketika itu tanggal 4 Desember 2013.<\/p>\n\n\n\n
Setelah kegiatan itu usai, aku mendapatkan tugas lain. Aku mendapatkan sms untuk mendata siapa saja yang tidak memiliki jamkesmas atau jamkesda. Aku mendata dari rumah ke rumah dan ketika itu juga langsung saja namaku dan nama anak-anakku kucantumkan, karena selama ini aku dan anak-anakku tidak dapat mengakses program itu. Kupikir aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Mengingat tidak hanya jamkesmas saja yang tak kudapat tetapi juga anak-anakku yang saat ini bersekolah di SMP dan di SD tidak pernah sama sekali menerima baik dana bos maupun dana sumbangan bagi siswa miskin. Padahal aku telah melampirkan persyaratan yang harus dipenuhi yaitu KK, KTP, dan rapor anak-anakku. Namun meskipun begitu, aku yakin Allah tetap akan membuka rezekiku walau bukan dari pintu yang ini. Ternyata pengurus serikat sangat heran dengan data-data yang ku dapat, apalagi Tari ketua LKM kami, dia sampai bertanya darimana aku mendapat data-data itu. Aku langsung bilang dengan bangga \u201caku mendatanya dari rumah ke rumah\u201d. Aku berharap usulan ini diterima dan kami mendapat JKN itu.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaan lainnya semenjak aku ikut Pekka dan sepulangnya dari Fornas Pekka di Jakarta, aku akhirnya dapat mengikuti musrenbang. Ketika itu musrenbang dilaksanakan pada tanggal 05 Januari 2014. Dalam musrenbang, aku mengusulkan agar listrik masuk ke dusunku (Dusun Camming, Desa Mattiro Bulu, Kecamatan Libureng), dan aku juga mengusulkan agar jalan menuju kampungku diperbaiki serta ada sumbangan bahan bangun untuk mesjid di atas tanah yang almarhum adikku hibahkan kepadaku. Aku senang, salah satu usulku mendapatkan respon yang positif. Setidaknya aku sekarang melihat ada tiang listrik di dusunku. Semoga listrik masuk dusun ini segera terlaksana.<\/p>\n\n\n\n
Setelah Fornas PEKKA dan musrenbang itu, aku semakin dikenal orang. Aku diundang diacara pengajian di desa dan di dusun Lappa data. Dikeduanya aku diberi amplop. Aku sangat senang sekali, di dalam amplop itu ada uang yang isinya Rp 50.000,- berarti dengan dua amplop yang terkumpul aku mendapatkan uang Rp 100.000,-. Ternyata jika kita menjalankan semuanya dengan penuh keikhlasan maka balasan dari Allah pun akan sangat melimpah. Itu yang kini menjadi hal yang akan terus aku pegang. Setelah dua acara tersebut aku juga diundang untuk menjadi pembaca ayat suci al-qur\u2019an di acara Maulid Nabi di kantor kecamatan. Dan aku akan mempersiapkan diri sebaik mungkin.<\/p>\n\n\n\n
Namun dari semua kebahagiaan yang ada, ada hal yang amat sangat membuat aku luar biasa bahagia, yang membuatku terharu dan mengucap syukur nikmat atas semua yang diberikan Allah SWT. Pada tanggal 15 Desember 2013, anak pertamaku Fatimah di wisuda dengan predikat cumlaude dan sekarang bekerja menjadi guru di yayasan pendidikan di Makassar. Anak keduaku naik kelas ke kelas 3 SMP dan anak bungsuku naik kelas ke kelas 2 SD. Aku merasa berhasil, menjadi orang tua tunggal tidak menghalangi aku untuk menyekolahkan anak-anakku sampai perguruan tinggi, asalkan aku tetap berdo\u2019a dan berusaha, insyaallah semua cobaan itu dapat kulewati dan menghasilkan kebahagiaan yang luar biasa.<\/p>\n","post_title":"Menjadi Buruh Tebu Demi Pendidikan Anak","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"menjadi-buruh-tebu-demi-pendidikan-anak","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-24 03:40:25","post_modified_gmt":"2021-02-24 03:40:25","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1649","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1612,"post_author":"4","post_date":"2021-02-04 09:19:12","post_date_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content":"\n
2003 silam kembali kuingat. Kala itu kehidupan rumah tangga kita cukup harmonis. Kita dikarunia 7 orang anak yang sangat manis. Saat itu usia mereka masih belia. Yang paling kecil baru berusia 1 tahun. Dan aku termasuk perempuan yang subur sehingga jedah usia antara anak yang satu dengan yang lain hanya 1-2 tahun.<\/p>\n\n\n\n
Suami bekerja sebagai petani. Kami memiliki satu petak sawah untuk sumber penghasilan. Sesekali kubantu suami di sawah. Karena aku juga membantu mencari nafkah sebagai penjual jamu tradisional. Itupun kadang-kadang kulakukan disela-sela kesibukanku sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi anak-anak di rumah.<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan rumah tanggaku tidak semulus yang kubayangkan. Sejak menikah suamiku sudah berkali-kali bermain perempuan bahkan sempat beberapa kali menikah dengan perempuan lain. Aku masih menerimannya walaupun terkadang dia datang sebulan sekali tanpa memberi nafkah lahiriah.<\/p>\n\n\n\n
Kukorbankan sekolah ke 4 anak tertuaku. Mereka tak melanjutkan sekolah. Mereka hanya mengenyam pendidikan sampai SD dan SMP. Ini semua terkendala biaya. Karena jaman dulu belum ada bantuan PKH seperti sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Mereka kecil bekerja di sawah. Bapaknya sibuk dengan perempuan lain.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya Bom waktu itu meledak. Tepat tahun 2003 aku menggugat cerai. Kali ini perbuatannya diluar batas kesabaranku. Aku tak diberi harta gono gini sedikitpun. Padahal rumah dan sawah adalah hasil dari usaha kami berdua.<\/p>\n\n\n\n
Oh..... sungguh kejam kalian....<\/p>\n\n\n\n
Maemunah namanya. Teman makan sepiring berdua. Teman curhatku bila ada masalah, teman berbagi suka dan duka. Statusnyapun janda beranak 1.<\/p>\n\n\n\n
B\u00e8gitu akrabnya kami, terkadang Maemunah sering kuajak nginap di rumah. Sambil membantuku membuat jamu. Dan aku memberinya upah seala kadarnya.<\/p>\n\n\n\n
Saat itu posisi suamiku sudah bercerai dengan istri -istri gelapnya.<\/p>\n\n\n\n
Sore itu sepulang aku dari menjual jamu.<\/p>\n\n\n\n
Aku dikejutkan oleh keberadaan suamiku dan Maemunah didalam kamarku. Aku marah. Aku menangis sejadi-jadinya. Dunia gelap kurasakan. Tak ada daya lagi. Tulangku remuk. Aku hacur....<\/p>\n\n\n\n
Aku membawa ke 7 anak-anakku. Aku keluar dari rumah menuju desa Donggobolo tempat tinggalku sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Aku diberi tumpangan rumah sederhana oleh saudaraku.<\/p>\n\n\n\n
Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Ketika Fatimah berumur 3 (tiga) tahun, dia menanyakan ayahnya \u201cUmmi, dimana ayahku? Semua orang ada ayahnya yang menggendongnya\u201d. Kupeluk erat-erat Fatimah, kucium wajah mungilnya sambil berkata, \u201cayahmu sudah meninggal, janga ditanyakan lagi. Sabar ya, nak\u201d. Dalam hatiku menangis.<\/p>\n\n\n\n
Setelah berusia 7 (tujuh) tahun, Fatimah tahu ayahnya masih hidup dari cerita tetanggaku. Ketika itu Fatimah sangat marah kepadaku, \u201cUmmi bohong pada saya, ternyata ayah masih hidup. Mengapa Ummi berbohong kepada saya, sementara Ummi meminta saya untuk selalu jujur?\u201d. Aku menangis dan memeluk Fatimah, kubisikan padanya \u201cAyahmu memang masih hidup, tapi di mata Ummi ayahmu sudah meninggal. Karena tidak mungkin seorang ayah masih hidup jika dia tidak mencari anak isterinya\u201d. Fatimah kecil tertegun, kemudian dia berkata \u201cUmmi, kalau begitu ayah memang sudah meninggal. Dan Ummi, tolong jangan tinggalkan saya\u201d. Fatimah memeluk erat tubuhku sambil menangis. Perih sekali hatiku ketika itu dan aku bertekad akan membesarkan Fatimah sampai dia benar-benar menjadi seseorang yang berguna. Aku terus bertawakal kepada Allah.<\/p>\n\n\n\n
Di tahun 1999 aku menikah lagi. Sama dengan pernikahanku yang pertama, aku menikah dengan lelaki yang tak kukenal sebelumnya. Aku menikah secara agama. Namun yang jelas, dalam benakku hanya berkata, pria ini adalah suamiku dan aku harus memposisikan diri sebagai isteri yang patuh terhadap suami. Dari pernikahan kedua ini, aku dikaruniai 2 (orang) anak laki-laki, Ulil dan Ihwal.<\/p>\n\n\n\n
Ketika Ulil berusia 6 (enam) tahun dan Ihwal berusia 7 (tujuh) bulan, suamiku meninggal. Aku berpikir betapa pahitnya hidupku. Namun aku harus tetap kuat di hadapan anak-anakku, aku tidak boleh lemah menghadapi cobaan ini dan aku harus terus bertawakal dan be\u2019do'a kepada-Nya serta terus berikhtiar untuk melanjutkan kehidupanku beserta ketiga anak-anakku.<\/p>\n\n\n\n
Cobaan pun datang bertubi-tubi, 3 (tiga) tahun setelah suamiku meninggal, adikku meninggal, disusul dengan ayah dan adikku yang satunya lagi. Kejadian ini dialami selama 2 (dua) tahun berturut-turut. Namun aku tetap terus bertawakal kepada Allah dan menerima cobaan serta ujian hidup ini.<\/p>\n\n\n\n
Aku bekerja ganda, sebagai Ibu sekaligus mencari nafkah sebagai buruh perkebunan tebu dan menjadi guru di TPA dengan gaji yang sangat kecil. Hal ini kulakukan demi keberlangsungan sekolah anak-anakku. Sungguh lelah kurasa, namun aku percaya lelah ini akan menghasilkan kebahagiaan. Fatimah anak pertamaku ternyata merasa gelisah untuk hal ini. Ketika lulus SD, dia tidak ingin melanjutkan sekolah dan ingin bekerja, begitu seterusnya sampai dia lulus SMA, alasannya adalah darimana aku akan mendapatkan uang untuk menyekolahkan dia. Aku memberikan cerita hidupku kepadanya, ku yakin apa yang kualami ini akan mengalirkan semangat Fatimah untuk tetap melanjutkan sekolah. Aku berkata padanya, \u201cNak, lihat Ummi. Ummi lulusan SMA, tapi Ummi tidak menjadi apa-apa. Ummi hanya menjadi buruh lepas. Apakah kamu ingin hidup seperti Ummi? Ummi ingin kamu maju, jangan seperti Ummi. Ummi ingin kehidupanmu lebih baik dari Ummi dan mendapatkan pekerjaan yang layak\u201d. Hati anakku pun tergerak, dia kemudian tetap melanjutkan kuliah di STAIN di Kecamatan Kajuara sambil bekerja sebagai honorer di salah satu yayasan pendidikan di Makassar.<\/p>\n\n\n\n
Pada tanggal 22 Oktober 2012, Mbak Nunung dari Pekka datang ke Camming, daerah dimana tempatku tinggal saat ini. Aku sangat tertarik dengan Pekka. Bagiku, program ini sangatlah bagus karena berbeda dengan program dari organisasi-organisasi yang pernah aku ikuti, dan dibentuklah kelompok yang kami beri nama Mattiro Bulu (Melihat dari atas gunung). Dengan adanya Pekka aku mulai bangkit. Semangatku tumbuh kembali. Bersama Pekka, aku merasa beban hidupku berangsur-angsur berkurang. Kesedihanku sedikit terlupakan. Hal ini karena aku selalu mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan Pekka dimana aku bertemu banyak orang dan banyak ilmu yang kudapat dasri Pekka.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaanku ini bertambah, karena izin Allah aku kemudian mendapatkan kesempatan untuk mengikuti fornas di Jakarta. Aku sangat senang, aku mengunjungi kementerian koordinator bidang kesejahteraan rakyat yang sebelumnya tak pernah kubayangkan. Betapa terharunya ketika ku teringat duduk di forum bersama teman-teman dari 19 provinsi di Indonesia. Photo fornas dengan memakai kaos seragam wilayah yang kudapat, kuperbesar menjadi 10 R dan kupajang di dinding rumahku. Ketika melihat photo itu, aku menangis terharu, mengingat setiap moment yang ada ketika itu. Dan photo itu mengalirkan semangat dalam hidupku.<\/p>\n\n\n\n
Setelah fornas, hidupku mulai berubah. Percaya diriku bertambah. Ketika akan dilaksanakan pelayanan terpadu satu atap di kecamatanku Libureng. Aku dan teman-teman pengurus serikat mendata dari rumah ke rumah. Teman-temanku memberikan pelajaran baru bagiku. Aku harus memiliki keberanian. Dan pelayanan terpadu satu atap ini pun berlangsung, ketika itu tanggal 4 Desember 2013.<\/p>\n\n\n\n
Setelah kegiatan itu usai, aku mendapatkan tugas lain. Aku mendapatkan sms untuk mendata siapa saja yang tidak memiliki jamkesmas atau jamkesda. Aku mendata dari rumah ke rumah dan ketika itu juga langsung saja namaku dan nama anak-anakku kucantumkan, karena selama ini aku dan anak-anakku tidak dapat mengakses program itu. Kupikir aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Mengingat tidak hanya jamkesmas saja yang tak kudapat tetapi juga anak-anakku yang saat ini bersekolah di SMP dan di SD tidak pernah sama sekali menerima baik dana bos maupun dana sumbangan bagi siswa miskin. Padahal aku telah melampirkan persyaratan yang harus dipenuhi yaitu KK, KTP, dan rapor anak-anakku. Namun meskipun begitu, aku yakin Allah tetap akan membuka rezekiku walau bukan dari pintu yang ini. Ternyata pengurus serikat sangat heran dengan data-data yang ku dapat, apalagi Tari ketua LKM kami, dia sampai bertanya darimana aku mendapat data-data itu. Aku langsung bilang dengan bangga \u201caku mendatanya dari rumah ke rumah\u201d. Aku berharap usulan ini diterima dan kami mendapat JKN itu.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaan lainnya semenjak aku ikut Pekka dan sepulangnya dari Fornas Pekka di Jakarta, aku akhirnya dapat mengikuti musrenbang. Ketika itu musrenbang dilaksanakan pada tanggal 05 Januari 2014. Dalam musrenbang, aku mengusulkan agar listrik masuk ke dusunku (Dusun Camming, Desa Mattiro Bulu, Kecamatan Libureng), dan aku juga mengusulkan agar jalan menuju kampungku diperbaiki serta ada sumbangan bahan bangun untuk mesjid di atas tanah yang almarhum adikku hibahkan kepadaku. Aku senang, salah satu usulku mendapatkan respon yang positif. Setidaknya aku sekarang melihat ada tiang listrik di dusunku. Semoga listrik masuk dusun ini segera terlaksana.<\/p>\n\n\n\n
Setelah Fornas PEKKA dan musrenbang itu, aku semakin dikenal orang. Aku diundang diacara pengajian di desa dan di dusun Lappa data. Dikeduanya aku diberi amplop. Aku sangat senang sekali, di dalam amplop itu ada uang yang isinya Rp 50.000,- berarti dengan dua amplop yang terkumpul aku mendapatkan uang Rp 100.000,-. Ternyata jika kita menjalankan semuanya dengan penuh keikhlasan maka balasan dari Allah pun akan sangat melimpah. Itu yang kini menjadi hal yang akan terus aku pegang. Setelah dua acara tersebut aku juga diundang untuk menjadi pembaca ayat suci al-qur\u2019an di acara Maulid Nabi di kantor kecamatan. Dan aku akan mempersiapkan diri sebaik mungkin.<\/p>\n\n\n\n
Namun dari semua kebahagiaan yang ada, ada hal yang amat sangat membuat aku luar biasa bahagia, yang membuatku terharu dan mengucap syukur nikmat atas semua yang diberikan Allah SWT. Pada tanggal 15 Desember 2013, anak pertamaku Fatimah di wisuda dengan predikat cumlaude dan sekarang bekerja menjadi guru di yayasan pendidikan di Makassar. Anak keduaku naik kelas ke kelas 3 SMP dan anak bungsuku naik kelas ke kelas 2 SD. Aku merasa berhasil, menjadi orang tua tunggal tidak menghalangi aku untuk menyekolahkan anak-anakku sampai perguruan tinggi, asalkan aku tetap berdo\u2019a dan berusaha, insyaallah semua cobaan itu dapat kulewati dan menghasilkan kebahagiaan yang luar biasa.<\/p>\n","post_title":"Menjadi Buruh Tebu Demi Pendidikan Anak","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"menjadi-buruh-tebu-demi-pendidikan-anak","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-24 03:40:25","post_modified_gmt":"2021-02-24 03:40:25","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1649","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1612,"post_author":"4","post_date":"2021-02-04 09:19:12","post_date_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content":"\n
2003 silam kembali kuingat. Kala itu kehidupan rumah tangga kita cukup harmonis. Kita dikarunia 7 orang anak yang sangat manis. Saat itu usia mereka masih belia. Yang paling kecil baru berusia 1 tahun. Dan aku termasuk perempuan yang subur sehingga jedah usia antara anak yang satu dengan yang lain hanya 1-2 tahun.<\/p>\n\n\n\n
Suami bekerja sebagai petani. Kami memiliki satu petak sawah untuk sumber penghasilan. Sesekali kubantu suami di sawah. Karena aku juga membantu mencari nafkah sebagai penjual jamu tradisional. Itupun kadang-kadang kulakukan disela-sela kesibukanku sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi anak-anak di rumah.<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan rumah tanggaku tidak semulus yang kubayangkan. Sejak menikah suamiku sudah berkali-kali bermain perempuan bahkan sempat beberapa kali menikah dengan perempuan lain. Aku masih menerimannya walaupun terkadang dia datang sebulan sekali tanpa memberi nafkah lahiriah.<\/p>\n\n\n\n
Kukorbankan sekolah ke 4 anak tertuaku. Mereka tak melanjutkan sekolah. Mereka hanya mengenyam pendidikan sampai SD dan SMP. Ini semua terkendala biaya. Karena jaman dulu belum ada bantuan PKH seperti sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Mereka kecil bekerja di sawah. Bapaknya sibuk dengan perempuan lain.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya Bom waktu itu meledak. Tepat tahun 2003 aku menggugat cerai. Kali ini perbuatannya diluar batas kesabaranku. Aku tak diberi harta gono gini sedikitpun. Padahal rumah dan sawah adalah hasil dari usaha kami berdua.<\/p>\n\n\n\n
Oh..... sungguh kejam kalian....<\/p>\n\n\n\n
Maemunah namanya. Teman makan sepiring berdua. Teman curhatku bila ada masalah, teman berbagi suka dan duka. Statusnyapun janda beranak 1.<\/p>\n\n\n\n
B\u00e8gitu akrabnya kami, terkadang Maemunah sering kuajak nginap di rumah. Sambil membantuku membuat jamu. Dan aku memberinya upah seala kadarnya.<\/p>\n\n\n\n
Saat itu posisi suamiku sudah bercerai dengan istri -istri gelapnya.<\/p>\n\n\n\n
Sore itu sepulang aku dari menjual jamu.<\/p>\n\n\n\n
Aku dikejutkan oleh keberadaan suamiku dan Maemunah didalam kamarku. Aku marah. Aku menangis sejadi-jadinya. Dunia gelap kurasakan. Tak ada daya lagi. Tulangku remuk. Aku hacur....<\/p>\n\n\n\n
Aku membawa ke 7 anak-anakku. Aku keluar dari rumah menuju desa Donggobolo tempat tinggalku sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Aku diberi tumpangan rumah sederhana oleh saudaraku.<\/p>\n\n\n\n
Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Sebulan setelah melahirkan, aku mendapatkan surat dari pamanku. Dalam surat itu pamanku berkata, \u201cSabarki nak, suamimu telah menikah lagi dengan perempuan lain. Uruslah anakmu sebaik-baiknya, sampai dia menjadi anak yang berguna\u201d. Saat membaca surat itu, hatiku hancur. Sakit sekali kurasa. Dan sampai saat ini, hatiku sakit jika teringat hal itu.<\/p>\n\n\n\n
Ketika Fatimah berumur 3 (tiga) tahun, dia menanyakan ayahnya \u201cUmmi, dimana ayahku? Semua orang ada ayahnya yang menggendongnya\u201d. Kupeluk erat-erat Fatimah, kucium wajah mungilnya sambil berkata, \u201cayahmu sudah meninggal, janga ditanyakan lagi. Sabar ya, nak\u201d. Dalam hatiku menangis.<\/p>\n\n\n\n
Setelah berusia 7 (tujuh) tahun, Fatimah tahu ayahnya masih hidup dari cerita tetanggaku. Ketika itu Fatimah sangat marah kepadaku, \u201cUmmi bohong pada saya, ternyata ayah masih hidup. Mengapa Ummi berbohong kepada saya, sementara Ummi meminta saya untuk selalu jujur?\u201d. Aku menangis dan memeluk Fatimah, kubisikan padanya \u201cAyahmu memang masih hidup, tapi di mata Ummi ayahmu sudah meninggal. Karena tidak mungkin seorang ayah masih hidup jika dia tidak mencari anak isterinya\u201d. Fatimah kecil tertegun, kemudian dia berkata \u201cUmmi, kalau begitu ayah memang sudah meninggal. Dan Ummi, tolong jangan tinggalkan saya\u201d. Fatimah memeluk erat tubuhku sambil menangis. Perih sekali hatiku ketika itu dan aku bertekad akan membesarkan Fatimah sampai dia benar-benar menjadi seseorang yang berguna. Aku terus bertawakal kepada Allah.<\/p>\n\n\n\n
Di tahun 1999 aku menikah lagi. Sama dengan pernikahanku yang pertama, aku menikah dengan lelaki yang tak kukenal sebelumnya. Aku menikah secara agama. Namun yang jelas, dalam benakku hanya berkata, pria ini adalah suamiku dan aku harus memposisikan diri sebagai isteri yang patuh terhadap suami. Dari pernikahan kedua ini, aku dikaruniai 2 (orang) anak laki-laki, Ulil dan Ihwal.<\/p>\n\n\n\n
Ketika Ulil berusia 6 (enam) tahun dan Ihwal berusia 7 (tujuh) bulan, suamiku meninggal. Aku berpikir betapa pahitnya hidupku. Namun aku harus tetap kuat di hadapan anak-anakku, aku tidak boleh lemah menghadapi cobaan ini dan aku harus terus bertawakal dan be\u2019do'a kepada-Nya serta terus berikhtiar untuk melanjutkan kehidupanku beserta ketiga anak-anakku.<\/p>\n\n\n\n
Cobaan pun datang bertubi-tubi, 3 (tiga) tahun setelah suamiku meninggal, adikku meninggal, disusul dengan ayah dan adikku yang satunya lagi. Kejadian ini dialami selama 2 (dua) tahun berturut-turut. Namun aku tetap terus bertawakal kepada Allah dan menerima cobaan serta ujian hidup ini.<\/p>\n\n\n\n
Aku bekerja ganda, sebagai Ibu sekaligus mencari nafkah sebagai buruh perkebunan tebu dan menjadi guru di TPA dengan gaji yang sangat kecil. Hal ini kulakukan demi keberlangsungan sekolah anak-anakku. Sungguh lelah kurasa, namun aku percaya lelah ini akan menghasilkan kebahagiaan. Fatimah anak pertamaku ternyata merasa gelisah untuk hal ini. Ketika lulus SD, dia tidak ingin melanjutkan sekolah dan ingin bekerja, begitu seterusnya sampai dia lulus SMA, alasannya adalah darimana aku akan mendapatkan uang untuk menyekolahkan dia. Aku memberikan cerita hidupku kepadanya, ku yakin apa yang kualami ini akan mengalirkan semangat Fatimah untuk tetap melanjutkan sekolah. Aku berkata padanya, \u201cNak, lihat Ummi. Ummi lulusan SMA, tapi Ummi tidak menjadi apa-apa. Ummi hanya menjadi buruh lepas. Apakah kamu ingin hidup seperti Ummi? Ummi ingin kamu maju, jangan seperti Ummi. Ummi ingin kehidupanmu lebih baik dari Ummi dan mendapatkan pekerjaan yang layak\u201d. Hati anakku pun tergerak, dia kemudian tetap melanjutkan kuliah di STAIN di Kecamatan Kajuara sambil bekerja sebagai honorer di salah satu yayasan pendidikan di Makassar.<\/p>\n\n\n\n
Pada tanggal 22 Oktober 2012, Mbak Nunung dari Pekka datang ke Camming, daerah dimana tempatku tinggal saat ini. Aku sangat tertarik dengan Pekka. Bagiku, program ini sangatlah bagus karena berbeda dengan program dari organisasi-organisasi yang pernah aku ikuti, dan dibentuklah kelompok yang kami beri nama Mattiro Bulu (Melihat dari atas gunung). Dengan adanya Pekka aku mulai bangkit. Semangatku tumbuh kembali. Bersama Pekka, aku merasa beban hidupku berangsur-angsur berkurang. Kesedihanku sedikit terlupakan. Hal ini karena aku selalu mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan Pekka dimana aku bertemu banyak orang dan banyak ilmu yang kudapat dasri Pekka.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaanku ini bertambah, karena izin Allah aku kemudian mendapatkan kesempatan untuk mengikuti fornas di Jakarta. Aku sangat senang, aku mengunjungi kementerian koordinator bidang kesejahteraan rakyat yang sebelumnya tak pernah kubayangkan. Betapa terharunya ketika ku teringat duduk di forum bersama teman-teman dari 19 provinsi di Indonesia. Photo fornas dengan memakai kaos seragam wilayah yang kudapat, kuperbesar menjadi 10 R dan kupajang di dinding rumahku. Ketika melihat photo itu, aku menangis terharu, mengingat setiap moment yang ada ketika itu. Dan photo itu mengalirkan semangat dalam hidupku.<\/p>\n\n\n\n
Setelah fornas, hidupku mulai berubah. Percaya diriku bertambah. Ketika akan dilaksanakan pelayanan terpadu satu atap di kecamatanku Libureng. Aku dan teman-teman pengurus serikat mendata dari rumah ke rumah. Teman-temanku memberikan pelajaran baru bagiku. Aku harus memiliki keberanian. Dan pelayanan terpadu satu atap ini pun berlangsung, ketika itu tanggal 4 Desember 2013.<\/p>\n\n\n\n
Setelah kegiatan itu usai, aku mendapatkan tugas lain. Aku mendapatkan sms untuk mendata siapa saja yang tidak memiliki jamkesmas atau jamkesda. Aku mendata dari rumah ke rumah dan ketika itu juga langsung saja namaku dan nama anak-anakku kucantumkan, karena selama ini aku dan anak-anakku tidak dapat mengakses program itu. Kupikir aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Mengingat tidak hanya jamkesmas saja yang tak kudapat tetapi juga anak-anakku yang saat ini bersekolah di SMP dan di SD tidak pernah sama sekali menerima baik dana bos maupun dana sumbangan bagi siswa miskin. Padahal aku telah melampirkan persyaratan yang harus dipenuhi yaitu KK, KTP, dan rapor anak-anakku. Namun meskipun begitu, aku yakin Allah tetap akan membuka rezekiku walau bukan dari pintu yang ini. Ternyata pengurus serikat sangat heran dengan data-data yang ku dapat, apalagi Tari ketua LKM kami, dia sampai bertanya darimana aku mendapat data-data itu. Aku langsung bilang dengan bangga \u201caku mendatanya dari rumah ke rumah\u201d. Aku berharap usulan ini diterima dan kami mendapat JKN itu.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaan lainnya semenjak aku ikut Pekka dan sepulangnya dari Fornas Pekka di Jakarta, aku akhirnya dapat mengikuti musrenbang. Ketika itu musrenbang dilaksanakan pada tanggal 05 Januari 2014. Dalam musrenbang, aku mengusulkan agar listrik masuk ke dusunku (Dusun Camming, Desa Mattiro Bulu, Kecamatan Libureng), dan aku juga mengusulkan agar jalan menuju kampungku diperbaiki serta ada sumbangan bahan bangun untuk mesjid di atas tanah yang almarhum adikku hibahkan kepadaku. Aku senang, salah satu usulku mendapatkan respon yang positif. Setidaknya aku sekarang melihat ada tiang listrik di dusunku. Semoga listrik masuk dusun ini segera terlaksana.<\/p>\n\n\n\n
Setelah Fornas PEKKA dan musrenbang itu, aku semakin dikenal orang. Aku diundang diacara pengajian di desa dan di dusun Lappa data. Dikeduanya aku diberi amplop. Aku sangat senang sekali, di dalam amplop itu ada uang yang isinya Rp 50.000,- berarti dengan dua amplop yang terkumpul aku mendapatkan uang Rp 100.000,-. Ternyata jika kita menjalankan semuanya dengan penuh keikhlasan maka balasan dari Allah pun akan sangat melimpah. Itu yang kini menjadi hal yang akan terus aku pegang. Setelah dua acara tersebut aku juga diundang untuk menjadi pembaca ayat suci al-qur\u2019an di acara Maulid Nabi di kantor kecamatan. Dan aku akan mempersiapkan diri sebaik mungkin.<\/p>\n\n\n\n
Namun dari semua kebahagiaan yang ada, ada hal yang amat sangat membuat aku luar biasa bahagia, yang membuatku terharu dan mengucap syukur nikmat atas semua yang diberikan Allah SWT. Pada tanggal 15 Desember 2013, anak pertamaku Fatimah di wisuda dengan predikat cumlaude dan sekarang bekerja menjadi guru di yayasan pendidikan di Makassar. Anak keduaku naik kelas ke kelas 3 SMP dan anak bungsuku naik kelas ke kelas 2 SD. Aku merasa berhasil, menjadi orang tua tunggal tidak menghalangi aku untuk menyekolahkan anak-anakku sampai perguruan tinggi, asalkan aku tetap berdo\u2019a dan berusaha, insyaallah semua cobaan itu dapat kulewati dan menghasilkan kebahagiaan yang luar biasa.<\/p>\n","post_title":"Menjadi Buruh Tebu Demi Pendidikan Anak","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"menjadi-buruh-tebu-demi-pendidikan-anak","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-24 03:40:25","post_modified_gmt":"2021-02-24 03:40:25","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1649","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1612,"post_author":"4","post_date":"2021-02-04 09:19:12","post_date_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content":"\n
2003 silam kembali kuingat. Kala itu kehidupan rumah tangga kita cukup harmonis. Kita dikarunia 7 orang anak yang sangat manis. Saat itu usia mereka masih belia. Yang paling kecil baru berusia 1 tahun. Dan aku termasuk perempuan yang subur sehingga jedah usia antara anak yang satu dengan yang lain hanya 1-2 tahun.<\/p>\n\n\n\n
Suami bekerja sebagai petani. Kami memiliki satu petak sawah untuk sumber penghasilan. Sesekali kubantu suami di sawah. Karena aku juga membantu mencari nafkah sebagai penjual jamu tradisional. Itupun kadang-kadang kulakukan disela-sela kesibukanku sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi anak-anak di rumah.<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan rumah tanggaku tidak semulus yang kubayangkan. Sejak menikah suamiku sudah berkali-kali bermain perempuan bahkan sempat beberapa kali menikah dengan perempuan lain. Aku masih menerimannya walaupun terkadang dia datang sebulan sekali tanpa memberi nafkah lahiriah.<\/p>\n\n\n\n
Kukorbankan sekolah ke 4 anak tertuaku. Mereka tak melanjutkan sekolah. Mereka hanya mengenyam pendidikan sampai SD dan SMP. Ini semua terkendala biaya. Karena jaman dulu belum ada bantuan PKH seperti sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Mereka kecil bekerja di sawah. Bapaknya sibuk dengan perempuan lain.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya Bom waktu itu meledak. Tepat tahun 2003 aku menggugat cerai. Kali ini perbuatannya diluar batas kesabaranku. Aku tak diberi harta gono gini sedikitpun. Padahal rumah dan sawah adalah hasil dari usaha kami berdua.<\/p>\n\n\n\n
Oh..... sungguh kejam kalian....<\/p>\n\n\n\n
Maemunah namanya. Teman makan sepiring berdua. Teman curhatku bila ada masalah, teman berbagi suka dan duka. Statusnyapun janda beranak 1.<\/p>\n\n\n\n
B\u00e8gitu akrabnya kami, terkadang Maemunah sering kuajak nginap di rumah. Sambil membantuku membuat jamu. Dan aku memberinya upah seala kadarnya.<\/p>\n\n\n\n
Saat itu posisi suamiku sudah bercerai dengan istri -istri gelapnya.<\/p>\n\n\n\n
Sore itu sepulang aku dari menjual jamu.<\/p>\n\n\n\n
Aku dikejutkan oleh keberadaan suamiku dan Maemunah didalam kamarku. Aku marah. Aku menangis sejadi-jadinya. Dunia gelap kurasakan. Tak ada daya lagi. Tulangku remuk. Aku hacur....<\/p>\n\n\n\n
Aku membawa ke 7 anak-anakku. Aku keluar dari rumah menuju desa Donggobolo tempat tinggalku sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Aku diberi tumpangan rumah sederhana oleh saudaraku.<\/p>\n\n\n\n
Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
5 (lima) bulan kemudian aku melahirkan putri pertamaku Fatimah. Ketika itu rasa bahagia yang teramat luar biasa mengalir deras dihatiku, \u201cAku menjadi seorang ibu!!!\u201d. Walau memang tetap kurasa sakit yang mendalam karena perselingkuhan suamiku.<\/p>\n\n\n\n
Sebulan setelah melahirkan, aku mendapatkan surat dari pamanku. Dalam surat itu pamanku berkata, \u201cSabarki nak, suamimu telah menikah lagi dengan perempuan lain. Uruslah anakmu sebaik-baiknya, sampai dia menjadi anak yang berguna\u201d. Saat membaca surat itu, hatiku hancur. Sakit sekali kurasa. Dan sampai saat ini, hatiku sakit jika teringat hal itu.<\/p>\n\n\n\n
Ketika Fatimah berumur 3 (tiga) tahun, dia menanyakan ayahnya \u201cUmmi, dimana ayahku? Semua orang ada ayahnya yang menggendongnya\u201d. Kupeluk erat-erat Fatimah, kucium wajah mungilnya sambil berkata, \u201cayahmu sudah meninggal, janga ditanyakan lagi. Sabar ya, nak\u201d. Dalam hatiku menangis.<\/p>\n\n\n\n
Setelah berusia 7 (tujuh) tahun, Fatimah tahu ayahnya masih hidup dari cerita tetanggaku. Ketika itu Fatimah sangat marah kepadaku, \u201cUmmi bohong pada saya, ternyata ayah masih hidup. Mengapa Ummi berbohong kepada saya, sementara Ummi meminta saya untuk selalu jujur?\u201d. Aku menangis dan memeluk Fatimah, kubisikan padanya \u201cAyahmu memang masih hidup, tapi di mata Ummi ayahmu sudah meninggal. Karena tidak mungkin seorang ayah masih hidup jika dia tidak mencari anak isterinya\u201d. Fatimah kecil tertegun, kemudian dia berkata \u201cUmmi, kalau begitu ayah memang sudah meninggal. Dan Ummi, tolong jangan tinggalkan saya\u201d. Fatimah memeluk erat tubuhku sambil menangis. Perih sekali hatiku ketika itu dan aku bertekad akan membesarkan Fatimah sampai dia benar-benar menjadi seseorang yang berguna. Aku terus bertawakal kepada Allah.<\/p>\n\n\n\n
Di tahun 1999 aku menikah lagi. Sama dengan pernikahanku yang pertama, aku menikah dengan lelaki yang tak kukenal sebelumnya. Aku menikah secara agama. Namun yang jelas, dalam benakku hanya berkata, pria ini adalah suamiku dan aku harus memposisikan diri sebagai isteri yang patuh terhadap suami. Dari pernikahan kedua ini, aku dikaruniai 2 (orang) anak laki-laki, Ulil dan Ihwal.<\/p>\n\n\n\n
Ketika Ulil berusia 6 (enam) tahun dan Ihwal berusia 7 (tujuh) bulan, suamiku meninggal. Aku berpikir betapa pahitnya hidupku. Namun aku harus tetap kuat di hadapan anak-anakku, aku tidak boleh lemah menghadapi cobaan ini dan aku harus terus bertawakal dan be\u2019do'a kepada-Nya serta terus berikhtiar untuk melanjutkan kehidupanku beserta ketiga anak-anakku.<\/p>\n\n\n\n
Cobaan pun datang bertubi-tubi, 3 (tiga) tahun setelah suamiku meninggal, adikku meninggal, disusul dengan ayah dan adikku yang satunya lagi. Kejadian ini dialami selama 2 (dua) tahun berturut-turut. Namun aku tetap terus bertawakal kepada Allah dan menerima cobaan serta ujian hidup ini.<\/p>\n\n\n\n
Aku bekerja ganda, sebagai Ibu sekaligus mencari nafkah sebagai buruh perkebunan tebu dan menjadi guru di TPA dengan gaji yang sangat kecil. Hal ini kulakukan demi keberlangsungan sekolah anak-anakku. Sungguh lelah kurasa, namun aku percaya lelah ini akan menghasilkan kebahagiaan. Fatimah anak pertamaku ternyata merasa gelisah untuk hal ini. Ketika lulus SD, dia tidak ingin melanjutkan sekolah dan ingin bekerja, begitu seterusnya sampai dia lulus SMA, alasannya adalah darimana aku akan mendapatkan uang untuk menyekolahkan dia. Aku memberikan cerita hidupku kepadanya, ku yakin apa yang kualami ini akan mengalirkan semangat Fatimah untuk tetap melanjutkan sekolah. Aku berkata padanya, \u201cNak, lihat Ummi. Ummi lulusan SMA, tapi Ummi tidak menjadi apa-apa. Ummi hanya menjadi buruh lepas. Apakah kamu ingin hidup seperti Ummi? Ummi ingin kamu maju, jangan seperti Ummi. Ummi ingin kehidupanmu lebih baik dari Ummi dan mendapatkan pekerjaan yang layak\u201d. Hati anakku pun tergerak, dia kemudian tetap melanjutkan kuliah di STAIN di Kecamatan Kajuara sambil bekerja sebagai honorer di salah satu yayasan pendidikan di Makassar.<\/p>\n\n\n\n
Pada tanggal 22 Oktober 2012, Mbak Nunung dari Pekka datang ke Camming, daerah dimana tempatku tinggal saat ini. Aku sangat tertarik dengan Pekka. Bagiku, program ini sangatlah bagus karena berbeda dengan program dari organisasi-organisasi yang pernah aku ikuti, dan dibentuklah kelompok yang kami beri nama Mattiro Bulu (Melihat dari atas gunung). Dengan adanya Pekka aku mulai bangkit. Semangatku tumbuh kembali. Bersama Pekka, aku merasa beban hidupku berangsur-angsur berkurang. Kesedihanku sedikit terlupakan. Hal ini karena aku selalu mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan Pekka dimana aku bertemu banyak orang dan banyak ilmu yang kudapat dasri Pekka.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaanku ini bertambah, karena izin Allah aku kemudian mendapatkan kesempatan untuk mengikuti fornas di Jakarta. Aku sangat senang, aku mengunjungi kementerian koordinator bidang kesejahteraan rakyat yang sebelumnya tak pernah kubayangkan. Betapa terharunya ketika ku teringat duduk di forum bersama teman-teman dari 19 provinsi di Indonesia. Photo fornas dengan memakai kaos seragam wilayah yang kudapat, kuperbesar menjadi 10 R dan kupajang di dinding rumahku. Ketika melihat photo itu, aku menangis terharu, mengingat setiap moment yang ada ketika itu. Dan photo itu mengalirkan semangat dalam hidupku.<\/p>\n\n\n\n
Setelah fornas, hidupku mulai berubah. Percaya diriku bertambah. Ketika akan dilaksanakan pelayanan terpadu satu atap di kecamatanku Libureng. Aku dan teman-teman pengurus serikat mendata dari rumah ke rumah. Teman-temanku memberikan pelajaran baru bagiku. Aku harus memiliki keberanian. Dan pelayanan terpadu satu atap ini pun berlangsung, ketika itu tanggal 4 Desember 2013.<\/p>\n\n\n\n
Setelah kegiatan itu usai, aku mendapatkan tugas lain. Aku mendapatkan sms untuk mendata siapa saja yang tidak memiliki jamkesmas atau jamkesda. Aku mendata dari rumah ke rumah dan ketika itu juga langsung saja namaku dan nama anak-anakku kucantumkan, karena selama ini aku dan anak-anakku tidak dapat mengakses program itu. Kupikir aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Mengingat tidak hanya jamkesmas saja yang tak kudapat tetapi juga anak-anakku yang saat ini bersekolah di SMP dan di SD tidak pernah sama sekali menerima baik dana bos maupun dana sumbangan bagi siswa miskin. Padahal aku telah melampirkan persyaratan yang harus dipenuhi yaitu KK, KTP, dan rapor anak-anakku. Namun meskipun begitu, aku yakin Allah tetap akan membuka rezekiku walau bukan dari pintu yang ini. Ternyata pengurus serikat sangat heran dengan data-data yang ku dapat, apalagi Tari ketua LKM kami, dia sampai bertanya darimana aku mendapat data-data itu. Aku langsung bilang dengan bangga \u201caku mendatanya dari rumah ke rumah\u201d. Aku berharap usulan ini diterima dan kami mendapat JKN itu.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaan lainnya semenjak aku ikut Pekka dan sepulangnya dari Fornas Pekka di Jakarta, aku akhirnya dapat mengikuti musrenbang. Ketika itu musrenbang dilaksanakan pada tanggal 05 Januari 2014. Dalam musrenbang, aku mengusulkan agar listrik masuk ke dusunku (Dusun Camming, Desa Mattiro Bulu, Kecamatan Libureng), dan aku juga mengusulkan agar jalan menuju kampungku diperbaiki serta ada sumbangan bahan bangun untuk mesjid di atas tanah yang almarhum adikku hibahkan kepadaku. Aku senang, salah satu usulku mendapatkan respon yang positif. Setidaknya aku sekarang melihat ada tiang listrik di dusunku. Semoga listrik masuk dusun ini segera terlaksana.<\/p>\n\n\n\n
Setelah Fornas PEKKA dan musrenbang itu, aku semakin dikenal orang. Aku diundang diacara pengajian di desa dan di dusun Lappa data. Dikeduanya aku diberi amplop. Aku sangat senang sekali, di dalam amplop itu ada uang yang isinya Rp 50.000,- berarti dengan dua amplop yang terkumpul aku mendapatkan uang Rp 100.000,-. Ternyata jika kita menjalankan semuanya dengan penuh keikhlasan maka balasan dari Allah pun akan sangat melimpah. Itu yang kini menjadi hal yang akan terus aku pegang. Setelah dua acara tersebut aku juga diundang untuk menjadi pembaca ayat suci al-qur\u2019an di acara Maulid Nabi di kantor kecamatan. Dan aku akan mempersiapkan diri sebaik mungkin.<\/p>\n\n\n\n
Namun dari semua kebahagiaan yang ada, ada hal yang amat sangat membuat aku luar biasa bahagia, yang membuatku terharu dan mengucap syukur nikmat atas semua yang diberikan Allah SWT. Pada tanggal 15 Desember 2013, anak pertamaku Fatimah di wisuda dengan predikat cumlaude dan sekarang bekerja menjadi guru di yayasan pendidikan di Makassar. Anak keduaku naik kelas ke kelas 3 SMP dan anak bungsuku naik kelas ke kelas 2 SD. Aku merasa berhasil, menjadi orang tua tunggal tidak menghalangi aku untuk menyekolahkan anak-anakku sampai perguruan tinggi, asalkan aku tetap berdo\u2019a dan berusaha, insyaallah semua cobaan itu dapat kulewati dan menghasilkan kebahagiaan yang luar biasa.<\/p>\n","post_title":"Menjadi Buruh Tebu Demi Pendidikan Anak","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"menjadi-buruh-tebu-demi-pendidikan-anak","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-24 03:40:25","post_modified_gmt":"2021-02-24 03:40:25","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1649","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1612,"post_author":"4","post_date":"2021-02-04 09:19:12","post_date_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content":"\n
2003 silam kembali kuingat. Kala itu kehidupan rumah tangga kita cukup harmonis. Kita dikarunia 7 orang anak yang sangat manis. Saat itu usia mereka masih belia. Yang paling kecil baru berusia 1 tahun. Dan aku termasuk perempuan yang subur sehingga jedah usia antara anak yang satu dengan yang lain hanya 1-2 tahun.<\/p>\n\n\n\n
Suami bekerja sebagai petani. Kami memiliki satu petak sawah untuk sumber penghasilan. Sesekali kubantu suami di sawah. Karena aku juga membantu mencari nafkah sebagai penjual jamu tradisional. Itupun kadang-kadang kulakukan disela-sela kesibukanku sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi anak-anak di rumah.<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan rumah tanggaku tidak semulus yang kubayangkan. Sejak menikah suamiku sudah berkali-kali bermain perempuan bahkan sempat beberapa kali menikah dengan perempuan lain. Aku masih menerimannya walaupun terkadang dia datang sebulan sekali tanpa memberi nafkah lahiriah.<\/p>\n\n\n\n
Kukorbankan sekolah ke 4 anak tertuaku. Mereka tak melanjutkan sekolah. Mereka hanya mengenyam pendidikan sampai SD dan SMP. Ini semua terkendala biaya. Karena jaman dulu belum ada bantuan PKH seperti sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Mereka kecil bekerja di sawah. Bapaknya sibuk dengan perempuan lain.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya Bom waktu itu meledak. Tepat tahun 2003 aku menggugat cerai. Kali ini perbuatannya diluar batas kesabaranku. Aku tak diberi harta gono gini sedikitpun. Padahal rumah dan sawah adalah hasil dari usaha kami berdua.<\/p>\n\n\n\n
Oh..... sungguh kejam kalian....<\/p>\n\n\n\n
Maemunah namanya. Teman makan sepiring berdua. Teman curhatku bila ada masalah, teman berbagi suka dan duka. Statusnyapun janda beranak 1.<\/p>\n\n\n\n
B\u00e8gitu akrabnya kami, terkadang Maemunah sering kuajak nginap di rumah. Sambil membantuku membuat jamu. Dan aku memberinya upah seala kadarnya.<\/p>\n\n\n\n
Saat itu posisi suamiku sudah bercerai dengan istri -istri gelapnya.<\/p>\n\n\n\n
Sore itu sepulang aku dari menjual jamu.<\/p>\n\n\n\n
Aku dikejutkan oleh keberadaan suamiku dan Maemunah didalam kamarku. Aku marah. Aku menangis sejadi-jadinya. Dunia gelap kurasakan. Tak ada daya lagi. Tulangku remuk. Aku hacur....<\/p>\n\n\n\n
Aku membawa ke 7 anak-anakku. Aku keluar dari rumah menuju desa Donggobolo tempat tinggalku sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Aku diberi tumpangan rumah sederhana oleh saudaraku.<\/p>\n\n\n\n
Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Di bulan ketiga pernikahanku, aku hamil. Aku sangat senang akan memiliki seorang anak. Namun, rasa senang ini kemudian terusik dengan kepedihan yang luar biasa, di kehamilanku yang menginjak 4 (empat) bulan, suamiku berselingkuh dengan wanita lain. Pilihan yang tersisa bagiku hanyalah mundur dari bahtera rumah tangga yang sudah kami berdua bangun beberapa waktu itu dan mengubur dalam-dalam semua yang telah kami lalui bersama. Aku memutuskan kembali ke Bone.<\/p>\n\n\n\n
5 (lima) bulan kemudian aku melahirkan putri pertamaku Fatimah. Ketika itu rasa bahagia yang teramat luar biasa mengalir deras dihatiku, \u201cAku menjadi seorang ibu!!!\u201d. Walau memang tetap kurasa sakit yang mendalam karena perselingkuhan suamiku.<\/p>\n\n\n\n
Sebulan setelah melahirkan, aku mendapatkan surat dari pamanku. Dalam surat itu pamanku berkata, \u201cSabarki nak, suamimu telah menikah lagi dengan perempuan lain. Uruslah anakmu sebaik-baiknya, sampai dia menjadi anak yang berguna\u201d. Saat membaca surat itu, hatiku hancur. Sakit sekali kurasa. Dan sampai saat ini, hatiku sakit jika teringat hal itu.<\/p>\n\n\n\n
Ketika Fatimah berumur 3 (tiga) tahun, dia menanyakan ayahnya \u201cUmmi, dimana ayahku? Semua orang ada ayahnya yang menggendongnya\u201d. Kupeluk erat-erat Fatimah, kucium wajah mungilnya sambil berkata, \u201cayahmu sudah meninggal, janga ditanyakan lagi. Sabar ya, nak\u201d. Dalam hatiku menangis.<\/p>\n\n\n\n
Setelah berusia 7 (tujuh) tahun, Fatimah tahu ayahnya masih hidup dari cerita tetanggaku. Ketika itu Fatimah sangat marah kepadaku, \u201cUmmi bohong pada saya, ternyata ayah masih hidup. Mengapa Ummi berbohong kepada saya, sementara Ummi meminta saya untuk selalu jujur?\u201d. Aku menangis dan memeluk Fatimah, kubisikan padanya \u201cAyahmu memang masih hidup, tapi di mata Ummi ayahmu sudah meninggal. Karena tidak mungkin seorang ayah masih hidup jika dia tidak mencari anak isterinya\u201d. Fatimah kecil tertegun, kemudian dia berkata \u201cUmmi, kalau begitu ayah memang sudah meninggal. Dan Ummi, tolong jangan tinggalkan saya\u201d. Fatimah memeluk erat tubuhku sambil menangis. Perih sekali hatiku ketika itu dan aku bertekad akan membesarkan Fatimah sampai dia benar-benar menjadi seseorang yang berguna. Aku terus bertawakal kepada Allah.<\/p>\n\n\n\n
Di tahun 1999 aku menikah lagi. Sama dengan pernikahanku yang pertama, aku menikah dengan lelaki yang tak kukenal sebelumnya. Aku menikah secara agama. Namun yang jelas, dalam benakku hanya berkata, pria ini adalah suamiku dan aku harus memposisikan diri sebagai isteri yang patuh terhadap suami. Dari pernikahan kedua ini, aku dikaruniai 2 (orang) anak laki-laki, Ulil dan Ihwal.<\/p>\n\n\n\n
Ketika Ulil berusia 6 (enam) tahun dan Ihwal berusia 7 (tujuh) bulan, suamiku meninggal. Aku berpikir betapa pahitnya hidupku. Namun aku harus tetap kuat di hadapan anak-anakku, aku tidak boleh lemah menghadapi cobaan ini dan aku harus terus bertawakal dan be\u2019do'a kepada-Nya serta terus berikhtiar untuk melanjutkan kehidupanku beserta ketiga anak-anakku.<\/p>\n\n\n\n
Cobaan pun datang bertubi-tubi, 3 (tiga) tahun setelah suamiku meninggal, adikku meninggal, disusul dengan ayah dan adikku yang satunya lagi. Kejadian ini dialami selama 2 (dua) tahun berturut-turut. Namun aku tetap terus bertawakal kepada Allah dan menerima cobaan serta ujian hidup ini.<\/p>\n\n\n\n
Aku bekerja ganda, sebagai Ibu sekaligus mencari nafkah sebagai buruh perkebunan tebu dan menjadi guru di TPA dengan gaji yang sangat kecil. Hal ini kulakukan demi keberlangsungan sekolah anak-anakku. Sungguh lelah kurasa, namun aku percaya lelah ini akan menghasilkan kebahagiaan. Fatimah anak pertamaku ternyata merasa gelisah untuk hal ini. Ketika lulus SD, dia tidak ingin melanjutkan sekolah dan ingin bekerja, begitu seterusnya sampai dia lulus SMA, alasannya adalah darimana aku akan mendapatkan uang untuk menyekolahkan dia. Aku memberikan cerita hidupku kepadanya, ku yakin apa yang kualami ini akan mengalirkan semangat Fatimah untuk tetap melanjutkan sekolah. Aku berkata padanya, \u201cNak, lihat Ummi. Ummi lulusan SMA, tapi Ummi tidak menjadi apa-apa. Ummi hanya menjadi buruh lepas. Apakah kamu ingin hidup seperti Ummi? Ummi ingin kamu maju, jangan seperti Ummi. Ummi ingin kehidupanmu lebih baik dari Ummi dan mendapatkan pekerjaan yang layak\u201d. Hati anakku pun tergerak, dia kemudian tetap melanjutkan kuliah di STAIN di Kecamatan Kajuara sambil bekerja sebagai honorer di salah satu yayasan pendidikan di Makassar.<\/p>\n\n\n\n
Pada tanggal 22 Oktober 2012, Mbak Nunung dari Pekka datang ke Camming, daerah dimana tempatku tinggal saat ini. Aku sangat tertarik dengan Pekka. Bagiku, program ini sangatlah bagus karena berbeda dengan program dari organisasi-organisasi yang pernah aku ikuti, dan dibentuklah kelompok yang kami beri nama Mattiro Bulu (Melihat dari atas gunung). Dengan adanya Pekka aku mulai bangkit. Semangatku tumbuh kembali. Bersama Pekka, aku merasa beban hidupku berangsur-angsur berkurang. Kesedihanku sedikit terlupakan. Hal ini karena aku selalu mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan Pekka dimana aku bertemu banyak orang dan banyak ilmu yang kudapat dasri Pekka.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaanku ini bertambah, karena izin Allah aku kemudian mendapatkan kesempatan untuk mengikuti fornas di Jakarta. Aku sangat senang, aku mengunjungi kementerian koordinator bidang kesejahteraan rakyat yang sebelumnya tak pernah kubayangkan. Betapa terharunya ketika ku teringat duduk di forum bersama teman-teman dari 19 provinsi di Indonesia. Photo fornas dengan memakai kaos seragam wilayah yang kudapat, kuperbesar menjadi 10 R dan kupajang di dinding rumahku. Ketika melihat photo itu, aku menangis terharu, mengingat setiap moment yang ada ketika itu. Dan photo itu mengalirkan semangat dalam hidupku.<\/p>\n\n\n\n
Setelah fornas, hidupku mulai berubah. Percaya diriku bertambah. Ketika akan dilaksanakan pelayanan terpadu satu atap di kecamatanku Libureng. Aku dan teman-teman pengurus serikat mendata dari rumah ke rumah. Teman-temanku memberikan pelajaran baru bagiku. Aku harus memiliki keberanian. Dan pelayanan terpadu satu atap ini pun berlangsung, ketika itu tanggal 4 Desember 2013.<\/p>\n\n\n\n
Setelah kegiatan itu usai, aku mendapatkan tugas lain. Aku mendapatkan sms untuk mendata siapa saja yang tidak memiliki jamkesmas atau jamkesda. Aku mendata dari rumah ke rumah dan ketika itu juga langsung saja namaku dan nama anak-anakku kucantumkan, karena selama ini aku dan anak-anakku tidak dapat mengakses program itu. Kupikir aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Mengingat tidak hanya jamkesmas saja yang tak kudapat tetapi juga anak-anakku yang saat ini bersekolah di SMP dan di SD tidak pernah sama sekali menerima baik dana bos maupun dana sumbangan bagi siswa miskin. Padahal aku telah melampirkan persyaratan yang harus dipenuhi yaitu KK, KTP, dan rapor anak-anakku. Namun meskipun begitu, aku yakin Allah tetap akan membuka rezekiku walau bukan dari pintu yang ini. Ternyata pengurus serikat sangat heran dengan data-data yang ku dapat, apalagi Tari ketua LKM kami, dia sampai bertanya darimana aku mendapat data-data itu. Aku langsung bilang dengan bangga \u201caku mendatanya dari rumah ke rumah\u201d. Aku berharap usulan ini diterima dan kami mendapat JKN itu.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaan lainnya semenjak aku ikut Pekka dan sepulangnya dari Fornas Pekka di Jakarta, aku akhirnya dapat mengikuti musrenbang. Ketika itu musrenbang dilaksanakan pada tanggal 05 Januari 2014. Dalam musrenbang, aku mengusulkan agar listrik masuk ke dusunku (Dusun Camming, Desa Mattiro Bulu, Kecamatan Libureng), dan aku juga mengusulkan agar jalan menuju kampungku diperbaiki serta ada sumbangan bahan bangun untuk mesjid di atas tanah yang almarhum adikku hibahkan kepadaku. Aku senang, salah satu usulku mendapatkan respon yang positif. Setidaknya aku sekarang melihat ada tiang listrik di dusunku. Semoga listrik masuk dusun ini segera terlaksana.<\/p>\n\n\n\n
Setelah Fornas PEKKA dan musrenbang itu, aku semakin dikenal orang. Aku diundang diacara pengajian di desa dan di dusun Lappa data. Dikeduanya aku diberi amplop. Aku sangat senang sekali, di dalam amplop itu ada uang yang isinya Rp 50.000,- berarti dengan dua amplop yang terkumpul aku mendapatkan uang Rp 100.000,-. Ternyata jika kita menjalankan semuanya dengan penuh keikhlasan maka balasan dari Allah pun akan sangat melimpah. Itu yang kini menjadi hal yang akan terus aku pegang. Setelah dua acara tersebut aku juga diundang untuk menjadi pembaca ayat suci al-qur\u2019an di acara Maulid Nabi di kantor kecamatan. Dan aku akan mempersiapkan diri sebaik mungkin.<\/p>\n\n\n\n
Namun dari semua kebahagiaan yang ada, ada hal yang amat sangat membuat aku luar biasa bahagia, yang membuatku terharu dan mengucap syukur nikmat atas semua yang diberikan Allah SWT. Pada tanggal 15 Desember 2013, anak pertamaku Fatimah di wisuda dengan predikat cumlaude dan sekarang bekerja menjadi guru di yayasan pendidikan di Makassar. Anak keduaku naik kelas ke kelas 3 SMP dan anak bungsuku naik kelas ke kelas 2 SD. Aku merasa berhasil, menjadi orang tua tunggal tidak menghalangi aku untuk menyekolahkan anak-anakku sampai perguruan tinggi, asalkan aku tetap berdo\u2019a dan berusaha, insyaallah semua cobaan itu dapat kulewati dan menghasilkan kebahagiaan yang luar biasa.<\/p>\n","post_title":"Menjadi Buruh Tebu Demi Pendidikan Anak","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"menjadi-buruh-tebu-demi-pendidikan-anak","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-24 03:40:25","post_modified_gmt":"2021-02-24 03:40:25","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1649","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1612,"post_author":"4","post_date":"2021-02-04 09:19:12","post_date_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content":"\n
2003 silam kembali kuingat. Kala itu kehidupan rumah tangga kita cukup harmonis. Kita dikarunia 7 orang anak yang sangat manis. Saat itu usia mereka masih belia. Yang paling kecil baru berusia 1 tahun. Dan aku termasuk perempuan yang subur sehingga jedah usia antara anak yang satu dengan yang lain hanya 1-2 tahun.<\/p>\n\n\n\n
Suami bekerja sebagai petani. Kami memiliki satu petak sawah untuk sumber penghasilan. Sesekali kubantu suami di sawah. Karena aku juga membantu mencari nafkah sebagai penjual jamu tradisional. Itupun kadang-kadang kulakukan disela-sela kesibukanku sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi anak-anak di rumah.<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan rumah tanggaku tidak semulus yang kubayangkan. Sejak menikah suamiku sudah berkali-kali bermain perempuan bahkan sempat beberapa kali menikah dengan perempuan lain. Aku masih menerimannya walaupun terkadang dia datang sebulan sekali tanpa memberi nafkah lahiriah.<\/p>\n\n\n\n
Kukorbankan sekolah ke 4 anak tertuaku. Mereka tak melanjutkan sekolah. Mereka hanya mengenyam pendidikan sampai SD dan SMP. Ini semua terkendala biaya. Karena jaman dulu belum ada bantuan PKH seperti sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Mereka kecil bekerja di sawah. Bapaknya sibuk dengan perempuan lain.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya Bom waktu itu meledak. Tepat tahun 2003 aku menggugat cerai. Kali ini perbuatannya diluar batas kesabaranku. Aku tak diberi harta gono gini sedikitpun. Padahal rumah dan sawah adalah hasil dari usaha kami berdua.<\/p>\n\n\n\n
Oh..... sungguh kejam kalian....<\/p>\n\n\n\n
Maemunah namanya. Teman makan sepiring berdua. Teman curhatku bila ada masalah, teman berbagi suka dan duka. Statusnyapun janda beranak 1.<\/p>\n\n\n\n
B\u00e8gitu akrabnya kami, terkadang Maemunah sering kuajak nginap di rumah. Sambil membantuku membuat jamu. Dan aku memberinya upah seala kadarnya.<\/p>\n\n\n\n
Saat itu posisi suamiku sudah bercerai dengan istri -istri gelapnya.<\/p>\n\n\n\n
Sore itu sepulang aku dari menjual jamu.<\/p>\n\n\n\n
Aku dikejutkan oleh keberadaan suamiku dan Maemunah didalam kamarku. Aku marah. Aku menangis sejadi-jadinya. Dunia gelap kurasakan. Tak ada daya lagi. Tulangku remuk. Aku hacur....<\/p>\n\n\n\n
Aku membawa ke 7 anak-anakku. Aku keluar dari rumah menuju desa Donggobolo tempat tinggalku sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Aku diberi tumpangan rumah sederhana oleh saudaraku.<\/p>\n\n\n\n
Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Setelah lulus SMA perjalanan hidupku yang sesungguhnya pun dimulai. Aku pergi ke Provinsi Sulawesi Tenggara untuk mencari pekerjaan. Namun ternyata, disana harapaku belum terjawab. Kemudian kulanjutkan petualanganku ke Kalimantan Timur, di sini pun aku tak jua menemukan pekerjaan. Kulanjutkan perjalanan ke Tarakan, Kalimantan Utara. Lama sekali aku berkeliling di tempat ini, sampai akhirnya aku diterima bekerja di CV. Hawa. Aku tak lama bekerja di sana, hanya 3 (bulan) karena aku menikah dengan seorang pria, seorang pria yang sebetulnya aku tak tahu sama sekali asal-usulnya.<\/p>\n\n\n\n
Di bulan ketiga pernikahanku, aku hamil. Aku sangat senang akan memiliki seorang anak. Namun, rasa senang ini kemudian terusik dengan kepedihan yang luar biasa, di kehamilanku yang menginjak 4 (empat) bulan, suamiku berselingkuh dengan wanita lain. Pilihan yang tersisa bagiku hanyalah mundur dari bahtera rumah tangga yang sudah kami berdua bangun beberapa waktu itu dan mengubur dalam-dalam semua yang telah kami lalui bersama. Aku memutuskan kembali ke Bone.<\/p>\n\n\n\n
5 (lima) bulan kemudian aku melahirkan putri pertamaku Fatimah. Ketika itu rasa bahagia yang teramat luar biasa mengalir deras dihatiku, \u201cAku menjadi seorang ibu!!!\u201d. Walau memang tetap kurasa sakit yang mendalam karena perselingkuhan suamiku.<\/p>\n\n\n\n
Sebulan setelah melahirkan, aku mendapatkan surat dari pamanku. Dalam surat itu pamanku berkata, \u201cSabarki nak, suamimu telah menikah lagi dengan perempuan lain. Uruslah anakmu sebaik-baiknya, sampai dia menjadi anak yang berguna\u201d. Saat membaca surat itu, hatiku hancur. Sakit sekali kurasa. Dan sampai saat ini, hatiku sakit jika teringat hal itu.<\/p>\n\n\n\n
Ketika Fatimah berumur 3 (tiga) tahun, dia menanyakan ayahnya \u201cUmmi, dimana ayahku? Semua orang ada ayahnya yang menggendongnya\u201d. Kupeluk erat-erat Fatimah, kucium wajah mungilnya sambil berkata, \u201cayahmu sudah meninggal, janga ditanyakan lagi. Sabar ya, nak\u201d. Dalam hatiku menangis.<\/p>\n\n\n\n
Setelah berusia 7 (tujuh) tahun, Fatimah tahu ayahnya masih hidup dari cerita tetanggaku. Ketika itu Fatimah sangat marah kepadaku, \u201cUmmi bohong pada saya, ternyata ayah masih hidup. Mengapa Ummi berbohong kepada saya, sementara Ummi meminta saya untuk selalu jujur?\u201d. Aku menangis dan memeluk Fatimah, kubisikan padanya \u201cAyahmu memang masih hidup, tapi di mata Ummi ayahmu sudah meninggal. Karena tidak mungkin seorang ayah masih hidup jika dia tidak mencari anak isterinya\u201d. Fatimah kecil tertegun, kemudian dia berkata \u201cUmmi, kalau begitu ayah memang sudah meninggal. Dan Ummi, tolong jangan tinggalkan saya\u201d. Fatimah memeluk erat tubuhku sambil menangis. Perih sekali hatiku ketika itu dan aku bertekad akan membesarkan Fatimah sampai dia benar-benar menjadi seseorang yang berguna. Aku terus bertawakal kepada Allah.<\/p>\n\n\n\n
Di tahun 1999 aku menikah lagi. Sama dengan pernikahanku yang pertama, aku menikah dengan lelaki yang tak kukenal sebelumnya. Aku menikah secara agama. Namun yang jelas, dalam benakku hanya berkata, pria ini adalah suamiku dan aku harus memposisikan diri sebagai isteri yang patuh terhadap suami. Dari pernikahan kedua ini, aku dikaruniai 2 (orang) anak laki-laki, Ulil dan Ihwal.<\/p>\n\n\n\n
Ketika Ulil berusia 6 (enam) tahun dan Ihwal berusia 7 (tujuh) bulan, suamiku meninggal. Aku berpikir betapa pahitnya hidupku. Namun aku harus tetap kuat di hadapan anak-anakku, aku tidak boleh lemah menghadapi cobaan ini dan aku harus terus bertawakal dan be\u2019do'a kepada-Nya serta terus berikhtiar untuk melanjutkan kehidupanku beserta ketiga anak-anakku.<\/p>\n\n\n\n
Cobaan pun datang bertubi-tubi, 3 (tiga) tahun setelah suamiku meninggal, adikku meninggal, disusul dengan ayah dan adikku yang satunya lagi. Kejadian ini dialami selama 2 (dua) tahun berturut-turut. Namun aku tetap terus bertawakal kepada Allah dan menerima cobaan serta ujian hidup ini.<\/p>\n\n\n\n
Aku bekerja ganda, sebagai Ibu sekaligus mencari nafkah sebagai buruh perkebunan tebu dan menjadi guru di TPA dengan gaji yang sangat kecil. Hal ini kulakukan demi keberlangsungan sekolah anak-anakku. Sungguh lelah kurasa, namun aku percaya lelah ini akan menghasilkan kebahagiaan. Fatimah anak pertamaku ternyata merasa gelisah untuk hal ini. Ketika lulus SD, dia tidak ingin melanjutkan sekolah dan ingin bekerja, begitu seterusnya sampai dia lulus SMA, alasannya adalah darimana aku akan mendapatkan uang untuk menyekolahkan dia. Aku memberikan cerita hidupku kepadanya, ku yakin apa yang kualami ini akan mengalirkan semangat Fatimah untuk tetap melanjutkan sekolah. Aku berkata padanya, \u201cNak, lihat Ummi. Ummi lulusan SMA, tapi Ummi tidak menjadi apa-apa. Ummi hanya menjadi buruh lepas. Apakah kamu ingin hidup seperti Ummi? Ummi ingin kamu maju, jangan seperti Ummi. Ummi ingin kehidupanmu lebih baik dari Ummi dan mendapatkan pekerjaan yang layak\u201d. Hati anakku pun tergerak, dia kemudian tetap melanjutkan kuliah di STAIN di Kecamatan Kajuara sambil bekerja sebagai honorer di salah satu yayasan pendidikan di Makassar.<\/p>\n\n\n\n
Pada tanggal 22 Oktober 2012, Mbak Nunung dari Pekka datang ke Camming, daerah dimana tempatku tinggal saat ini. Aku sangat tertarik dengan Pekka. Bagiku, program ini sangatlah bagus karena berbeda dengan program dari organisasi-organisasi yang pernah aku ikuti, dan dibentuklah kelompok yang kami beri nama Mattiro Bulu (Melihat dari atas gunung). Dengan adanya Pekka aku mulai bangkit. Semangatku tumbuh kembali. Bersama Pekka, aku merasa beban hidupku berangsur-angsur berkurang. Kesedihanku sedikit terlupakan. Hal ini karena aku selalu mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan Pekka dimana aku bertemu banyak orang dan banyak ilmu yang kudapat dasri Pekka.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaanku ini bertambah, karena izin Allah aku kemudian mendapatkan kesempatan untuk mengikuti fornas di Jakarta. Aku sangat senang, aku mengunjungi kementerian koordinator bidang kesejahteraan rakyat yang sebelumnya tak pernah kubayangkan. Betapa terharunya ketika ku teringat duduk di forum bersama teman-teman dari 19 provinsi di Indonesia. Photo fornas dengan memakai kaos seragam wilayah yang kudapat, kuperbesar menjadi 10 R dan kupajang di dinding rumahku. Ketika melihat photo itu, aku menangis terharu, mengingat setiap moment yang ada ketika itu. Dan photo itu mengalirkan semangat dalam hidupku.<\/p>\n\n\n\n
Setelah fornas, hidupku mulai berubah. Percaya diriku bertambah. Ketika akan dilaksanakan pelayanan terpadu satu atap di kecamatanku Libureng. Aku dan teman-teman pengurus serikat mendata dari rumah ke rumah. Teman-temanku memberikan pelajaran baru bagiku. Aku harus memiliki keberanian. Dan pelayanan terpadu satu atap ini pun berlangsung, ketika itu tanggal 4 Desember 2013.<\/p>\n\n\n\n
Setelah kegiatan itu usai, aku mendapatkan tugas lain. Aku mendapatkan sms untuk mendata siapa saja yang tidak memiliki jamkesmas atau jamkesda. Aku mendata dari rumah ke rumah dan ketika itu juga langsung saja namaku dan nama anak-anakku kucantumkan, karena selama ini aku dan anak-anakku tidak dapat mengakses program itu. Kupikir aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Mengingat tidak hanya jamkesmas saja yang tak kudapat tetapi juga anak-anakku yang saat ini bersekolah di SMP dan di SD tidak pernah sama sekali menerima baik dana bos maupun dana sumbangan bagi siswa miskin. Padahal aku telah melampirkan persyaratan yang harus dipenuhi yaitu KK, KTP, dan rapor anak-anakku. Namun meskipun begitu, aku yakin Allah tetap akan membuka rezekiku walau bukan dari pintu yang ini. Ternyata pengurus serikat sangat heran dengan data-data yang ku dapat, apalagi Tari ketua LKM kami, dia sampai bertanya darimana aku mendapat data-data itu. Aku langsung bilang dengan bangga \u201caku mendatanya dari rumah ke rumah\u201d. Aku berharap usulan ini diterima dan kami mendapat JKN itu.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaan lainnya semenjak aku ikut Pekka dan sepulangnya dari Fornas Pekka di Jakarta, aku akhirnya dapat mengikuti musrenbang. Ketika itu musrenbang dilaksanakan pada tanggal 05 Januari 2014. Dalam musrenbang, aku mengusulkan agar listrik masuk ke dusunku (Dusun Camming, Desa Mattiro Bulu, Kecamatan Libureng), dan aku juga mengusulkan agar jalan menuju kampungku diperbaiki serta ada sumbangan bahan bangun untuk mesjid di atas tanah yang almarhum adikku hibahkan kepadaku. Aku senang, salah satu usulku mendapatkan respon yang positif. Setidaknya aku sekarang melihat ada tiang listrik di dusunku. Semoga listrik masuk dusun ini segera terlaksana.<\/p>\n\n\n\n
Setelah Fornas PEKKA dan musrenbang itu, aku semakin dikenal orang. Aku diundang diacara pengajian di desa dan di dusun Lappa data. Dikeduanya aku diberi amplop. Aku sangat senang sekali, di dalam amplop itu ada uang yang isinya Rp 50.000,- berarti dengan dua amplop yang terkumpul aku mendapatkan uang Rp 100.000,-. Ternyata jika kita menjalankan semuanya dengan penuh keikhlasan maka balasan dari Allah pun akan sangat melimpah. Itu yang kini menjadi hal yang akan terus aku pegang. Setelah dua acara tersebut aku juga diundang untuk menjadi pembaca ayat suci al-qur\u2019an di acara Maulid Nabi di kantor kecamatan. Dan aku akan mempersiapkan diri sebaik mungkin.<\/p>\n\n\n\n
Namun dari semua kebahagiaan yang ada, ada hal yang amat sangat membuat aku luar biasa bahagia, yang membuatku terharu dan mengucap syukur nikmat atas semua yang diberikan Allah SWT. Pada tanggal 15 Desember 2013, anak pertamaku Fatimah di wisuda dengan predikat cumlaude dan sekarang bekerja menjadi guru di yayasan pendidikan di Makassar. Anak keduaku naik kelas ke kelas 3 SMP dan anak bungsuku naik kelas ke kelas 2 SD. Aku merasa berhasil, menjadi orang tua tunggal tidak menghalangi aku untuk menyekolahkan anak-anakku sampai perguruan tinggi, asalkan aku tetap berdo\u2019a dan berusaha, insyaallah semua cobaan itu dapat kulewati dan menghasilkan kebahagiaan yang luar biasa.<\/p>\n","post_title":"Menjadi Buruh Tebu Demi Pendidikan Anak","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"menjadi-buruh-tebu-demi-pendidikan-anak","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-24 03:40:25","post_modified_gmt":"2021-02-24 03:40:25","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1649","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1612,"post_author":"4","post_date":"2021-02-04 09:19:12","post_date_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content":"\n
2003 silam kembali kuingat. Kala itu kehidupan rumah tangga kita cukup harmonis. Kita dikarunia 7 orang anak yang sangat manis. Saat itu usia mereka masih belia. Yang paling kecil baru berusia 1 tahun. Dan aku termasuk perempuan yang subur sehingga jedah usia antara anak yang satu dengan yang lain hanya 1-2 tahun.<\/p>\n\n\n\n
Suami bekerja sebagai petani. Kami memiliki satu petak sawah untuk sumber penghasilan. Sesekali kubantu suami di sawah. Karena aku juga membantu mencari nafkah sebagai penjual jamu tradisional. Itupun kadang-kadang kulakukan disela-sela kesibukanku sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi anak-anak di rumah.<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan rumah tanggaku tidak semulus yang kubayangkan. Sejak menikah suamiku sudah berkali-kali bermain perempuan bahkan sempat beberapa kali menikah dengan perempuan lain. Aku masih menerimannya walaupun terkadang dia datang sebulan sekali tanpa memberi nafkah lahiriah.<\/p>\n\n\n\n
Kukorbankan sekolah ke 4 anak tertuaku. Mereka tak melanjutkan sekolah. Mereka hanya mengenyam pendidikan sampai SD dan SMP. Ini semua terkendala biaya. Karena jaman dulu belum ada bantuan PKH seperti sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Mereka kecil bekerja di sawah. Bapaknya sibuk dengan perempuan lain.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya Bom waktu itu meledak. Tepat tahun 2003 aku menggugat cerai. Kali ini perbuatannya diluar batas kesabaranku. Aku tak diberi harta gono gini sedikitpun. Padahal rumah dan sawah adalah hasil dari usaha kami berdua.<\/p>\n\n\n\n
Oh..... sungguh kejam kalian....<\/p>\n\n\n\n
Maemunah namanya. Teman makan sepiring berdua. Teman curhatku bila ada masalah, teman berbagi suka dan duka. Statusnyapun janda beranak 1.<\/p>\n\n\n\n
B\u00e8gitu akrabnya kami, terkadang Maemunah sering kuajak nginap di rumah. Sambil membantuku membuat jamu. Dan aku memberinya upah seala kadarnya.<\/p>\n\n\n\n
Saat itu posisi suamiku sudah bercerai dengan istri -istri gelapnya.<\/p>\n\n\n\n
Sore itu sepulang aku dari menjual jamu.<\/p>\n\n\n\n
Aku dikejutkan oleh keberadaan suamiku dan Maemunah didalam kamarku. Aku marah. Aku menangis sejadi-jadinya. Dunia gelap kurasakan. Tak ada daya lagi. Tulangku remuk. Aku hacur....<\/p>\n\n\n\n
Aku membawa ke 7 anak-anakku. Aku keluar dari rumah menuju desa Donggobolo tempat tinggalku sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Aku diberi tumpangan rumah sederhana oleh saudaraku.<\/p>\n\n\n\n
Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Namaku Hasmiaty, usiaku 48 tahun. Aku anak pertama dari 7 (tujuh) bersaudara dari pasangan Andi Abdul Rasyid dan Andi Siti Hawa. Ketika aku berusia 13 tahun, ibuku meninggal dunia. Selang waktu tak berapa lama dari kematian ibuku, aku harus berpisah dengan adik-adikku untuk melanjutkan sekolahku. Aku lulus SMA di tahun 1987.<\/p>\n\n\n\n
Setelah lulus SMA perjalanan hidupku yang sesungguhnya pun dimulai. Aku pergi ke Provinsi Sulawesi Tenggara untuk mencari pekerjaan. Namun ternyata, disana harapaku belum terjawab. Kemudian kulanjutkan petualanganku ke Kalimantan Timur, di sini pun aku tak jua menemukan pekerjaan. Kulanjutkan perjalanan ke Tarakan, Kalimantan Utara. Lama sekali aku berkeliling di tempat ini, sampai akhirnya aku diterima bekerja di CV. Hawa. Aku tak lama bekerja di sana, hanya 3 (bulan) karena aku menikah dengan seorang pria, seorang pria yang sebetulnya aku tak tahu sama sekali asal-usulnya.<\/p>\n\n\n\n
Di bulan ketiga pernikahanku, aku hamil. Aku sangat senang akan memiliki seorang anak. Namun, rasa senang ini kemudian terusik dengan kepedihan yang luar biasa, di kehamilanku yang menginjak 4 (empat) bulan, suamiku berselingkuh dengan wanita lain. Pilihan yang tersisa bagiku hanyalah mundur dari bahtera rumah tangga yang sudah kami berdua bangun beberapa waktu itu dan mengubur dalam-dalam semua yang telah kami lalui bersama. Aku memutuskan kembali ke Bone.<\/p>\n\n\n\n
5 (lima) bulan kemudian aku melahirkan putri pertamaku Fatimah. Ketika itu rasa bahagia yang teramat luar biasa mengalir deras dihatiku, \u201cAku menjadi seorang ibu!!!\u201d. Walau memang tetap kurasa sakit yang mendalam karena perselingkuhan suamiku.<\/p>\n\n\n\n
Sebulan setelah melahirkan, aku mendapatkan surat dari pamanku. Dalam surat itu pamanku berkata, \u201cSabarki nak, suamimu telah menikah lagi dengan perempuan lain. Uruslah anakmu sebaik-baiknya, sampai dia menjadi anak yang berguna\u201d. Saat membaca surat itu, hatiku hancur. Sakit sekali kurasa. Dan sampai saat ini, hatiku sakit jika teringat hal itu.<\/p>\n\n\n\n
Ketika Fatimah berumur 3 (tiga) tahun, dia menanyakan ayahnya \u201cUmmi, dimana ayahku? Semua orang ada ayahnya yang menggendongnya\u201d. Kupeluk erat-erat Fatimah, kucium wajah mungilnya sambil berkata, \u201cayahmu sudah meninggal, janga ditanyakan lagi. Sabar ya, nak\u201d. Dalam hatiku menangis.<\/p>\n\n\n\n
Setelah berusia 7 (tujuh) tahun, Fatimah tahu ayahnya masih hidup dari cerita tetanggaku. Ketika itu Fatimah sangat marah kepadaku, \u201cUmmi bohong pada saya, ternyata ayah masih hidup. Mengapa Ummi berbohong kepada saya, sementara Ummi meminta saya untuk selalu jujur?\u201d. Aku menangis dan memeluk Fatimah, kubisikan padanya \u201cAyahmu memang masih hidup, tapi di mata Ummi ayahmu sudah meninggal. Karena tidak mungkin seorang ayah masih hidup jika dia tidak mencari anak isterinya\u201d. Fatimah kecil tertegun, kemudian dia berkata \u201cUmmi, kalau begitu ayah memang sudah meninggal. Dan Ummi, tolong jangan tinggalkan saya\u201d. Fatimah memeluk erat tubuhku sambil menangis. Perih sekali hatiku ketika itu dan aku bertekad akan membesarkan Fatimah sampai dia benar-benar menjadi seseorang yang berguna. Aku terus bertawakal kepada Allah.<\/p>\n\n\n\n
Di tahun 1999 aku menikah lagi. Sama dengan pernikahanku yang pertama, aku menikah dengan lelaki yang tak kukenal sebelumnya. Aku menikah secara agama. Namun yang jelas, dalam benakku hanya berkata, pria ini adalah suamiku dan aku harus memposisikan diri sebagai isteri yang patuh terhadap suami. Dari pernikahan kedua ini, aku dikaruniai 2 (orang) anak laki-laki, Ulil dan Ihwal.<\/p>\n\n\n\n
Ketika Ulil berusia 6 (enam) tahun dan Ihwal berusia 7 (tujuh) bulan, suamiku meninggal. Aku berpikir betapa pahitnya hidupku. Namun aku harus tetap kuat di hadapan anak-anakku, aku tidak boleh lemah menghadapi cobaan ini dan aku harus terus bertawakal dan be\u2019do'a kepada-Nya serta terus berikhtiar untuk melanjutkan kehidupanku beserta ketiga anak-anakku.<\/p>\n\n\n\n
Cobaan pun datang bertubi-tubi, 3 (tiga) tahun setelah suamiku meninggal, adikku meninggal, disusul dengan ayah dan adikku yang satunya lagi. Kejadian ini dialami selama 2 (dua) tahun berturut-turut. Namun aku tetap terus bertawakal kepada Allah dan menerima cobaan serta ujian hidup ini.<\/p>\n\n\n\n
Aku bekerja ganda, sebagai Ibu sekaligus mencari nafkah sebagai buruh perkebunan tebu dan menjadi guru di TPA dengan gaji yang sangat kecil. Hal ini kulakukan demi keberlangsungan sekolah anak-anakku. Sungguh lelah kurasa, namun aku percaya lelah ini akan menghasilkan kebahagiaan. Fatimah anak pertamaku ternyata merasa gelisah untuk hal ini. Ketika lulus SD, dia tidak ingin melanjutkan sekolah dan ingin bekerja, begitu seterusnya sampai dia lulus SMA, alasannya adalah darimana aku akan mendapatkan uang untuk menyekolahkan dia. Aku memberikan cerita hidupku kepadanya, ku yakin apa yang kualami ini akan mengalirkan semangat Fatimah untuk tetap melanjutkan sekolah. Aku berkata padanya, \u201cNak, lihat Ummi. Ummi lulusan SMA, tapi Ummi tidak menjadi apa-apa. Ummi hanya menjadi buruh lepas. Apakah kamu ingin hidup seperti Ummi? Ummi ingin kamu maju, jangan seperti Ummi. Ummi ingin kehidupanmu lebih baik dari Ummi dan mendapatkan pekerjaan yang layak\u201d. Hati anakku pun tergerak, dia kemudian tetap melanjutkan kuliah di STAIN di Kecamatan Kajuara sambil bekerja sebagai honorer di salah satu yayasan pendidikan di Makassar.<\/p>\n\n\n\n
Pada tanggal 22 Oktober 2012, Mbak Nunung dari Pekka datang ke Camming, daerah dimana tempatku tinggal saat ini. Aku sangat tertarik dengan Pekka. Bagiku, program ini sangatlah bagus karena berbeda dengan program dari organisasi-organisasi yang pernah aku ikuti, dan dibentuklah kelompok yang kami beri nama Mattiro Bulu (Melihat dari atas gunung). Dengan adanya Pekka aku mulai bangkit. Semangatku tumbuh kembali. Bersama Pekka, aku merasa beban hidupku berangsur-angsur berkurang. Kesedihanku sedikit terlupakan. Hal ini karena aku selalu mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan Pekka dimana aku bertemu banyak orang dan banyak ilmu yang kudapat dasri Pekka.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaanku ini bertambah, karena izin Allah aku kemudian mendapatkan kesempatan untuk mengikuti fornas di Jakarta. Aku sangat senang, aku mengunjungi kementerian koordinator bidang kesejahteraan rakyat yang sebelumnya tak pernah kubayangkan. Betapa terharunya ketika ku teringat duduk di forum bersama teman-teman dari 19 provinsi di Indonesia. Photo fornas dengan memakai kaos seragam wilayah yang kudapat, kuperbesar menjadi 10 R dan kupajang di dinding rumahku. Ketika melihat photo itu, aku menangis terharu, mengingat setiap moment yang ada ketika itu. Dan photo itu mengalirkan semangat dalam hidupku.<\/p>\n\n\n\n
Setelah fornas, hidupku mulai berubah. Percaya diriku bertambah. Ketika akan dilaksanakan pelayanan terpadu satu atap di kecamatanku Libureng. Aku dan teman-teman pengurus serikat mendata dari rumah ke rumah. Teman-temanku memberikan pelajaran baru bagiku. Aku harus memiliki keberanian. Dan pelayanan terpadu satu atap ini pun berlangsung, ketika itu tanggal 4 Desember 2013.<\/p>\n\n\n\n
Setelah kegiatan itu usai, aku mendapatkan tugas lain. Aku mendapatkan sms untuk mendata siapa saja yang tidak memiliki jamkesmas atau jamkesda. Aku mendata dari rumah ke rumah dan ketika itu juga langsung saja namaku dan nama anak-anakku kucantumkan, karena selama ini aku dan anak-anakku tidak dapat mengakses program itu. Kupikir aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Mengingat tidak hanya jamkesmas saja yang tak kudapat tetapi juga anak-anakku yang saat ini bersekolah di SMP dan di SD tidak pernah sama sekali menerima baik dana bos maupun dana sumbangan bagi siswa miskin. Padahal aku telah melampirkan persyaratan yang harus dipenuhi yaitu KK, KTP, dan rapor anak-anakku. Namun meskipun begitu, aku yakin Allah tetap akan membuka rezekiku walau bukan dari pintu yang ini. Ternyata pengurus serikat sangat heran dengan data-data yang ku dapat, apalagi Tari ketua LKM kami, dia sampai bertanya darimana aku mendapat data-data itu. Aku langsung bilang dengan bangga \u201caku mendatanya dari rumah ke rumah\u201d. Aku berharap usulan ini diterima dan kami mendapat JKN itu.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaan lainnya semenjak aku ikut Pekka dan sepulangnya dari Fornas Pekka di Jakarta, aku akhirnya dapat mengikuti musrenbang. Ketika itu musrenbang dilaksanakan pada tanggal 05 Januari 2014. Dalam musrenbang, aku mengusulkan agar listrik masuk ke dusunku (Dusun Camming, Desa Mattiro Bulu, Kecamatan Libureng), dan aku juga mengusulkan agar jalan menuju kampungku diperbaiki serta ada sumbangan bahan bangun untuk mesjid di atas tanah yang almarhum adikku hibahkan kepadaku. Aku senang, salah satu usulku mendapatkan respon yang positif. Setidaknya aku sekarang melihat ada tiang listrik di dusunku. Semoga listrik masuk dusun ini segera terlaksana.<\/p>\n\n\n\n
Setelah Fornas PEKKA dan musrenbang itu, aku semakin dikenal orang. Aku diundang diacara pengajian di desa dan di dusun Lappa data. Dikeduanya aku diberi amplop. Aku sangat senang sekali, di dalam amplop itu ada uang yang isinya Rp 50.000,- berarti dengan dua amplop yang terkumpul aku mendapatkan uang Rp 100.000,-. Ternyata jika kita menjalankan semuanya dengan penuh keikhlasan maka balasan dari Allah pun akan sangat melimpah. Itu yang kini menjadi hal yang akan terus aku pegang. Setelah dua acara tersebut aku juga diundang untuk menjadi pembaca ayat suci al-qur\u2019an di acara Maulid Nabi di kantor kecamatan. Dan aku akan mempersiapkan diri sebaik mungkin.<\/p>\n\n\n\n
Namun dari semua kebahagiaan yang ada, ada hal yang amat sangat membuat aku luar biasa bahagia, yang membuatku terharu dan mengucap syukur nikmat atas semua yang diberikan Allah SWT. Pada tanggal 15 Desember 2013, anak pertamaku Fatimah di wisuda dengan predikat cumlaude dan sekarang bekerja menjadi guru di yayasan pendidikan di Makassar. Anak keduaku naik kelas ke kelas 3 SMP dan anak bungsuku naik kelas ke kelas 2 SD. Aku merasa berhasil, menjadi orang tua tunggal tidak menghalangi aku untuk menyekolahkan anak-anakku sampai perguruan tinggi, asalkan aku tetap berdo\u2019a dan berusaha, insyaallah semua cobaan itu dapat kulewati dan menghasilkan kebahagiaan yang luar biasa.<\/p>\n","post_title":"Menjadi Buruh Tebu Demi Pendidikan Anak","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"menjadi-buruh-tebu-demi-pendidikan-anak","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-24 03:40:25","post_modified_gmt":"2021-02-24 03:40:25","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1649","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1612,"post_author":"4","post_date":"2021-02-04 09:19:12","post_date_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content":"\n
2003 silam kembali kuingat. Kala itu kehidupan rumah tangga kita cukup harmonis. Kita dikarunia 7 orang anak yang sangat manis. Saat itu usia mereka masih belia. Yang paling kecil baru berusia 1 tahun. Dan aku termasuk perempuan yang subur sehingga jedah usia antara anak yang satu dengan yang lain hanya 1-2 tahun.<\/p>\n\n\n\n
Suami bekerja sebagai petani. Kami memiliki satu petak sawah untuk sumber penghasilan. Sesekali kubantu suami di sawah. Karena aku juga membantu mencari nafkah sebagai penjual jamu tradisional. Itupun kadang-kadang kulakukan disela-sela kesibukanku sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi anak-anak di rumah.<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan rumah tanggaku tidak semulus yang kubayangkan. Sejak menikah suamiku sudah berkali-kali bermain perempuan bahkan sempat beberapa kali menikah dengan perempuan lain. Aku masih menerimannya walaupun terkadang dia datang sebulan sekali tanpa memberi nafkah lahiriah.<\/p>\n\n\n\n
Kukorbankan sekolah ke 4 anak tertuaku. Mereka tak melanjutkan sekolah. Mereka hanya mengenyam pendidikan sampai SD dan SMP. Ini semua terkendala biaya. Karena jaman dulu belum ada bantuan PKH seperti sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Mereka kecil bekerja di sawah. Bapaknya sibuk dengan perempuan lain.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya Bom waktu itu meledak. Tepat tahun 2003 aku menggugat cerai. Kali ini perbuatannya diluar batas kesabaranku. Aku tak diberi harta gono gini sedikitpun. Padahal rumah dan sawah adalah hasil dari usaha kami berdua.<\/p>\n\n\n\n
Oh..... sungguh kejam kalian....<\/p>\n\n\n\n
Maemunah namanya. Teman makan sepiring berdua. Teman curhatku bila ada masalah, teman berbagi suka dan duka. Statusnyapun janda beranak 1.<\/p>\n\n\n\n
B\u00e8gitu akrabnya kami, terkadang Maemunah sering kuajak nginap di rumah. Sambil membantuku membuat jamu. Dan aku memberinya upah seala kadarnya.<\/p>\n\n\n\n
Saat itu posisi suamiku sudah bercerai dengan istri -istri gelapnya.<\/p>\n\n\n\n
Sore itu sepulang aku dari menjual jamu.<\/p>\n\n\n\n
Aku dikejutkan oleh keberadaan suamiku dan Maemunah didalam kamarku. Aku marah. Aku menangis sejadi-jadinya. Dunia gelap kurasakan. Tak ada daya lagi. Tulangku remuk. Aku hacur....<\/p>\n\n\n\n
Aku membawa ke 7 anak-anakku. Aku keluar dari rumah menuju desa Donggobolo tempat tinggalku sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Aku diberi tumpangan rumah sederhana oleh saudaraku.<\/p>\n\n\n\n
Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Jangan pernah lagi berkata \u201cJangan tanamkan harapan yang luas pada kenyataan yang terbatas\u201d. Karena kita punya Allah SWT yang memungkinkan kemustahilan, mengganti keresahan dengan ketenangan, mengganti ketidakmungkinan dengan harapan. Selama kita terus berdo\u2019a dan berikhtiar, bersama-Nya... Tak ada jalan buntu.<\/em><\/p>\n\n\n\n
Namaku Hasmiaty, usiaku 48 tahun. Aku anak pertama dari 7 (tujuh) bersaudara dari pasangan Andi Abdul Rasyid dan Andi Siti Hawa. Ketika aku berusia 13 tahun, ibuku meninggal dunia. Selang waktu tak berapa lama dari kematian ibuku, aku harus berpisah dengan adik-adikku untuk melanjutkan sekolahku. Aku lulus SMA di tahun 1987.<\/p>\n\n\n\n
Setelah lulus SMA perjalanan hidupku yang sesungguhnya pun dimulai. Aku pergi ke Provinsi Sulawesi Tenggara untuk mencari pekerjaan. Namun ternyata, disana harapaku belum terjawab. Kemudian kulanjutkan petualanganku ke Kalimantan Timur, di sini pun aku tak jua menemukan pekerjaan. Kulanjutkan perjalanan ke Tarakan, Kalimantan Utara. Lama sekali aku berkeliling di tempat ini, sampai akhirnya aku diterima bekerja di CV. Hawa. Aku tak lama bekerja di sana, hanya 3 (bulan) karena aku menikah dengan seorang pria, seorang pria yang sebetulnya aku tak tahu sama sekali asal-usulnya.<\/p>\n\n\n\n
Di bulan ketiga pernikahanku, aku hamil. Aku sangat senang akan memiliki seorang anak. Namun, rasa senang ini kemudian terusik dengan kepedihan yang luar biasa, di kehamilanku yang menginjak 4 (empat) bulan, suamiku berselingkuh dengan wanita lain. Pilihan yang tersisa bagiku hanyalah mundur dari bahtera rumah tangga yang sudah kami berdua bangun beberapa waktu itu dan mengubur dalam-dalam semua yang telah kami lalui bersama. Aku memutuskan kembali ke Bone.<\/p>\n\n\n\n
5 (lima) bulan kemudian aku melahirkan putri pertamaku Fatimah. Ketika itu rasa bahagia yang teramat luar biasa mengalir deras dihatiku, \u201cAku menjadi seorang ibu!!!\u201d. Walau memang tetap kurasa sakit yang mendalam karena perselingkuhan suamiku.<\/p>\n\n\n\n
Sebulan setelah melahirkan, aku mendapatkan surat dari pamanku. Dalam surat itu pamanku berkata, \u201cSabarki nak, suamimu telah menikah lagi dengan perempuan lain. Uruslah anakmu sebaik-baiknya, sampai dia menjadi anak yang berguna\u201d. Saat membaca surat itu, hatiku hancur. Sakit sekali kurasa. Dan sampai saat ini, hatiku sakit jika teringat hal itu.<\/p>\n\n\n\n
Ketika Fatimah berumur 3 (tiga) tahun, dia menanyakan ayahnya \u201cUmmi, dimana ayahku? Semua orang ada ayahnya yang menggendongnya\u201d. Kupeluk erat-erat Fatimah, kucium wajah mungilnya sambil berkata, \u201cayahmu sudah meninggal, janga ditanyakan lagi. Sabar ya, nak\u201d. Dalam hatiku menangis.<\/p>\n\n\n\n
Setelah berusia 7 (tujuh) tahun, Fatimah tahu ayahnya masih hidup dari cerita tetanggaku. Ketika itu Fatimah sangat marah kepadaku, \u201cUmmi bohong pada saya, ternyata ayah masih hidup. Mengapa Ummi berbohong kepada saya, sementara Ummi meminta saya untuk selalu jujur?\u201d. Aku menangis dan memeluk Fatimah, kubisikan padanya \u201cAyahmu memang masih hidup, tapi di mata Ummi ayahmu sudah meninggal. Karena tidak mungkin seorang ayah masih hidup jika dia tidak mencari anak isterinya\u201d. Fatimah kecil tertegun, kemudian dia berkata \u201cUmmi, kalau begitu ayah memang sudah meninggal. Dan Ummi, tolong jangan tinggalkan saya\u201d. Fatimah memeluk erat tubuhku sambil menangis. Perih sekali hatiku ketika itu dan aku bertekad akan membesarkan Fatimah sampai dia benar-benar menjadi seseorang yang berguna. Aku terus bertawakal kepada Allah.<\/p>\n\n\n\n
Di tahun 1999 aku menikah lagi. Sama dengan pernikahanku yang pertama, aku menikah dengan lelaki yang tak kukenal sebelumnya. Aku menikah secara agama. Namun yang jelas, dalam benakku hanya berkata, pria ini adalah suamiku dan aku harus memposisikan diri sebagai isteri yang patuh terhadap suami. Dari pernikahan kedua ini, aku dikaruniai 2 (orang) anak laki-laki, Ulil dan Ihwal.<\/p>\n\n\n\n
Ketika Ulil berusia 6 (enam) tahun dan Ihwal berusia 7 (tujuh) bulan, suamiku meninggal. Aku berpikir betapa pahitnya hidupku. Namun aku harus tetap kuat di hadapan anak-anakku, aku tidak boleh lemah menghadapi cobaan ini dan aku harus terus bertawakal dan be\u2019do'a kepada-Nya serta terus berikhtiar untuk melanjutkan kehidupanku beserta ketiga anak-anakku.<\/p>\n\n\n\n
Cobaan pun datang bertubi-tubi, 3 (tiga) tahun setelah suamiku meninggal, adikku meninggal, disusul dengan ayah dan adikku yang satunya lagi. Kejadian ini dialami selama 2 (dua) tahun berturut-turut. Namun aku tetap terus bertawakal kepada Allah dan menerima cobaan serta ujian hidup ini.<\/p>\n\n\n\n
Aku bekerja ganda, sebagai Ibu sekaligus mencari nafkah sebagai buruh perkebunan tebu dan menjadi guru di TPA dengan gaji yang sangat kecil. Hal ini kulakukan demi keberlangsungan sekolah anak-anakku. Sungguh lelah kurasa, namun aku percaya lelah ini akan menghasilkan kebahagiaan. Fatimah anak pertamaku ternyata merasa gelisah untuk hal ini. Ketika lulus SD, dia tidak ingin melanjutkan sekolah dan ingin bekerja, begitu seterusnya sampai dia lulus SMA, alasannya adalah darimana aku akan mendapatkan uang untuk menyekolahkan dia. Aku memberikan cerita hidupku kepadanya, ku yakin apa yang kualami ini akan mengalirkan semangat Fatimah untuk tetap melanjutkan sekolah. Aku berkata padanya, \u201cNak, lihat Ummi. Ummi lulusan SMA, tapi Ummi tidak menjadi apa-apa. Ummi hanya menjadi buruh lepas. Apakah kamu ingin hidup seperti Ummi? Ummi ingin kamu maju, jangan seperti Ummi. Ummi ingin kehidupanmu lebih baik dari Ummi dan mendapatkan pekerjaan yang layak\u201d. Hati anakku pun tergerak, dia kemudian tetap melanjutkan kuliah di STAIN di Kecamatan Kajuara sambil bekerja sebagai honorer di salah satu yayasan pendidikan di Makassar.<\/p>\n\n\n\n
Pada tanggal 22 Oktober 2012, Mbak Nunung dari Pekka datang ke Camming, daerah dimana tempatku tinggal saat ini. Aku sangat tertarik dengan Pekka. Bagiku, program ini sangatlah bagus karena berbeda dengan program dari organisasi-organisasi yang pernah aku ikuti, dan dibentuklah kelompok yang kami beri nama Mattiro Bulu (Melihat dari atas gunung). Dengan adanya Pekka aku mulai bangkit. Semangatku tumbuh kembali. Bersama Pekka, aku merasa beban hidupku berangsur-angsur berkurang. Kesedihanku sedikit terlupakan. Hal ini karena aku selalu mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan Pekka dimana aku bertemu banyak orang dan banyak ilmu yang kudapat dasri Pekka.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaanku ini bertambah, karena izin Allah aku kemudian mendapatkan kesempatan untuk mengikuti fornas di Jakarta. Aku sangat senang, aku mengunjungi kementerian koordinator bidang kesejahteraan rakyat yang sebelumnya tak pernah kubayangkan. Betapa terharunya ketika ku teringat duduk di forum bersama teman-teman dari 19 provinsi di Indonesia. Photo fornas dengan memakai kaos seragam wilayah yang kudapat, kuperbesar menjadi 10 R dan kupajang di dinding rumahku. Ketika melihat photo itu, aku menangis terharu, mengingat setiap moment yang ada ketika itu. Dan photo itu mengalirkan semangat dalam hidupku.<\/p>\n\n\n\n
Setelah fornas, hidupku mulai berubah. Percaya diriku bertambah. Ketika akan dilaksanakan pelayanan terpadu satu atap di kecamatanku Libureng. Aku dan teman-teman pengurus serikat mendata dari rumah ke rumah. Teman-temanku memberikan pelajaran baru bagiku. Aku harus memiliki keberanian. Dan pelayanan terpadu satu atap ini pun berlangsung, ketika itu tanggal 4 Desember 2013.<\/p>\n\n\n\n
Setelah kegiatan itu usai, aku mendapatkan tugas lain. Aku mendapatkan sms untuk mendata siapa saja yang tidak memiliki jamkesmas atau jamkesda. Aku mendata dari rumah ke rumah dan ketika itu juga langsung saja namaku dan nama anak-anakku kucantumkan, karena selama ini aku dan anak-anakku tidak dapat mengakses program itu. Kupikir aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Mengingat tidak hanya jamkesmas saja yang tak kudapat tetapi juga anak-anakku yang saat ini bersekolah di SMP dan di SD tidak pernah sama sekali menerima baik dana bos maupun dana sumbangan bagi siswa miskin. Padahal aku telah melampirkan persyaratan yang harus dipenuhi yaitu KK, KTP, dan rapor anak-anakku. Namun meskipun begitu, aku yakin Allah tetap akan membuka rezekiku walau bukan dari pintu yang ini. Ternyata pengurus serikat sangat heran dengan data-data yang ku dapat, apalagi Tari ketua LKM kami, dia sampai bertanya darimana aku mendapat data-data itu. Aku langsung bilang dengan bangga \u201caku mendatanya dari rumah ke rumah\u201d. Aku berharap usulan ini diterima dan kami mendapat JKN itu.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaan lainnya semenjak aku ikut Pekka dan sepulangnya dari Fornas Pekka di Jakarta, aku akhirnya dapat mengikuti musrenbang. Ketika itu musrenbang dilaksanakan pada tanggal 05 Januari 2014. Dalam musrenbang, aku mengusulkan agar listrik masuk ke dusunku (Dusun Camming, Desa Mattiro Bulu, Kecamatan Libureng), dan aku juga mengusulkan agar jalan menuju kampungku diperbaiki serta ada sumbangan bahan bangun untuk mesjid di atas tanah yang almarhum adikku hibahkan kepadaku. Aku senang, salah satu usulku mendapatkan respon yang positif. Setidaknya aku sekarang melihat ada tiang listrik di dusunku. Semoga listrik masuk dusun ini segera terlaksana.<\/p>\n\n\n\n
Setelah Fornas PEKKA dan musrenbang itu, aku semakin dikenal orang. Aku diundang diacara pengajian di desa dan di dusun Lappa data. Dikeduanya aku diberi amplop. Aku sangat senang sekali, di dalam amplop itu ada uang yang isinya Rp 50.000,- berarti dengan dua amplop yang terkumpul aku mendapatkan uang Rp 100.000,-. Ternyata jika kita menjalankan semuanya dengan penuh keikhlasan maka balasan dari Allah pun akan sangat melimpah. Itu yang kini menjadi hal yang akan terus aku pegang. Setelah dua acara tersebut aku juga diundang untuk menjadi pembaca ayat suci al-qur\u2019an di acara Maulid Nabi di kantor kecamatan. Dan aku akan mempersiapkan diri sebaik mungkin.<\/p>\n\n\n\n
Namun dari semua kebahagiaan yang ada, ada hal yang amat sangat membuat aku luar biasa bahagia, yang membuatku terharu dan mengucap syukur nikmat atas semua yang diberikan Allah SWT. Pada tanggal 15 Desember 2013, anak pertamaku Fatimah di wisuda dengan predikat cumlaude dan sekarang bekerja menjadi guru di yayasan pendidikan di Makassar. Anak keduaku naik kelas ke kelas 3 SMP dan anak bungsuku naik kelas ke kelas 2 SD. Aku merasa berhasil, menjadi orang tua tunggal tidak menghalangi aku untuk menyekolahkan anak-anakku sampai perguruan tinggi, asalkan aku tetap berdo\u2019a dan berusaha, insyaallah semua cobaan itu dapat kulewati dan menghasilkan kebahagiaan yang luar biasa.<\/p>\n","post_title":"Menjadi Buruh Tebu Demi Pendidikan Anak","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"menjadi-buruh-tebu-demi-pendidikan-anak","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-24 03:40:25","post_modified_gmt":"2021-02-24 03:40:25","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1649","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1612,"post_author":"4","post_date":"2021-02-04 09:19:12","post_date_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content":"\n
2003 silam kembali kuingat. Kala itu kehidupan rumah tangga kita cukup harmonis. Kita dikarunia 7 orang anak yang sangat manis. Saat itu usia mereka masih belia. Yang paling kecil baru berusia 1 tahun. Dan aku termasuk perempuan yang subur sehingga jedah usia antara anak yang satu dengan yang lain hanya 1-2 tahun.<\/p>\n\n\n\n
Suami bekerja sebagai petani. Kami memiliki satu petak sawah untuk sumber penghasilan. Sesekali kubantu suami di sawah. Karena aku juga membantu mencari nafkah sebagai penjual jamu tradisional. Itupun kadang-kadang kulakukan disela-sela kesibukanku sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi anak-anak di rumah.<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan rumah tanggaku tidak semulus yang kubayangkan. Sejak menikah suamiku sudah berkali-kali bermain perempuan bahkan sempat beberapa kali menikah dengan perempuan lain. Aku masih menerimannya walaupun terkadang dia datang sebulan sekali tanpa memberi nafkah lahiriah.<\/p>\n\n\n\n
Kukorbankan sekolah ke 4 anak tertuaku. Mereka tak melanjutkan sekolah. Mereka hanya mengenyam pendidikan sampai SD dan SMP. Ini semua terkendala biaya. Karena jaman dulu belum ada bantuan PKH seperti sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Mereka kecil bekerja di sawah. Bapaknya sibuk dengan perempuan lain.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya Bom waktu itu meledak. Tepat tahun 2003 aku menggugat cerai. Kali ini perbuatannya diluar batas kesabaranku. Aku tak diberi harta gono gini sedikitpun. Padahal rumah dan sawah adalah hasil dari usaha kami berdua.<\/p>\n\n\n\n
Oh..... sungguh kejam kalian....<\/p>\n\n\n\n
Maemunah namanya. Teman makan sepiring berdua. Teman curhatku bila ada masalah, teman berbagi suka dan duka. Statusnyapun janda beranak 1.<\/p>\n\n\n\n
B\u00e8gitu akrabnya kami, terkadang Maemunah sering kuajak nginap di rumah. Sambil membantuku membuat jamu. Dan aku memberinya upah seala kadarnya.<\/p>\n\n\n\n
Saat itu posisi suamiku sudah bercerai dengan istri -istri gelapnya.<\/p>\n\n\n\n
Sore itu sepulang aku dari menjual jamu.<\/p>\n\n\n\n
Aku dikejutkan oleh keberadaan suamiku dan Maemunah didalam kamarku. Aku marah. Aku menangis sejadi-jadinya. Dunia gelap kurasakan. Tak ada daya lagi. Tulangku remuk. Aku hacur....<\/p>\n\n\n\n
Aku membawa ke 7 anak-anakku. Aku keluar dari rumah menuju desa Donggobolo tempat tinggalku sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Aku diberi tumpangan rumah sederhana oleh saudaraku.<\/p>\n\n\n\n
Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Jangan pernah lagi berkata \u201cJangan tanamkan harapan yang luas pada kenyataan yang terbatas\u201d. Karena kita punya Allah SWT yang memungkinkan kemustahilan, mengganti keresahan dengan ketenangan, mengganti ketidakmungkinan dengan harapan. Selama kita terus berdo\u2019a dan berikhtiar, bersama-Nya... Tak ada jalan buntu.<\/em><\/p>\n\n\n\n
Namaku Hasmiaty, usiaku 48 tahun. Aku anak pertama dari 7 (tujuh) bersaudara dari pasangan Andi Abdul Rasyid dan Andi Siti Hawa. Ketika aku berusia 13 tahun, ibuku meninggal dunia. Selang waktu tak berapa lama dari kematian ibuku, aku harus berpisah dengan adik-adikku untuk melanjutkan sekolahku. Aku lulus SMA di tahun 1987.<\/p>\n\n\n\n
Setelah lulus SMA perjalanan hidupku yang sesungguhnya pun dimulai. Aku pergi ke Provinsi Sulawesi Tenggara untuk mencari pekerjaan. Namun ternyata, disana harapaku belum terjawab. Kemudian kulanjutkan petualanganku ke Kalimantan Timur, di sini pun aku tak jua menemukan pekerjaan. Kulanjutkan perjalanan ke Tarakan, Kalimantan Utara. Lama sekali aku berkeliling di tempat ini, sampai akhirnya aku diterima bekerja di CV. Hawa. Aku tak lama bekerja di sana, hanya 3 (bulan) karena aku menikah dengan seorang pria, seorang pria yang sebetulnya aku tak tahu sama sekali asal-usulnya.<\/p>\n\n\n\n
Di bulan ketiga pernikahanku, aku hamil. Aku sangat senang akan memiliki seorang anak. Namun, rasa senang ini kemudian terusik dengan kepedihan yang luar biasa, di kehamilanku yang menginjak 4 (empat) bulan, suamiku berselingkuh dengan wanita lain. Pilihan yang tersisa bagiku hanyalah mundur dari bahtera rumah tangga yang sudah kami berdua bangun beberapa waktu itu dan mengubur dalam-dalam semua yang telah kami lalui bersama. Aku memutuskan kembali ke Bone.<\/p>\n\n\n\n
5 (lima) bulan kemudian aku melahirkan putri pertamaku Fatimah. Ketika itu rasa bahagia yang teramat luar biasa mengalir deras dihatiku, \u201cAku menjadi seorang ibu!!!\u201d. Walau memang tetap kurasa sakit yang mendalam karena perselingkuhan suamiku.<\/p>\n\n\n\n
Sebulan setelah melahirkan, aku mendapatkan surat dari pamanku. Dalam surat itu pamanku berkata, \u201cSabarki nak, suamimu telah menikah lagi dengan perempuan lain. Uruslah anakmu sebaik-baiknya, sampai dia menjadi anak yang berguna\u201d. Saat membaca surat itu, hatiku hancur. Sakit sekali kurasa. Dan sampai saat ini, hatiku sakit jika teringat hal itu.<\/p>\n\n\n\n
Ketika Fatimah berumur 3 (tiga) tahun, dia menanyakan ayahnya \u201cUmmi, dimana ayahku? Semua orang ada ayahnya yang menggendongnya\u201d. Kupeluk erat-erat Fatimah, kucium wajah mungilnya sambil berkata, \u201cayahmu sudah meninggal, janga ditanyakan lagi. Sabar ya, nak\u201d. Dalam hatiku menangis.<\/p>\n\n\n\n
Setelah berusia 7 (tujuh) tahun, Fatimah tahu ayahnya masih hidup dari cerita tetanggaku. Ketika itu Fatimah sangat marah kepadaku, \u201cUmmi bohong pada saya, ternyata ayah masih hidup. Mengapa Ummi berbohong kepada saya, sementara Ummi meminta saya untuk selalu jujur?\u201d. Aku menangis dan memeluk Fatimah, kubisikan padanya \u201cAyahmu memang masih hidup, tapi di mata Ummi ayahmu sudah meninggal. Karena tidak mungkin seorang ayah masih hidup jika dia tidak mencari anak isterinya\u201d. Fatimah kecil tertegun, kemudian dia berkata \u201cUmmi, kalau begitu ayah memang sudah meninggal. Dan Ummi, tolong jangan tinggalkan saya\u201d. Fatimah memeluk erat tubuhku sambil menangis. Perih sekali hatiku ketika itu dan aku bertekad akan membesarkan Fatimah sampai dia benar-benar menjadi seseorang yang berguna. Aku terus bertawakal kepada Allah.<\/p>\n\n\n\n
Di tahun 1999 aku menikah lagi. Sama dengan pernikahanku yang pertama, aku menikah dengan lelaki yang tak kukenal sebelumnya. Aku menikah secara agama. Namun yang jelas, dalam benakku hanya berkata, pria ini adalah suamiku dan aku harus memposisikan diri sebagai isteri yang patuh terhadap suami. Dari pernikahan kedua ini, aku dikaruniai 2 (orang) anak laki-laki, Ulil dan Ihwal.<\/p>\n\n\n\n
Ketika Ulil berusia 6 (enam) tahun dan Ihwal berusia 7 (tujuh) bulan, suamiku meninggal. Aku berpikir betapa pahitnya hidupku. Namun aku harus tetap kuat di hadapan anak-anakku, aku tidak boleh lemah menghadapi cobaan ini dan aku harus terus bertawakal dan be\u2019do'a kepada-Nya serta terus berikhtiar untuk melanjutkan kehidupanku beserta ketiga anak-anakku.<\/p>\n\n\n\n
Cobaan pun datang bertubi-tubi, 3 (tiga) tahun setelah suamiku meninggal, adikku meninggal, disusul dengan ayah dan adikku yang satunya lagi. Kejadian ini dialami selama 2 (dua) tahun berturut-turut. Namun aku tetap terus bertawakal kepada Allah dan menerima cobaan serta ujian hidup ini.<\/p>\n\n\n\n
Aku bekerja ganda, sebagai Ibu sekaligus mencari nafkah sebagai buruh perkebunan tebu dan menjadi guru di TPA dengan gaji yang sangat kecil. Hal ini kulakukan demi keberlangsungan sekolah anak-anakku. Sungguh lelah kurasa, namun aku percaya lelah ini akan menghasilkan kebahagiaan. Fatimah anak pertamaku ternyata merasa gelisah untuk hal ini. Ketika lulus SD, dia tidak ingin melanjutkan sekolah dan ingin bekerja, begitu seterusnya sampai dia lulus SMA, alasannya adalah darimana aku akan mendapatkan uang untuk menyekolahkan dia. Aku memberikan cerita hidupku kepadanya, ku yakin apa yang kualami ini akan mengalirkan semangat Fatimah untuk tetap melanjutkan sekolah. Aku berkata padanya, \u201cNak, lihat Ummi. Ummi lulusan SMA, tapi Ummi tidak menjadi apa-apa. Ummi hanya menjadi buruh lepas. Apakah kamu ingin hidup seperti Ummi? Ummi ingin kamu maju, jangan seperti Ummi. Ummi ingin kehidupanmu lebih baik dari Ummi dan mendapatkan pekerjaan yang layak\u201d. Hati anakku pun tergerak, dia kemudian tetap melanjutkan kuliah di STAIN di Kecamatan Kajuara sambil bekerja sebagai honorer di salah satu yayasan pendidikan di Makassar.<\/p>\n\n\n\n
Pada tanggal 22 Oktober 2012, Mbak Nunung dari Pekka datang ke Camming, daerah dimana tempatku tinggal saat ini. Aku sangat tertarik dengan Pekka. Bagiku, program ini sangatlah bagus karena berbeda dengan program dari organisasi-organisasi yang pernah aku ikuti, dan dibentuklah kelompok yang kami beri nama Mattiro Bulu (Melihat dari atas gunung). Dengan adanya Pekka aku mulai bangkit. Semangatku tumbuh kembali. Bersama Pekka, aku merasa beban hidupku berangsur-angsur berkurang. Kesedihanku sedikit terlupakan. Hal ini karena aku selalu mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan Pekka dimana aku bertemu banyak orang dan banyak ilmu yang kudapat dasri Pekka.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaanku ini bertambah, karena izin Allah aku kemudian mendapatkan kesempatan untuk mengikuti fornas di Jakarta. Aku sangat senang, aku mengunjungi kementerian koordinator bidang kesejahteraan rakyat yang sebelumnya tak pernah kubayangkan. Betapa terharunya ketika ku teringat duduk di forum bersama teman-teman dari 19 provinsi di Indonesia. Photo fornas dengan memakai kaos seragam wilayah yang kudapat, kuperbesar menjadi 10 R dan kupajang di dinding rumahku. Ketika melihat photo itu, aku menangis terharu, mengingat setiap moment yang ada ketika itu. Dan photo itu mengalirkan semangat dalam hidupku.<\/p>\n\n\n\n
Setelah fornas, hidupku mulai berubah. Percaya diriku bertambah. Ketika akan dilaksanakan pelayanan terpadu satu atap di kecamatanku Libureng. Aku dan teman-teman pengurus serikat mendata dari rumah ke rumah. Teman-temanku memberikan pelajaran baru bagiku. Aku harus memiliki keberanian. Dan pelayanan terpadu satu atap ini pun berlangsung, ketika itu tanggal 4 Desember 2013.<\/p>\n\n\n\n
Setelah kegiatan itu usai, aku mendapatkan tugas lain. Aku mendapatkan sms untuk mendata siapa saja yang tidak memiliki jamkesmas atau jamkesda. Aku mendata dari rumah ke rumah dan ketika itu juga langsung saja namaku dan nama anak-anakku kucantumkan, karena selama ini aku dan anak-anakku tidak dapat mengakses program itu. Kupikir aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Mengingat tidak hanya jamkesmas saja yang tak kudapat tetapi juga anak-anakku yang saat ini bersekolah di SMP dan di SD tidak pernah sama sekali menerima baik dana bos maupun dana sumbangan bagi siswa miskin. Padahal aku telah melampirkan persyaratan yang harus dipenuhi yaitu KK, KTP, dan rapor anak-anakku. Namun meskipun begitu, aku yakin Allah tetap akan membuka rezekiku walau bukan dari pintu yang ini. Ternyata pengurus serikat sangat heran dengan data-data yang ku dapat, apalagi Tari ketua LKM kami, dia sampai bertanya darimana aku mendapat data-data itu. Aku langsung bilang dengan bangga \u201caku mendatanya dari rumah ke rumah\u201d. Aku berharap usulan ini diterima dan kami mendapat JKN itu.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaan lainnya semenjak aku ikut Pekka dan sepulangnya dari Fornas Pekka di Jakarta, aku akhirnya dapat mengikuti musrenbang. Ketika itu musrenbang dilaksanakan pada tanggal 05 Januari 2014. Dalam musrenbang, aku mengusulkan agar listrik masuk ke dusunku (Dusun Camming, Desa Mattiro Bulu, Kecamatan Libureng), dan aku juga mengusulkan agar jalan menuju kampungku diperbaiki serta ada sumbangan bahan bangun untuk mesjid di atas tanah yang almarhum adikku hibahkan kepadaku. Aku senang, salah satu usulku mendapatkan respon yang positif. Setidaknya aku sekarang melihat ada tiang listrik di dusunku. Semoga listrik masuk dusun ini segera terlaksana.<\/p>\n\n\n\n
Setelah Fornas PEKKA dan musrenbang itu, aku semakin dikenal orang. Aku diundang diacara pengajian di desa dan di dusun Lappa data. Dikeduanya aku diberi amplop. Aku sangat senang sekali, di dalam amplop itu ada uang yang isinya Rp 50.000,- berarti dengan dua amplop yang terkumpul aku mendapatkan uang Rp 100.000,-. Ternyata jika kita menjalankan semuanya dengan penuh keikhlasan maka balasan dari Allah pun akan sangat melimpah. Itu yang kini menjadi hal yang akan terus aku pegang. Setelah dua acara tersebut aku juga diundang untuk menjadi pembaca ayat suci al-qur\u2019an di acara Maulid Nabi di kantor kecamatan. Dan aku akan mempersiapkan diri sebaik mungkin.<\/p>\n\n\n\n
Namun dari semua kebahagiaan yang ada, ada hal yang amat sangat membuat aku luar biasa bahagia, yang membuatku terharu dan mengucap syukur nikmat atas semua yang diberikan Allah SWT. Pada tanggal 15 Desember 2013, anak pertamaku Fatimah di wisuda dengan predikat cumlaude dan sekarang bekerja menjadi guru di yayasan pendidikan di Makassar. Anak keduaku naik kelas ke kelas 3 SMP dan anak bungsuku naik kelas ke kelas 2 SD. Aku merasa berhasil, menjadi orang tua tunggal tidak menghalangi aku untuk menyekolahkan anak-anakku sampai perguruan tinggi, asalkan aku tetap berdo\u2019a dan berusaha, insyaallah semua cobaan itu dapat kulewati dan menghasilkan kebahagiaan yang luar biasa.<\/p>\n","post_title":"Menjadi Buruh Tebu Demi Pendidikan Anak","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"menjadi-buruh-tebu-demi-pendidikan-anak","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-24 03:40:25","post_modified_gmt":"2021-02-24 03:40:25","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1649","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1612,"post_author":"4","post_date":"2021-02-04 09:19:12","post_date_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content":"\n
2003 silam kembali kuingat. Kala itu kehidupan rumah tangga kita cukup harmonis. Kita dikarunia 7 orang anak yang sangat manis. Saat itu usia mereka masih belia. Yang paling kecil baru berusia 1 tahun. Dan aku termasuk perempuan yang subur sehingga jedah usia antara anak yang satu dengan yang lain hanya 1-2 tahun.<\/p>\n\n\n\n
Suami bekerja sebagai petani. Kami memiliki satu petak sawah untuk sumber penghasilan. Sesekali kubantu suami di sawah. Karena aku juga membantu mencari nafkah sebagai penjual jamu tradisional. Itupun kadang-kadang kulakukan disela-sela kesibukanku sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi anak-anak di rumah.<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan rumah tanggaku tidak semulus yang kubayangkan. Sejak menikah suamiku sudah berkali-kali bermain perempuan bahkan sempat beberapa kali menikah dengan perempuan lain. Aku masih menerimannya walaupun terkadang dia datang sebulan sekali tanpa memberi nafkah lahiriah.<\/p>\n\n\n\n
Kukorbankan sekolah ke 4 anak tertuaku. Mereka tak melanjutkan sekolah. Mereka hanya mengenyam pendidikan sampai SD dan SMP. Ini semua terkendala biaya. Karena jaman dulu belum ada bantuan PKH seperti sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Mereka kecil bekerja di sawah. Bapaknya sibuk dengan perempuan lain.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya Bom waktu itu meledak. Tepat tahun 2003 aku menggugat cerai. Kali ini perbuatannya diluar batas kesabaranku. Aku tak diberi harta gono gini sedikitpun. Padahal rumah dan sawah adalah hasil dari usaha kami berdua.<\/p>\n\n\n\n
Oh..... sungguh kejam kalian....<\/p>\n\n\n\n
Maemunah namanya. Teman makan sepiring berdua. Teman curhatku bila ada masalah, teman berbagi suka dan duka. Statusnyapun janda beranak 1.<\/p>\n\n\n\n
B\u00e8gitu akrabnya kami, terkadang Maemunah sering kuajak nginap di rumah. Sambil membantuku membuat jamu. Dan aku memberinya upah seala kadarnya.<\/p>\n\n\n\n
Saat itu posisi suamiku sudah bercerai dengan istri -istri gelapnya.<\/p>\n\n\n\n
Sore itu sepulang aku dari menjual jamu.<\/p>\n\n\n\n
Aku dikejutkan oleh keberadaan suamiku dan Maemunah didalam kamarku. Aku marah. Aku menangis sejadi-jadinya. Dunia gelap kurasakan. Tak ada daya lagi. Tulangku remuk. Aku hacur....<\/p>\n\n\n\n
Aku membawa ke 7 anak-anakku. Aku keluar dari rumah menuju desa Donggobolo tempat tinggalku sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Aku diberi tumpangan rumah sederhana oleh saudaraku.<\/p>\n\n\n\n
Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Sebenarnya bulek Jamu ingin sekali memiliki sepeda baru, \"sepedaku ini sering rusak Kar, bisakah kamu usahakan supaya aku dapat bantuan sepeda mini baru', pernah suatu hari ia berkata kepadaku. Namun usaha pendataan dan pendaftaran ke UMKM Kubu Raya, belum membuahkan hasil, karena nama bu Sri Juariyah tidak termasuk kedalam penerima bantuan UMKM. Dengan tulisan ini besar harapan ada donatur yang mau bersedekah, supaya bu Sri bisa mewujudkan mimpi, memiliki sepeda mini baru.<\/p>\n\n\n\n
Jangan pernah lagi berkata \u201cJangan tanamkan harapan yang luas pada kenyataan yang terbatas\u201d. Karena kita punya Allah SWT yang memungkinkan kemustahilan, mengganti keresahan dengan ketenangan, mengganti ketidakmungkinan dengan harapan. Selama kita terus berdo\u2019a dan berikhtiar, bersama-Nya... Tak ada jalan buntu.<\/em><\/p>\n\n\n\n
Namaku Hasmiaty, usiaku 48 tahun. Aku anak pertama dari 7 (tujuh) bersaudara dari pasangan Andi Abdul Rasyid dan Andi Siti Hawa. Ketika aku berusia 13 tahun, ibuku meninggal dunia. Selang waktu tak berapa lama dari kematian ibuku, aku harus berpisah dengan adik-adikku untuk melanjutkan sekolahku. Aku lulus SMA di tahun 1987.<\/p>\n\n\n\n
Setelah lulus SMA perjalanan hidupku yang sesungguhnya pun dimulai. Aku pergi ke Provinsi Sulawesi Tenggara untuk mencari pekerjaan. Namun ternyata, disana harapaku belum terjawab. Kemudian kulanjutkan petualanganku ke Kalimantan Timur, di sini pun aku tak jua menemukan pekerjaan. Kulanjutkan perjalanan ke Tarakan, Kalimantan Utara. Lama sekali aku berkeliling di tempat ini, sampai akhirnya aku diterima bekerja di CV. Hawa. Aku tak lama bekerja di sana, hanya 3 (bulan) karena aku menikah dengan seorang pria, seorang pria yang sebetulnya aku tak tahu sama sekali asal-usulnya.<\/p>\n\n\n\n
Di bulan ketiga pernikahanku, aku hamil. Aku sangat senang akan memiliki seorang anak. Namun, rasa senang ini kemudian terusik dengan kepedihan yang luar biasa, di kehamilanku yang menginjak 4 (empat) bulan, suamiku berselingkuh dengan wanita lain. Pilihan yang tersisa bagiku hanyalah mundur dari bahtera rumah tangga yang sudah kami berdua bangun beberapa waktu itu dan mengubur dalam-dalam semua yang telah kami lalui bersama. Aku memutuskan kembali ke Bone.<\/p>\n\n\n\n
5 (lima) bulan kemudian aku melahirkan putri pertamaku Fatimah. Ketika itu rasa bahagia yang teramat luar biasa mengalir deras dihatiku, \u201cAku menjadi seorang ibu!!!\u201d. Walau memang tetap kurasa sakit yang mendalam karena perselingkuhan suamiku.<\/p>\n\n\n\n
Sebulan setelah melahirkan, aku mendapatkan surat dari pamanku. Dalam surat itu pamanku berkata, \u201cSabarki nak, suamimu telah menikah lagi dengan perempuan lain. Uruslah anakmu sebaik-baiknya, sampai dia menjadi anak yang berguna\u201d. Saat membaca surat itu, hatiku hancur. Sakit sekali kurasa. Dan sampai saat ini, hatiku sakit jika teringat hal itu.<\/p>\n\n\n\n
Ketika Fatimah berumur 3 (tiga) tahun, dia menanyakan ayahnya \u201cUmmi, dimana ayahku? Semua orang ada ayahnya yang menggendongnya\u201d. Kupeluk erat-erat Fatimah, kucium wajah mungilnya sambil berkata, \u201cayahmu sudah meninggal, janga ditanyakan lagi. Sabar ya, nak\u201d. Dalam hatiku menangis.<\/p>\n\n\n\n
Setelah berusia 7 (tujuh) tahun, Fatimah tahu ayahnya masih hidup dari cerita tetanggaku. Ketika itu Fatimah sangat marah kepadaku, \u201cUmmi bohong pada saya, ternyata ayah masih hidup. Mengapa Ummi berbohong kepada saya, sementara Ummi meminta saya untuk selalu jujur?\u201d. Aku menangis dan memeluk Fatimah, kubisikan padanya \u201cAyahmu memang masih hidup, tapi di mata Ummi ayahmu sudah meninggal. Karena tidak mungkin seorang ayah masih hidup jika dia tidak mencari anak isterinya\u201d. Fatimah kecil tertegun, kemudian dia berkata \u201cUmmi, kalau begitu ayah memang sudah meninggal. Dan Ummi, tolong jangan tinggalkan saya\u201d. Fatimah memeluk erat tubuhku sambil menangis. Perih sekali hatiku ketika itu dan aku bertekad akan membesarkan Fatimah sampai dia benar-benar menjadi seseorang yang berguna. Aku terus bertawakal kepada Allah.<\/p>\n\n\n\n
Di tahun 1999 aku menikah lagi. Sama dengan pernikahanku yang pertama, aku menikah dengan lelaki yang tak kukenal sebelumnya. Aku menikah secara agama. Namun yang jelas, dalam benakku hanya berkata, pria ini adalah suamiku dan aku harus memposisikan diri sebagai isteri yang patuh terhadap suami. Dari pernikahan kedua ini, aku dikaruniai 2 (orang) anak laki-laki, Ulil dan Ihwal.<\/p>\n\n\n\n
Ketika Ulil berusia 6 (enam) tahun dan Ihwal berusia 7 (tujuh) bulan, suamiku meninggal. Aku berpikir betapa pahitnya hidupku. Namun aku harus tetap kuat di hadapan anak-anakku, aku tidak boleh lemah menghadapi cobaan ini dan aku harus terus bertawakal dan be\u2019do'a kepada-Nya serta terus berikhtiar untuk melanjutkan kehidupanku beserta ketiga anak-anakku.<\/p>\n\n\n\n
Cobaan pun datang bertubi-tubi, 3 (tiga) tahun setelah suamiku meninggal, adikku meninggal, disusul dengan ayah dan adikku yang satunya lagi. Kejadian ini dialami selama 2 (dua) tahun berturut-turut. Namun aku tetap terus bertawakal kepada Allah dan menerima cobaan serta ujian hidup ini.<\/p>\n\n\n\n
Aku bekerja ganda, sebagai Ibu sekaligus mencari nafkah sebagai buruh perkebunan tebu dan menjadi guru di TPA dengan gaji yang sangat kecil. Hal ini kulakukan demi keberlangsungan sekolah anak-anakku. Sungguh lelah kurasa, namun aku percaya lelah ini akan menghasilkan kebahagiaan. Fatimah anak pertamaku ternyata merasa gelisah untuk hal ini. Ketika lulus SD, dia tidak ingin melanjutkan sekolah dan ingin bekerja, begitu seterusnya sampai dia lulus SMA, alasannya adalah darimana aku akan mendapatkan uang untuk menyekolahkan dia. Aku memberikan cerita hidupku kepadanya, ku yakin apa yang kualami ini akan mengalirkan semangat Fatimah untuk tetap melanjutkan sekolah. Aku berkata padanya, \u201cNak, lihat Ummi. Ummi lulusan SMA, tapi Ummi tidak menjadi apa-apa. Ummi hanya menjadi buruh lepas. Apakah kamu ingin hidup seperti Ummi? Ummi ingin kamu maju, jangan seperti Ummi. Ummi ingin kehidupanmu lebih baik dari Ummi dan mendapatkan pekerjaan yang layak\u201d. Hati anakku pun tergerak, dia kemudian tetap melanjutkan kuliah di STAIN di Kecamatan Kajuara sambil bekerja sebagai honorer di salah satu yayasan pendidikan di Makassar.<\/p>\n\n\n\n
Pada tanggal 22 Oktober 2012, Mbak Nunung dari Pekka datang ke Camming, daerah dimana tempatku tinggal saat ini. Aku sangat tertarik dengan Pekka. Bagiku, program ini sangatlah bagus karena berbeda dengan program dari organisasi-organisasi yang pernah aku ikuti, dan dibentuklah kelompok yang kami beri nama Mattiro Bulu (Melihat dari atas gunung). Dengan adanya Pekka aku mulai bangkit. Semangatku tumbuh kembali. Bersama Pekka, aku merasa beban hidupku berangsur-angsur berkurang. Kesedihanku sedikit terlupakan. Hal ini karena aku selalu mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan Pekka dimana aku bertemu banyak orang dan banyak ilmu yang kudapat dasri Pekka.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaanku ini bertambah, karena izin Allah aku kemudian mendapatkan kesempatan untuk mengikuti fornas di Jakarta. Aku sangat senang, aku mengunjungi kementerian koordinator bidang kesejahteraan rakyat yang sebelumnya tak pernah kubayangkan. Betapa terharunya ketika ku teringat duduk di forum bersama teman-teman dari 19 provinsi di Indonesia. Photo fornas dengan memakai kaos seragam wilayah yang kudapat, kuperbesar menjadi 10 R dan kupajang di dinding rumahku. Ketika melihat photo itu, aku menangis terharu, mengingat setiap moment yang ada ketika itu. Dan photo itu mengalirkan semangat dalam hidupku.<\/p>\n\n\n\n
Setelah fornas, hidupku mulai berubah. Percaya diriku bertambah. Ketika akan dilaksanakan pelayanan terpadu satu atap di kecamatanku Libureng. Aku dan teman-teman pengurus serikat mendata dari rumah ke rumah. Teman-temanku memberikan pelajaran baru bagiku. Aku harus memiliki keberanian. Dan pelayanan terpadu satu atap ini pun berlangsung, ketika itu tanggal 4 Desember 2013.<\/p>\n\n\n\n
Setelah kegiatan itu usai, aku mendapatkan tugas lain. Aku mendapatkan sms untuk mendata siapa saja yang tidak memiliki jamkesmas atau jamkesda. Aku mendata dari rumah ke rumah dan ketika itu juga langsung saja namaku dan nama anak-anakku kucantumkan, karena selama ini aku dan anak-anakku tidak dapat mengakses program itu. Kupikir aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Mengingat tidak hanya jamkesmas saja yang tak kudapat tetapi juga anak-anakku yang saat ini bersekolah di SMP dan di SD tidak pernah sama sekali menerima baik dana bos maupun dana sumbangan bagi siswa miskin. Padahal aku telah melampirkan persyaratan yang harus dipenuhi yaitu KK, KTP, dan rapor anak-anakku. Namun meskipun begitu, aku yakin Allah tetap akan membuka rezekiku walau bukan dari pintu yang ini. Ternyata pengurus serikat sangat heran dengan data-data yang ku dapat, apalagi Tari ketua LKM kami, dia sampai bertanya darimana aku mendapat data-data itu. Aku langsung bilang dengan bangga \u201caku mendatanya dari rumah ke rumah\u201d. Aku berharap usulan ini diterima dan kami mendapat JKN itu.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaan lainnya semenjak aku ikut Pekka dan sepulangnya dari Fornas Pekka di Jakarta, aku akhirnya dapat mengikuti musrenbang. Ketika itu musrenbang dilaksanakan pada tanggal 05 Januari 2014. Dalam musrenbang, aku mengusulkan agar listrik masuk ke dusunku (Dusun Camming, Desa Mattiro Bulu, Kecamatan Libureng), dan aku juga mengusulkan agar jalan menuju kampungku diperbaiki serta ada sumbangan bahan bangun untuk mesjid di atas tanah yang almarhum adikku hibahkan kepadaku. Aku senang, salah satu usulku mendapatkan respon yang positif. Setidaknya aku sekarang melihat ada tiang listrik di dusunku. Semoga listrik masuk dusun ini segera terlaksana.<\/p>\n\n\n\n
Setelah Fornas PEKKA dan musrenbang itu, aku semakin dikenal orang. Aku diundang diacara pengajian di desa dan di dusun Lappa data. Dikeduanya aku diberi amplop. Aku sangat senang sekali, di dalam amplop itu ada uang yang isinya Rp 50.000,- berarti dengan dua amplop yang terkumpul aku mendapatkan uang Rp 100.000,-. Ternyata jika kita menjalankan semuanya dengan penuh keikhlasan maka balasan dari Allah pun akan sangat melimpah. Itu yang kini menjadi hal yang akan terus aku pegang. Setelah dua acara tersebut aku juga diundang untuk menjadi pembaca ayat suci al-qur\u2019an di acara Maulid Nabi di kantor kecamatan. Dan aku akan mempersiapkan diri sebaik mungkin.<\/p>\n\n\n\n
Namun dari semua kebahagiaan yang ada, ada hal yang amat sangat membuat aku luar biasa bahagia, yang membuatku terharu dan mengucap syukur nikmat atas semua yang diberikan Allah SWT. Pada tanggal 15 Desember 2013, anak pertamaku Fatimah di wisuda dengan predikat cumlaude dan sekarang bekerja menjadi guru di yayasan pendidikan di Makassar. Anak keduaku naik kelas ke kelas 3 SMP dan anak bungsuku naik kelas ke kelas 2 SD. Aku merasa berhasil, menjadi orang tua tunggal tidak menghalangi aku untuk menyekolahkan anak-anakku sampai perguruan tinggi, asalkan aku tetap berdo\u2019a dan berusaha, insyaallah semua cobaan itu dapat kulewati dan menghasilkan kebahagiaan yang luar biasa.<\/p>\n","post_title":"Menjadi Buruh Tebu Demi Pendidikan Anak","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"menjadi-buruh-tebu-demi-pendidikan-anak","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-24 03:40:25","post_modified_gmt":"2021-02-24 03:40:25","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1649","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1612,"post_author":"4","post_date":"2021-02-04 09:19:12","post_date_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content":"\n
2003 silam kembali kuingat. Kala itu kehidupan rumah tangga kita cukup harmonis. Kita dikarunia 7 orang anak yang sangat manis. Saat itu usia mereka masih belia. Yang paling kecil baru berusia 1 tahun. Dan aku termasuk perempuan yang subur sehingga jedah usia antara anak yang satu dengan yang lain hanya 1-2 tahun.<\/p>\n\n\n\n
Suami bekerja sebagai petani. Kami memiliki satu petak sawah untuk sumber penghasilan. Sesekali kubantu suami di sawah. Karena aku juga membantu mencari nafkah sebagai penjual jamu tradisional. Itupun kadang-kadang kulakukan disela-sela kesibukanku sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi anak-anak di rumah.<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan rumah tanggaku tidak semulus yang kubayangkan. Sejak menikah suamiku sudah berkali-kali bermain perempuan bahkan sempat beberapa kali menikah dengan perempuan lain. Aku masih menerimannya walaupun terkadang dia datang sebulan sekali tanpa memberi nafkah lahiriah.<\/p>\n\n\n\n
Kukorbankan sekolah ke 4 anak tertuaku. Mereka tak melanjutkan sekolah. Mereka hanya mengenyam pendidikan sampai SD dan SMP. Ini semua terkendala biaya. Karena jaman dulu belum ada bantuan PKH seperti sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Mereka kecil bekerja di sawah. Bapaknya sibuk dengan perempuan lain.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya Bom waktu itu meledak. Tepat tahun 2003 aku menggugat cerai. Kali ini perbuatannya diluar batas kesabaranku. Aku tak diberi harta gono gini sedikitpun. Padahal rumah dan sawah adalah hasil dari usaha kami berdua.<\/p>\n\n\n\n
Oh..... sungguh kejam kalian....<\/p>\n\n\n\n
Maemunah namanya. Teman makan sepiring berdua. Teman curhatku bila ada masalah, teman berbagi suka dan duka. Statusnyapun janda beranak 1.<\/p>\n\n\n\n
B\u00e8gitu akrabnya kami, terkadang Maemunah sering kuajak nginap di rumah. Sambil membantuku membuat jamu. Dan aku memberinya upah seala kadarnya.<\/p>\n\n\n\n
Saat itu posisi suamiku sudah bercerai dengan istri -istri gelapnya.<\/p>\n\n\n\n
Sore itu sepulang aku dari menjual jamu.<\/p>\n\n\n\n
Aku dikejutkan oleh keberadaan suamiku dan Maemunah didalam kamarku. Aku marah. Aku menangis sejadi-jadinya. Dunia gelap kurasakan. Tak ada daya lagi. Tulangku remuk. Aku hacur....<\/p>\n\n\n\n
Aku membawa ke 7 anak-anakku. Aku keluar dari rumah menuju desa Donggobolo tempat tinggalku sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Aku diberi tumpangan rumah sederhana oleh saudaraku.<\/p>\n\n\n\n
Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Hidup yang pas-pasan, dengan keserhanaan bulek Jamu juga menjadi anggota Majelis Taklim,mengikuti pengajian setiap hari Sabtu. Bulek Jamu ingin suaminya segera membaik dari sakit paru-paru, agar ia bisa kembali berjualan jamu. Karena banyak anak-anak dan pelanggan jamunya menunggu bulek Jamu berjualan.<\/p>\n\n\n\n
Sebenarnya bulek Jamu ingin sekali memiliki sepeda baru, \"sepedaku ini sering rusak Kar, bisakah kamu usahakan supaya aku dapat bantuan sepeda mini baru', pernah suatu hari ia berkata kepadaku. Namun usaha pendataan dan pendaftaran ke UMKM Kubu Raya, belum membuahkan hasil, karena nama bu Sri Juariyah tidak termasuk kedalam penerima bantuan UMKM. Dengan tulisan ini besar harapan ada donatur yang mau bersedekah, supaya bu Sri bisa mewujudkan mimpi, memiliki sepeda mini baru.<\/p>\n\n\n\n
Jangan pernah lagi berkata \u201cJangan tanamkan harapan yang luas pada kenyataan yang terbatas\u201d. Karena kita punya Allah SWT yang memungkinkan kemustahilan, mengganti keresahan dengan ketenangan, mengganti ketidakmungkinan dengan harapan. Selama kita terus berdo\u2019a dan berikhtiar, bersama-Nya... Tak ada jalan buntu.<\/em><\/p>\n\n\n\n
Namaku Hasmiaty, usiaku 48 tahun. Aku anak pertama dari 7 (tujuh) bersaudara dari pasangan Andi Abdul Rasyid dan Andi Siti Hawa. Ketika aku berusia 13 tahun, ibuku meninggal dunia. Selang waktu tak berapa lama dari kematian ibuku, aku harus berpisah dengan adik-adikku untuk melanjutkan sekolahku. Aku lulus SMA di tahun 1987.<\/p>\n\n\n\n
Setelah lulus SMA perjalanan hidupku yang sesungguhnya pun dimulai. Aku pergi ke Provinsi Sulawesi Tenggara untuk mencari pekerjaan. Namun ternyata, disana harapaku belum terjawab. Kemudian kulanjutkan petualanganku ke Kalimantan Timur, di sini pun aku tak jua menemukan pekerjaan. Kulanjutkan perjalanan ke Tarakan, Kalimantan Utara. Lama sekali aku berkeliling di tempat ini, sampai akhirnya aku diterima bekerja di CV. Hawa. Aku tak lama bekerja di sana, hanya 3 (bulan) karena aku menikah dengan seorang pria, seorang pria yang sebetulnya aku tak tahu sama sekali asal-usulnya.<\/p>\n\n\n\n
Di bulan ketiga pernikahanku, aku hamil. Aku sangat senang akan memiliki seorang anak. Namun, rasa senang ini kemudian terusik dengan kepedihan yang luar biasa, di kehamilanku yang menginjak 4 (empat) bulan, suamiku berselingkuh dengan wanita lain. Pilihan yang tersisa bagiku hanyalah mundur dari bahtera rumah tangga yang sudah kami berdua bangun beberapa waktu itu dan mengubur dalam-dalam semua yang telah kami lalui bersama. Aku memutuskan kembali ke Bone.<\/p>\n\n\n\n
5 (lima) bulan kemudian aku melahirkan putri pertamaku Fatimah. Ketika itu rasa bahagia yang teramat luar biasa mengalir deras dihatiku, \u201cAku menjadi seorang ibu!!!\u201d. Walau memang tetap kurasa sakit yang mendalam karena perselingkuhan suamiku.<\/p>\n\n\n\n
Sebulan setelah melahirkan, aku mendapatkan surat dari pamanku. Dalam surat itu pamanku berkata, \u201cSabarki nak, suamimu telah menikah lagi dengan perempuan lain. Uruslah anakmu sebaik-baiknya, sampai dia menjadi anak yang berguna\u201d. Saat membaca surat itu, hatiku hancur. Sakit sekali kurasa. Dan sampai saat ini, hatiku sakit jika teringat hal itu.<\/p>\n\n\n\n
Ketika Fatimah berumur 3 (tiga) tahun, dia menanyakan ayahnya \u201cUmmi, dimana ayahku? Semua orang ada ayahnya yang menggendongnya\u201d. Kupeluk erat-erat Fatimah, kucium wajah mungilnya sambil berkata, \u201cayahmu sudah meninggal, janga ditanyakan lagi. Sabar ya, nak\u201d. Dalam hatiku menangis.<\/p>\n\n\n\n
Setelah berusia 7 (tujuh) tahun, Fatimah tahu ayahnya masih hidup dari cerita tetanggaku. Ketika itu Fatimah sangat marah kepadaku, \u201cUmmi bohong pada saya, ternyata ayah masih hidup. Mengapa Ummi berbohong kepada saya, sementara Ummi meminta saya untuk selalu jujur?\u201d. Aku menangis dan memeluk Fatimah, kubisikan padanya \u201cAyahmu memang masih hidup, tapi di mata Ummi ayahmu sudah meninggal. Karena tidak mungkin seorang ayah masih hidup jika dia tidak mencari anak isterinya\u201d. Fatimah kecil tertegun, kemudian dia berkata \u201cUmmi, kalau begitu ayah memang sudah meninggal. Dan Ummi, tolong jangan tinggalkan saya\u201d. Fatimah memeluk erat tubuhku sambil menangis. Perih sekali hatiku ketika itu dan aku bertekad akan membesarkan Fatimah sampai dia benar-benar menjadi seseorang yang berguna. Aku terus bertawakal kepada Allah.<\/p>\n\n\n\n
Di tahun 1999 aku menikah lagi. Sama dengan pernikahanku yang pertama, aku menikah dengan lelaki yang tak kukenal sebelumnya. Aku menikah secara agama. Namun yang jelas, dalam benakku hanya berkata, pria ini adalah suamiku dan aku harus memposisikan diri sebagai isteri yang patuh terhadap suami. Dari pernikahan kedua ini, aku dikaruniai 2 (orang) anak laki-laki, Ulil dan Ihwal.<\/p>\n\n\n\n
Ketika Ulil berusia 6 (enam) tahun dan Ihwal berusia 7 (tujuh) bulan, suamiku meninggal. Aku berpikir betapa pahitnya hidupku. Namun aku harus tetap kuat di hadapan anak-anakku, aku tidak boleh lemah menghadapi cobaan ini dan aku harus terus bertawakal dan be\u2019do'a kepada-Nya serta terus berikhtiar untuk melanjutkan kehidupanku beserta ketiga anak-anakku.<\/p>\n\n\n\n
Cobaan pun datang bertubi-tubi, 3 (tiga) tahun setelah suamiku meninggal, adikku meninggal, disusul dengan ayah dan adikku yang satunya lagi. Kejadian ini dialami selama 2 (dua) tahun berturut-turut. Namun aku tetap terus bertawakal kepada Allah dan menerima cobaan serta ujian hidup ini.<\/p>\n\n\n\n
Aku bekerja ganda, sebagai Ibu sekaligus mencari nafkah sebagai buruh perkebunan tebu dan menjadi guru di TPA dengan gaji yang sangat kecil. Hal ini kulakukan demi keberlangsungan sekolah anak-anakku. Sungguh lelah kurasa, namun aku percaya lelah ini akan menghasilkan kebahagiaan. Fatimah anak pertamaku ternyata merasa gelisah untuk hal ini. Ketika lulus SD, dia tidak ingin melanjutkan sekolah dan ingin bekerja, begitu seterusnya sampai dia lulus SMA, alasannya adalah darimana aku akan mendapatkan uang untuk menyekolahkan dia. Aku memberikan cerita hidupku kepadanya, ku yakin apa yang kualami ini akan mengalirkan semangat Fatimah untuk tetap melanjutkan sekolah. Aku berkata padanya, \u201cNak, lihat Ummi. Ummi lulusan SMA, tapi Ummi tidak menjadi apa-apa. Ummi hanya menjadi buruh lepas. Apakah kamu ingin hidup seperti Ummi? Ummi ingin kamu maju, jangan seperti Ummi. Ummi ingin kehidupanmu lebih baik dari Ummi dan mendapatkan pekerjaan yang layak\u201d. Hati anakku pun tergerak, dia kemudian tetap melanjutkan kuliah di STAIN di Kecamatan Kajuara sambil bekerja sebagai honorer di salah satu yayasan pendidikan di Makassar.<\/p>\n\n\n\n
Pada tanggal 22 Oktober 2012, Mbak Nunung dari Pekka datang ke Camming, daerah dimana tempatku tinggal saat ini. Aku sangat tertarik dengan Pekka. Bagiku, program ini sangatlah bagus karena berbeda dengan program dari organisasi-organisasi yang pernah aku ikuti, dan dibentuklah kelompok yang kami beri nama Mattiro Bulu (Melihat dari atas gunung). Dengan adanya Pekka aku mulai bangkit. Semangatku tumbuh kembali. Bersama Pekka, aku merasa beban hidupku berangsur-angsur berkurang. Kesedihanku sedikit terlupakan. Hal ini karena aku selalu mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan Pekka dimana aku bertemu banyak orang dan banyak ilmu yang kudapat dasri Pekka.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaanku ini bertambah, karena izin Allah aku kemudian mendapatkan kesempatan untuk mengikuti fornas di Jakarta. Aku sangat senang, aku mengunjungi kementerian koordinator bidang kesejahteraan rakyat yang sebelumnya tak pernah kubayangkan. Betapa terharunya ketika ku teringat duduk di forum bersama teman-teman dari 19 provinsi di Indonesia. Photo fornas dengan memakai kaos seragam wilayah yang kudapat, kuperbesar menjadi 10 R dan kupajang di dinding rumahku. Ketika melihat photo itu, aku menangis terharu, mengingat setiap moment yang ada ketika itu. Dan photo itu mengalirkan semangat dalam hidupku.<\/p>\n\n\n\n
Setelah fornas, hidupku mulai berubah. Percaya diriku bertambah. Ketika akan dilaksanakan pelayanan terpadu satu atap di kecamatanku Libureng. Aku dan teman-teman pengurus serikat mendata dari rumah ke rumah. Teman-temanku memberikan pelajaran baru bagiku. Aku harus memiliki keberanian. Dan pelayanan terpadu satu atap ini pun berlangsung, ketika itu tanggal 4 Desember 2013.<\/p>\n\n\n\n
Setelah kegiatan itu usai, aku mendapatkan tugas lain. Aku mendapatkan sms untuk mendata siapa saja yang tidak memiliki jamkesmas atau jamkesda. Aku mendata dari rumah ke rumah dan ketika itu juga langsung saja namaku dan nama anak-anakku kucantumkan, karena selama ini aku dan anak-anakku tidak dapat mengakses program itu. Kupikir aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Mengingat tidak hanya jamkesmas saja yang tak kudapat tetapi juga anak-anakku yang saat ini bersekolah di SMP dan di SD tidak pernah sama sekali menerima baik dana bos maupun dana sumbangan bagi siswa miskin. Padahal aku telah melampirkan persyaratan yang harus dipenuhi yaitu KK, KTP, dan rapor anak-anakku. Namun meskipun begitu, aku yakin Allah tetap akan membuka rezekiku walau bukan dari pintu yang ini. Ternyata pengurus serikat sangat heran dengan data-data yang ku dapat, apalagi Tari ketua LKM kami, dia sampai bertanya darimana aku mendapat data-data itu. Aku langsung bilang dengan bangga \u201caku mendatanya dari rumah ke rumah\u201d. Aku berharap usulan ini diterima dan kami mendapat JKN itu.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaan lainnya semenjak aku ikut Pekka dan sepulangnya dari Fornas Pekka di Jakarta, aku akhirnya dapat mengikuti musrenbang. Ketika itu musrenbang dilaksanakan pada tanggal 05 Januari 2014. Dalam musrenbang, aku mengusulkan agar listrik masuk ke dusunku (Dusun Camming, Desa Mattiro Bulu, Kecamatan Libureng), dan aku juga mengusulkan agar jalan menuju kampungku diperbaiki serta ada sumbangan bahan bangun untuk mesjid di atas tanah yang almarhum adikku hibahkan kepadaku. Aku senang, salah satu usulku mendapatkan respon yang positif. Setidaknya aku sekarang melihat ada tiang listrik di dusunku. Semoga listrik masuk dusun ini segera terlaksana.<\/p>\n\n\n\n
Setelah Fornas PEKKA dan musrenbang itu, aku semakin dikenal orang. Aku diundang diacara pengajian di desa dan di dusun Lappa data. Dikeduanya aku diberi amplop. Aku sangat senang sekali, di dalam amplop itu ada uang yang isinya Rp 50.000,- berarti dengan dua amplop yang terkumpul aku mendapatkan uang Rp 100.000,-. Ternyata jika kita menjalankan semuanya dengan penuh keikhlasan maka balasan dari Allah pun akan sangat melimpah. Itu yang kini menjadi hal yang akan terus aku pegang. Setelah dua acara tersebut aku juga diundang untuk menjadi pembaca ayat suci al-qur\u2019an di acara Maulid Nabi di kantor kecamatan. Dan aku akan mempersiapkan diri sebaik mungkin.<\/p>\n\n\n\n
Namun dari semua kebahagiaan yang ada, ada hal yang amat sangat membuat aku luar biasa bahagia, yang membuatku terharu dan mengucap syukur nikmat atas semua yang diberikan Allah SWT. Pada tanggal 15 Desember 2013, anak pertamaku Fatimah di wisuda dengan predikat cumlaude dan sekarang bekerja menjadi guru di yayasan pendidikan di Makassar. Anak keduaku naik kelas ke kelas 3 SMP dan anak bungsuku naik kelas ke kelas 2 SD. Aku merasa berhasil, menjadi orang tua tunggal tidak menghalangi aku untuk menyekolahkan anak-anakku sampai perguruan tinggi, asalkan aku tetap berdo\u2019a dan berusaha, insyaallah semua cobaan itu dapat kulewati dan menghasilkan kebahagiaan yang luar biasa.<\/p>\n","post_title":"Menjadi Buruh Tebu Demi Pendidikan Anak","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"menjadi-buruh-tebu-demi-pendidikan-anak","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-24 03:40:25","post_modified_gmt":"2021-02-24 03:40:25","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1649","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1612,"post_author":"4","post_date":"2021-02-04 09:19:12","post_date_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content":"\n
2003 silam kembali kuingat. Kala itu kehidupan rumah tangga kita cukup harmonis. Kita dikarunia 7 orang anak yang sangat manis. Saat itu usia mereka masih belia. Yang paling kecil baru berusia 1 tahun. Dan aku termasuk perempuan yang subur sehingga jedah usia antara anak yang satu dengan yang lain hanya 1-2 tahun.<\/p>\n\n\n\n
Suami bekerja sebagai petani. Kami memiliki satu petak sawah untuk sumber penghasilan. Sesekali kubantu suami di sawah. Karena aku juga membantu mencari nafkah sebagai penjual jamu tradisional. Itupun kadang-kadang kulakukan disela-sela kesibukanku sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi anak-anak di rumah.<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan rumah tanggaku tidak semulus yang kubayangkan. Sejak menikah suamiku sudah berkali-kali bermain perempuan bahkan sempat beberapa kali menikah dengan perempuan lain. Aku masih menerimannya walaupun terkadang dia datang sebulan sekali tanpa memberi nafkah lahiriah.<\/p>\n\n\n\n
Kukorbankan sekolah ke 4 anak tertuaku. Mereka tak melanjutkan sekolah. Mereka hanya mengenyam pendidikan sampai SD dan SMP. Ini semua terkendala biaya. Karena jaman dulu belum ada bantuan PKH seperti sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Mereka kecil bekerja di sawah. Bapaknya sibuk dengan perempuan lain.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya Bom waktu itu meledak. Tepat tahun 2003 aku menggugat cerai. Kali ini perbuatannya diluar batas kesabaranku. Aku tak diberi harta gono gini sedikitpun. Padahal rumah dan sawah adalah hasil dari usaha kami berdua.<\/p>\n\n\n\n
Oh..... sungguh kejam kalian....<\/p>\n\n\n\n
Maemunah namanya. Teman makan sepiring berdua. Teman curhatku bila ada masalah, teman berbagi suka dan duka. Statusnyapun janda beranak 1.<\/p>\n\n\n\n
B\u00e8gitu akrabnya kami, terkadang Maemunah sering kuajak nginap di rumah. Sambil membantuku membuat jamu. Dan aku memberinya upah seala kadarnya.<\/p>\n\n\n\n
Saat itu posisi suamiku sudah bercerai dengan istri -istri gelapnya.<\/p>\n\n\n\n
Sore itu sepulang aku dari menjual jamu.<\/p>\n\n\n\n
Aku dikejutkan oleh keberadaan suamiku dan Maemunah didalam kamarku. Aku marah. Aku menangis sejadi-jadinya. Dunia gelap kurasakan. Tak ada daya lagi. Tulangku remuk. Aku hacur....<\/p>\n\n\n\n
Aku membawa ke 7 anak-anakku. Aku keluar dari rumah menuju desa Donggobolo tempat tinggalku sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Aku diberi tumpangan rumah sederhana oleh saudaraku.<\/p>\n\n\n\n
Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Penghasilan yang tidak pasti, \"kadang kalau ramai yang beli dapet Rp. 50.000,-,kadang juga hanya Rp. 25.000 \u2013 Rp. 30.000,-\",ceritanya pada kami saat pertemuan kelompok. Namun semenjak suaminya terdeteksi sakit paru-paru dan harus dirawat di Puskesmas,bulek Jamu belum berjualan. Pasca lebaran hingga sekarang. Tiga orang anaknya sudah berkeluarga,sementara sibungsu sudah bekerja, sehingga bisa membantu kebutuhan ekonomi keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Hidup yang pas-pasan, dengan keserhanaan bulek Jamu juga menjadi anggota Majelis Taklim,mengikuti pengajian setiap hari Sabtu. Bulek Jamu ingin suaminya segera membaik dari sakit paru-paru, agar ia bisa kembali berjualan jamu. Karena banyak anak-anak dan pelanggan jamunya menunggu bulek Jamu berjualan.<\/p>\n\n\n\n
Sebenarnya bulek Jamu ingin sekali memiliki sepeda baru, \"sepedaku ini sering rusak Kar, bisakah kamu usahakan supaya aku dapat bantuan sepeda mini baru', pernah suatu hari ia berkata kepadaku. Namun usaha pendataan dan pendaftaran ke UMKM Kubu Raya, belum membuahkan hasil, karena nama bu Sri Juariyah tidak termasuk kedalam penerima bantuan UMKM. Dengan tulisan ini besar harapan ada donatur yang mau bersedekah, supaya bu Sri bisa mewujudkan mimpi, memiliki sepeda mini baru.<\/p>\n\n\n\n
Jangan pernah lagi berkata \u201cJangan tanamkan harapan yang luas pada kenyataan yang terbatas\u201d. Karena kita punya Allah SWT yang memungkinkan kemustahilan, mengganti keresahan dengan ketenangan, mengganti ketidakmungkinan dengan harapan. Selama kita terus berdo\u2019a dan berikhtiar, bersama-Nya... Tak ada jalan buntu.<\/em><\/p>\n\n\n\n
Namaku Hasmiaty, usiaku 48 tahun. Aku anak pertama dari 7 (tujuh) bersaudara dari pasangan Andi Abdul Rasyid dan Andi Siti Hawa. Ketika aku berusia 13 tahun, ibuku meninggal dunia. Selang waktu tak berapa lama dari kematian ibuku, aku harus berpisah dengan adik-adikku untuk melanjutkan sekolahku. Aku lulus SMA di tahun 1987.<\/p>\n\n\n\n
Setelah lulus SMA perjalanan hidupku yang sesungguhnya pun dimulai. Aku pergi ke Provinsi Sulawesi Tenggara untuk mencari pekerjaan. Namun ternyata, disana harapaku belum terjawab. Kemudian kulanjutkan petualanganku ke Kalimantan Timur, di sini pun aku tak jua menemukan pekerjaan. Kulanjutkan perjalanan ke Tarakan, Kalimantan Utara. Lama sekali aku berkeliling di tempat ini, sampai akhirnya aku diterima bekerja di CV. Hawa. Aku tak lama bekerja di sana, hanya 3 (bulan) karena aku menikah dengan seorang pria, seorang pria yang sebetulnya aku tak tahu sama sekali asal-usulnya.<\/p>\n\n\n\n
Di bulan ketiga pernikahanku, aku hamil. Aku sangat senang akan memiliki seorang anak. Namun, rasa senang ini kemudian terusik dengan kepedihan yang luar biasa, di kehamilanku yang menginjak 4 (empat) bulan, suamiku berselingkuh dengan wanita lain. Pilihan yang tersisa bagiku hanyalah mundur dari bahtera rumah tangga yang sudah kami berdua bangun beberapa waktu itu dan mengubur dalam-dalam semua yang telah kami lalui bersama. Aku memutuskan kembali ke Bone.<\/p>\n\n\n\n
5 (lima) bulan kemudian aku melahirkan putri pertamaku Fatimah. Ketika itu rasa bahagia yang teramat luar biasa mengalir deras dihatiku, \u201cAku menjadi seorang ibu!!!\u201d. Walau memang tetap kurasa sakit yang mendalam karena perselingkuhan suamiku.<\/p>\n\n\n\n
Sebulan setelah melahirkan, aku mendapatkan surat dari pamanku. Dalam surat itu pamanku berkata, \u201cSabarki nak, suamimu telah menikah lagi dengan perempuan lain. Uruslah anakmu sebaik-baiknya, sampai dia menjadi anak yang berguna\u201d. Saat membaca surat itu, hatiku hancur. Sakit sekali kurasa. Dan sampai saat ini, hatiku sakit jika teringat hal itu.<\/p>\n\n\n\n
Ketika Fatimah berumur 3 (tiga) tahun, dia menanyakan ayahnya \u201cUmmi, dimana ayahku? Semua orang ada ayahnya yang menggendongnya\u201d. Kupeluk erat-erat Fatimah, kucium wajah mungilnya sambil berkata, \u201cayahmu sudah meninggal, janga ditanyakan lagi. Sabar ya, nak\u201d. Dalam hatiku menangis.<\/p>\n\n\n\n
Setelah berusia 7 (tujuh) tahun, Fatimah tahu ayahnya masih hidup dari cerita tetanggaku. Ketika itu Fatimah sangat marah kepadaku, \u201cUmmi bohong pada saya, ternyata ayah masih hidup. Mengapa Ummi berbohong kepada saya, sementara Ummi meminta saya untuk selalu jujur?\u201d. Aku menangis dan memeluk Fatimah, kubisikan padanya \u201cAyahmu memang masih hidup, tapi di mata Ummi ayahmu sudah meninggal. Karena tidak mungkin seorang ayah masih hidup jika dia tidak mencari anak isterinya\u201d. Fatimah kecil tertegun, kemudian dia berkata \u201cUmmi, kalau begitu ayah memang sudah meninggal. Dan Ummi, tolong jangan tinggalkan saya\u201d. Fatimah memeluk erat tubuhku sambil menangis. Perih sekali hatiku ketika itu dan aku bertekad akan membesarkan Fatimah sampai dia benar-benar menjadi seseorang yang berguna. Aku terus bertawakal kepada Allah.<\/p>\n\n\n\n
Di tahun 1999 aku menikah lagi. Sama dengan pernikahanku yang pertama, aku menikah dengan lelaki yang tak kukenal sebelumnya. Aku menikah secara agama. Namun yang jelas, dalam benakku hanya berkata, pria ini adalah suamiku dan aku harus memposisikan diri sebagai isteri yang patuh terhadap suami. Dari pernikahan kedua ini, aku dikaruniai 2 (orang) anak laki-laki, Ulil dan Ihwal.<\/p>\n\n\n\n
Ketika Ulil berusia 6 (enam) tahun dan Ihwal berusia 7 (tujuh) bulan, suamiku meninggal. Aku berpikir betapa pahitnya hidupku. Namun aku harus tetap kuat di hadapan anak-anakku, aku tidak boleh lemah menghadapi cobaan ini dan aku harus terus bertawakal dan be\u2019do'a kepada-Nya serta terus berikhtiar untuk melanjutkan kehidupanku beserta ketiga anak-anakku.<\/p>\n\n\n\n
Cobaan pun datang bertubi-tubi, 3 (tiga) tahun setelah suamiku meninggal, adikku meninggal, disusul dengan ayah dan adikku yang satunya lagi. Kejadian ini dialami selama 2 (dua) tahun berturut-turut. Namun aku tetap terus bertawakal kepada Allah dan menerima cobaan serta ujian hidup ini.<\/p>\n\n\n\n
Aku bekerja ganda, sebagai Ibu sekaligus mencari nafkah sebagai buruh perkebunan tebu dan menjadi guru di TPA dengan gaji yang sangat kecil. Hal ini kulakukan demi keberlangsungan sekolah anak-anakku. Sungguh lelah kurasa, namun aku percaya lelah ini akan menghasilkan kebahagiaan. Fatimah anak pertamaku ternyata merasa gelisah untuk hal ini. Ketika lulus SD, dia tidak ingin melanjutkan sekolah dan ingin bekerja, begitu seterusnya sampai dia lulus SMA, alasannya adalah darimana aku akan mendapatkan uang untuk menyekolahkan dia. Aku memberikan cerita hidupku kepadanya, ku yakin apa yang kualami ini akan mengalirkan semangat Fatimah untuk tetap melanjutkan sekolah. Aku berkata padanya, \u201cNak, lihat Ummi. Ummi lulusan SMA, tapi Ummi tidak menjadi apa-apa. Ummi hanya menjadi buruh lepas. Apakah kamu ingin hidup seperti Ummi? Ummi ingin kamu maju, jangan seperti Ummi. Ummi ingin kehidupanmu lebih baik dari Ummi dan mendapatkan pekerjaan yang layak\u201d. Hati anakku pun tergerak, dia kemudian tetap melanjutkan kuliah di STAIN di Kecamatan Kajuara sambil bekerja sebagai honorer di salah satu yayasan pendidikan di Makassar.<\/p>\n\n\n\n
Pada tanggal 22 Oktober 2012, Mbak Nunung dari Pekka datang ke Camming, daerah dimana tempatku tinggal saat ini. Aku sangat tertarik dengan Pekka. Bagiku, program ini sangatlah bagus karena berbeda dengan program dari organisasi-organisasi yang pernah aku ikuti, dan dibentuklah kelompok yang kami beri nama Mattiro Bulu (Melihat dari atas gunung). Dengan adanya Pekka aku mulai bangkit. Semangatku tumbuh kembali. Bersama Pekka, aku merasa beban hidupku berangsur-angsur berkurang. Kesedihanku sedikit terlupakan. Hal ini karena aku selalu mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan Pekka dimana aku bertemu banyak orang dan banyak ilmu yang kudapat dasri Pekka.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaanku ini bertambah, karena izin Allah aku kemudian mendapatkan kesempatan untuk mengikuti fornas di Jakarta. Aku sangat senang, aku mengunjungi kementerian koordinator bidang kesejahteraan rakyat yang sebelumnya tak pernah kubayangkan. Betapa terharunya ketika ku teringat duduk di forum bersama teman-teman dari 19 provinsi di Indonesia. Photo fornas dengan memakai kaos seragam wilayah yang kudapat, kuperbesar menjadi 10 R dan kupajang di dinding rumahku. Ketika melihat photo itu, aku menangis terharu, mengingat setiap moment yang ada ketika itu. Dan photo itu mengalirkan semangat dalam hidupku.<\/p>\n\n\n\n
Setelah fornas, hidupku mulai berubah. Percaya diriku bertambah. Ketika akan dilaksanakan pelayanan terpadu satu atap di kecamatanku Libureng. Aku dan teman-teman pengurus serikat mendata dari rumah ke rumah. Teman-temanku memberikan pelajaran baru bagiku. Aku harus memiliki keberanian. Dan pelayanan terpadu satu atap ini pun berlangsung, ketika itu tanggal 4 Desember 2013.<\/p>\n\n\n\n
Setelah kegiatan itu usai, aku mendapatkan tugas lain. Aku mendapatkan sms untuk mendata siapa saja yang tidak memiliki jamkesmas atau jamkesda. Aku mendata dari rumah ke rumah dan ketika itu juga langsung saja namaku dan nama anak-anakku kucantumkan, karena selama ini aku dan anak-anakku tidak dapat mengakses program itu. Kupikir aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Mengingat tidak hanya jamkesmas saja yang tak kudapat tetapi juga anak-anakku yang saat ini bersekolah di SMP dan di SD tidak pernah sama sekali menerima baik dana bos maupun dana sumbangan bagi siswa miskin. Padahal aku telah melampirkan persyaratan yang harus dipenuhi yaitu KK, KTP, dan rapor anak-anakku. Namun meskipun begitu, aku yakin Allah tetap akan membuka rezekiku walau bukan dari pintu yang ini. Ternyata pengurus serikat sangat heran dengan data-data yang ku dapat, apalagi Tari ketua LKM kami, dia sampai bertanya darimana aku mendapat data-data itu. Aku langsung bilang dengan bangga \u201caku mendatanya dari rumah ke rumah\u201d. Aku berharap usulan ini diterima dan kami mendapat JKN itu.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaan lainnya semenjak aku ikut Pekka dan sepulangnya dari Fornas Pekka di Jakarta, aku akhirnya dapat mengikuti musrenbang. Ketika itu musrenbang dilaksanakan pada tanggal 05 Januari 2014. Dalam musrenbang, aku mengusulkan agar listrik masuk ke dusunku (Dusun Camming, Desa Mattiro Bulu, Kecamatan Libureng), dan aku juga mengusulkan agar jalan menuju kampungku diperbaiki serta ada sumbangan bahan bangun untuk mesjid di atas tanah yang almarhum adikku hibahkan kepadaku. Aku senang, salah satu usulku mendapatkan respon yang positif. Setidaknya aku sekarang melihat ada tiang listrik di dusunku. Semoga listrik masuk dusun ini segera terlaksana.<\/p>\n\n\n\n
Setelah Fornas PEKKA dan musrenbang itu, aku semakin dikenal orang. Aku diundang diacara pengajian di desa dan di dusun Lappa data. Dikeduanya aku diberi amplop. Aku sangat senang sekali, di dalam amplop itu ada uang yang isinya Rp 50.000,- berarti dengan dua amplop yang terkumpul aku mendapatkan uang Rp 100.000,-. Ternyata jika kita menjalankan semuanya dengan penuh keikhlasan maka balasan dari Allah pun akan sangat melimpah. Itu yang kini menjadi hal yang akan terus aku pegang. Setelah dua acara tersebut aku juga diundang untuk menjadi pembaca ayat suci al-qur\u2019an di acara Maulid Nabi di kantor kecamatan. Dan aku akan mempersiapkan diri sebaik mungkin.<\/p>\n\n\n\n
Namun dari semua kebahagiaan yang ada, ada hal yang amat sangat membuat aku luar biasa bahagia, yang membuatku terharu dan mengucap syukur nikmat atas semua yang diberikan Allah SWT. Pada tanggal 15 Desember 2013, anak pertamaku Fatimah di wisuda dengan predikat cumlaude dan sekarang bekerja menjadi guru di yayasan pendidikan di Makassar. Anak keduaku naik kelas ke kelas 3 SMP dan anak bungsuku naik kelas ke kelas 2 SD. Aku merasa berhasil, menjadi orang tua tunggal tidak menghalangi aku untuk menyekolahkan anak-anakku sampai perguruan tinggi, asalkan aku tetap berdo\u2019a dan berusaha, insyaallah semua cobaan itu dapat kulewati dan menghasilkan kebahagiaan yang luar biasa.<\/p>\n","post_title":"Menjadi Buruh Tebu Demi Pendidikan Anak","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"menjadi-buruh-tebu-demi-pendidikan-anak","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-24 03:40:25","post_modified_gmt":"2021-02-24 03:40:25","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1649","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1612,"post_author":"4","post_date":"2021-02-04 09:19:12","post_date_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content":"\n
2003 silam kembali kuingat. Kala itu kehidupan rumah tangga kita cukup harmonis. Kita dikarunia 7 orang anak yang sangat manis. Saat itu usia mereka masih belia. Yang paling kecil baru berusia 1 tahun. Dan aku termasuk perempuan yang subur sehingga jedah usia antara anak yang satu dengan yang lain hanya 1-2 tahun.<\/p>\n\n\n\n
Suami bekerja sebagai petani. Kami memiliki satu petak sawah untuk sumber penghasilan. Sesekali kubantu suami di sawah. Karena aku juga membantu mencari nafkah sebagai penjual jamu tradisional. Itupun kadang-kadang kulakukan disela-sela kesibukanku sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi anak-anak di rumah.<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan rumah tanggaku tidak semulus yang kubayangkan. Sejak menikah suamiku sudah berkali-kali bermain perempuan bahkan sempat beberapa kali menikah dengan perempuan lain. Aku masih menerimannya walaupun terkadang dia datang sebulan sekali tanpa memberi nafkah lahiriah.<\/p>\n\n\n\n
Kukorbankan sekolah ke 4 anak tertuaku. Mereka tak melanjutkan sekolah. Mereka hanya mengenyam pendidikan sampai SD dan SMP. Ini semua terkendala biaya. Karena jaman dulu belum ada bantuan PKH seperti sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Mereka kecil bekerja di sawah. Bapaknya sibuk dengan perempuan lain.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya Bom waktu itu meledak. Tepat tahun 2003 aku menggugat cerai. Kali ini perbuatannya diluar batas kesabaranku. Aku tak diberi harta gono gini sedikitpun. Padahal rumah dan sawah adalah hasil dari usaha kami berdua.<\/p>\n\n\n\n
Oh..... sungguh kejam kalian....<\/p>\n\n\n\n
Maemunah namanya. Teman makan sepiring berdua. Teman curhatku bila ada masalah, teman berbagi suka dan duka. Statusnyapun janda beranak 1.<\/p>\n\n\n\n
B\u00e8gitu akrabnya kami, terkadang Maemunah sering kuajak nginap di rumah. Sambil membantuku membuat jamu. Dan aku memberinya upah seala kadarnya.<\/p>\n\n\n\n
Saat itu posisi suamiku sudah bercerai dengan istri -istri gelapnya.<\/p>\n\n\n\n
Sore itu sepulang aku dari menjual jamu.<\/p>\n\n\n\n
Aku dikejutkan oleh keberadaan suamiku dan Maemunah didalam kamarku. Aku marah. Aku menangis sejadi-jadinya. Dunia gelap kurasakan. Tak ada daya lagi. Tulangku remuk. Aku hacur....<\/p>\n\n\n\n
Aku membawa ke 7 anak-anakku. Aku keluar dari rumah menuju desa Donggobolo tempat tinggalku sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Aku diberi tumpangan rumah sederhana oleh saudaraku.<\/p>\n\n\n\n
Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Bulek Jamu adalah panggilan akrabnya. Karena setiap hari Sri Juariyah berjualan jamu,berkeliling dari satu dusun ke dusun lain.Dengan sepeda mininya ibu 4 orang anak ini mencari nafkah, karena sang suami mengalami gangguan jiwa semenjak anak-anaknya masih kecil. Dari berjualan jamu bulek Sri membiayai hidupnya bersama suami, yang harus setiap bulan kontrol penyakit dan membeli obat penenang agar suaminya tidak mudah marah dan mengamuk. <\/p>\n\n\n\n
Penghasilan yang tidak pasti, \"kadang kalau ramai yang beli dapet Rp. 50.000,-,kadang juga hanya Rp. 25.000 \u2013 Rp. 30.000,-\",ceritanya pada kami saat pertemuan kelompok. Namun semenjak suaminya terdeteksi sakit paru-paru dan harus dirawat di Puskesmas,bulek Jamu belum berjualan. Pasca lebaran hingga sekarang. Tiga orang anaknya sudah berkeluarga,sementara sibungsu sudah bekerja, sehingga bisa membantu kebutuhan ekonomi keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Hidup yang pas-pasan, dengan keserhanaan bulek Jamu juga menjadi anggota Majelis Taklim,mengikuti pengajian setiap hari Sabtu. Bulek Jamu ingin suaminya segera membaik dari sakit paru-paru, agar ia bisa kembali berjualan jamu. Karena banyak anak-anak dan pelanggan jamunya menunggu bulek Jamu berjualan.<\/p>\n\n\n\n
Sebenarnya bulek Jamu ingin sekali memiliki sepeda baru, \"sepedaku ini sering rusak Kar, bisakah kamu usahakan supaya aku dapat bantuan sepeda mini baru', pernah suatu hari ia berkata kepadaku. Namun usaha pendataan dan pendaftaran ke UMKM Kubu Raya, belum membuahkan hasil, karena nama bu Sri Juariyah tidak termasuk kedalam penerima bantuan UMKM. Dengan tulisan ini besar harapan ada donatur yang mau bersedekah, supaya bu Sri bisa mewujudkan mimpi, memiliki sepeda mini baru.<\/p>\n\n\n\n
Jangan pernah lagi berkata \u201cJangan tanamkan harapan yang luas pada kenyataan yang terbatas\u201d. Karena kita punya Allah SWT yang memungkinkan kemustahilan, mengganti keresahan dengan ketenangan, mengganti ketidakmungkinan dengan harapan. Selama kita terus berdo\u2019a dan berikhtiar, bersama-Nya... Tak ada jalan buntu.<\/em><\/p>\n\n\n\n
Namaku Hasmiaty, usiaku 48 tahun. Aku anak pertama dari 7 (tujuh) bersaudara dari pasangan Andi Abdul Rasyid dan Andi Siti Hawa. Ketika aku berusia 13 tahun, ibuku meninggal dunia. Selang waktu tak berapa lama dari kematian ibuku, aku harus berpisah dengan adik-adikku untuk melanjutkan sekolahku. Aku lulus SMA di tahun 1987.<\/p>\n\n\n\n
Setelah lulus SMA perjalanan hidupku yang sesungguhnya pun dimulai. Aku pergi ke Provinsi Sulawesi Tenggara untuk mencari pekerjaan. Namun ternyata, disana harapaku belum terjawab. Kemudian kulanjutkan petualanganku ke Kalimantan Timur, di sini pun aku tak jua menemukan pekerjaan. Kulanjutkan perjalanan ke Tarakan, Kalimantan Utara. Lama sekali aku berkeliling di tempat ini, sampai akhirnya aku diterima bekerja di CV. Hawa. Aku tak lama bekerja di sana, hanya 3 (bulan) karena aku menikah dengan seorang pria, seorang pria yang sebetulnya aku tak tahu sama sekali asal-usulnya.<\/p>\n\n\n\n
Di bulan ketiga pernikahanku, aku hamil. Aku sangat senang akan memiliki seorang anak. Namun, rasa senang ini kemudian terusik dengan kepedihan yang luar biasa, di kehamilanku yang menginjak 4 (empat) bulan, suamiku berselingkuh dengan wanita lain. Pilihan yang tersisa bagiku hanyalah mundur dari bahtera rumah tangga yang sudah kami berdua bangun beberapa waktu itu dan mengubur dalam-dalam semua yang telah kami lalui bersama. Aku memutuskan kembali ke Bone.<\/p>\n\n\n\n
5 (lima) bulan kemudian aku melahirkan putri pertamaku Fatimah. Ketika itu rasa bahagia yang teramat luar biasa mengalir deras dihatiku, \u201cAku menjadi seorang ibu!!!\u201d. Walau memang tetap kurasa sakit yang mendalam karena perselingkuhan suamiku.<\/p>\n\n\n\n
Sebulan setelah melahirkan, aku mendapatkan surat dari pamanku. Dalam surat itu pamanku berkata, \u201cSabarki nak, suamimu telah menikah lagi dengan perempuan lain. Uruslah anakmu sebaik-baiknya, sampai dia menjadi anak yang berguna\u201d. Saat membaca surat itu, hatiku hancur. Sakit sekali kurasa. Dan sampai saat ini, hatiku sakit jika teringat hal itu.<\/p>\n\n\n\n
Ketika Fatimah berumur 3 (tiga) tahun, dia menanyakan ayahnya \u201cUmmi, dimana ayahku? Semua orang ada ayahnya yang menggendongnya\u201d. Kupeluk erat-erat Fatimah, kucium wajah mungilnya sambil berkata, \u201cayahmu sudah meninggal, janga ditanyakan lagi. Sabar ya, nak\u201d. Dalam hatiku menangis.<\/p>\n\n\n\n
Setelah berusia 7 (tujuh) tahun, Fatimah tahu ayahnya masih hidup dari cerita tetanggaku. Ketika itu Fatimah sangat marah kepadaku, \u201cUmmi bohong pada saya, ternyata ayah masih hidup. Mengapa Ummi berbohong kepada saya, sementara Ummi meminta saya untuk selalu jujur?\u201d. Aku menangis dan memeluk Fatimah, kubisikan padanya \u201cAyahmu memang masih hidup, tapi di mata Ummi ayahmu sudah meninggal. Karena tidak mungkin seorang ayah masih hidup jika dia tidak mencari anak isterinya\u201d. Fatimah kecil tertegun, kemudian dia berkata \u201cUmmi, kalau begitu ayah memang sudah meninggal. Dan Ummi, tolong jangan tinggalkan saya\u201d. Fatimah memeluk erat tubuhku sambil menangis. Perih sekali hatiku ketika itu dan aku bertekad akan membesarkan Fatimah sampai dia benar-benar menjadi seseorang yang berguna. Aku terus bertawakal kepada Allah.<\/p>\n\n\n\n
Di tahun 1999 aku menikah lagi. Sama dengan pernikahanku yang pertama, aku menikah dengan lelaki yang tak kukenal sebelumnya. Aku menikah secara agama. Namun yang jelas, dalam benakku hanya berkata, pria ini adalah suamiku dan aku harus memposisikan diri sebagai isteri yang patuh terhadap suami. Dari pernikahan kedua ini, aku dikaruniai 2 (orang) anak laki-laki, Ulil dan Ihwal.<\/p>\n\n\n\n
Ketika Ulil berusia 6 (enam) tahun dan Ihwal berusia 7 (tujuh) bulan, suamiku meninggal. Aku berpikir betapa pahitnya hidupku. Namun aku harus tetap kuat di hadapan anak-anakku, aku tidak boleh lemah menghadapi cobaan ini dan aku harus terus bertawakal dan be\u2019do'a kepada-Nya serta terus berikhtiar untuk melanjutkan kehidupanku beserta ketiga anak-anakku.<\/p>\n\n\n\n
Cobaan pun datang bertubi-tubi, 3 (tiga) tahun setelah suamiku meninggal, adikku meninggal, disusul dengan ayah dan adikku yang satunya lagi. Kejadian ini dialami selama 2 (dua) tahun berturut-turut. Namun aku tetap terus bertawakal kepada Allah dan menerima cobaan serta ujian hidup ini.<\/p>\n\n\n\n
Aku bekerja ganda, sebagai Ibu sekaligus mencari nafkah sebagai buruh perkebunan tebu dan menjadi guru di TPA dengan gaji yang sangat kecil. Hal ini kulakukan demi keberlangsungan sekolah anak-anakku. Sungguh lelah kurasa, namun aku percaya lelah ini akan menghasilkan kebahagiaan. Fatimah anak pertamaku ternyata merasa gelisah untuk hal ini. Ketika lulus SD, dia tidak ingin melanjutkan sekolah dan ingin bekerja, begitu seterusnya sampai dia lulus SMA, alasannya adalah darimana aku akan mendapatkan uang untuk menyekolahkan dia. Aku memberikan cerita hidupku kepadanya, ku yakin apa yang kualami ini akan mengalirkan semangat Fatimah untuk tetap melanjutkan sekolah. Aku berkata padanya, \u201cNak, lihat Ummi. Ummi lulusan SMA, tapi Ummi tidak menjadi apa-apa. Ummi hanya menjadi buruh lepas. Apakah kamu ingin hidup seperti Ummi? Ummi ingin kamu maju, jangan seperti Ummi. Ummi ingin kehidupanmu lebih baik dari Ummi dan mendapatkan pekerjaan yang layak\u201d. Hati anakku pun tergerak, dia kemudian tetap melanjutkan kuliah di STAIN di Kecamatan Kajuara sambil bekerja sebagai honorer di salah satu yayasan pendidikan di Makassar.<\/p>\n\n\n\n
Pada tanggal 22 Oktober 2012, Mbak Nunung dari Pekka datang ke Camming, daerah dimana tempatku tinggal saat ini. Aku sangat tertarik dengan Pekka. Bagiku, program ini sangatlah bagus karena berbeda dengan program dari organisasi-organisasi yang pernah aku ikuti, dan dibentuklah kelompok yang kami beri nama Mattiro Bulu (Melihat dari atas gunung). Dengan adanya Pekka aku mulai bangkit. Semangatku tumbuh kembali. Bersama Pekka, aku merasa beban hidupku berangsur-angsur berkurang. Kesedihanku sedikit terlupakan. Hal ini karena aku selalu mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan Pekka dimana aku bertemu banyak orang dan banyak ilmu yang kudapat dasri Pekka.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaanku ini bertambah, karena izin Allah aku kemudian mendapatkan kesempatan untuk mengikuti fornas di Jakarta. Aku sangat senang, aku mengunjungi kementerian koordinator bidang kesejahteraan rakyat yang sebelumnya tak pernah kubayangkan. Betapa terharunya ketika ku teringat duduk di forum bersama teman-teman dari 19 provinsi di Indonesia. Photo fornas dengan memakai kaos seragam wilayah yang kudapat, kuperbesar menjadi 10 R dan kupajang di dinding rumahku. Ketika melihat photo itu, aku menangis terharu, mengingat setiap moment yang ada ketika itu. Dan photo itu mengalirkan semangat dalam hidupku.<\/p>\n\n\n\n
Setelah fornas, hidupku mulai berubah. Percaya diriku bertambah. Ketika akan dilaksanakan pelayanan terpadu satu atap di kecamatanku Libureng. Aku dan teman-teman pengurus serikat mendata dari rumah ke rumah. Teman-temanku memberikan pelajaran baru bagiku. Aku harus memiliki keberanian. Dan pelayanan terpadu satu atap ini pun berlangsung, ketika itu tanggal 4 Desember 2013.<\/p>\n\n\n\n
Setelah kegiatan itu usai, aku mendapatkan tugas lain. Aku mendapatkan sms untuk mendata siapa saja yang tidak memiliki jamkesmas atau jamkesda. Aku mendata dari rumah ke rumah dan ketika itu juga langsung saja namaku dan nama anak-anakku kucantumkan, karena selama ini aku dan anak-anakku tidak dapat mengakses program itu. Kupikir aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Mengingat tidak hanya jamkesmas saja yang tak kudapat tetapi juga anak-anakku yang saat ini bersekolah di SMP dan di SD tidak pernah sama sekali menerima baik dana bos maupun dana sumbangan bagi siswa miskin. Padahal aku telah melampirkan persyaratan yang harus dipenuhi yaitu KK, KTP, dan rapor anak-anakku. Namun meskipun begitu, aku yakin Allah tetap akan membuka rezekiku walau bukan dari pintu yang ini. Ternyata pengurus serikat sangat heran dengan data-data yang ku dapat, apalagi Tari ketua LKM kami, dia sampai bertanya darimana aku mendapat data-data itu. Aku langsung bilang dengan bangga \u201caku mendatanya dari rumah ke rumah\u201d. Aku berharap usulan ini diterima dan kami mendapat JKN itu.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaan lainnya semenjak aku ikut Pekka dan sepulangnya dari Fornas Pekka di Jakarta, aku akhirnya dapat mengikuti musrenbang. Ketika itu musrenbang dilaksanakan pada tanggal 05 Januari 2014. Dalam musrenbang, aku mengusulkan agar listrik masuk ke dusunku (Dusun Camming, Desa Mattiro Bulu, Kecamatan Libureng), dan aku juga mengusulkan agar jalan menuju kampungku diperbaiki serta ada sumbangan bahan bangun untuk mesjid di atas tanah yang almarhum adikku hibahkan kepadaku. Aku senang, salah satu usulku mendapatkan respon yang positif. Setidaknya aku sekarang melihat ada tiang listrik di dusunku. Semoga listrik masuk dusun ini segera terlaksana.<\/p>\n\n\n\n
Setelah Fornas PEKKA dan musrenbang itu, aku semakin dikenal orang. Aku diundang diacara pengajian di desa dan di dusun Lappa data. Dikeduanya aku diberi amplop. Aku sangat senang sekali, di dalam amplop itu ada uang yang isinya Rp 50.000,- berarti dengan dua amplop yang terkumpul aku mendapatkan uang Rp 100.000,-. Ternyata jika kita menjalankan semuanya dengan penuh keikhlasan maka balasan dari Allah pun akan sangat melimpah. Itu yang kini menjadi hal yang akan terus aku pegang. Setelah dua acara tersebut aku juga diundang untuk menjadi pembaca ayat suci al-qur\u2019an di acara Maulid Nabi di kantor kecamatan. Dan aku akan mempersiapkan diri sebaik mungkin.<\/p>\n\n\n\n
Namun dari semua kebahagiaan yang ada, ada hal yang amat sangat membuat aku luar biasa bahagia, yang membuatku terharu dan mengucap syukur nikmat atas semua yang diberikan Allah SWT. Pada tanggal 15 Desember 2013, anak pertamaku Fatimah di wisuda dengan predikat cumlaude dan sekarang bekerja menjadi guru di yayasan pendidikan di Makassar. Anak keduaku naik kelas ke kelas 3 SMP dan anak bungsuku naik kelas ke kelas 2 SD. Aku merasa berhasil, menjadi orang tua tunggal tidak menghalangi aku untuk menyekolahkan anak-anakku sampai perguruan tinggi, asalkan aku tetap berdo\u2019a dan berusaha, insyaallah semua cobaan itu dapat kulewati dan menghasilkan kebahagiaan yang luar biasa.<\/p>\n","post_title":"Menjadi Buruh Tebu Demi Pendidikan Anak","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"menjadi-buruh-tebu-demi-pendidikan-anak","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-24 03:40:25","post_modified_gmt":"2021-02-24 03:40:25","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1649","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1612,"post_author":"4","post_date":"2021-02-04 09:19:12","post_date_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content":"\n
2003 silam kembali kuingat. Kala itu kehidupan rumah tangga kita cukup harmonis. Kita dikarunia 7 orang anak yang sangat manis. Saat itu usia mereka masih belia. Yang paling kecil baru berusia 1 tahun. Dan aku termasuk perempuan yang subur sehingga jedah usia antara anak yang satu dengan yang lain hanya 1-2 tahun.<\/p>\n\n\n\n
Suami bekerja sebagai petani. Kami memiliki satu petak sawah untuk sumber penghasilan. Sesekali kubantu suami di sawah. Karena aku juga membantu mencari nafkah sebagai penjual jamu tradisional. Itupun kadang-kadang kulakukan disela-sela kesibukanku sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi anak-anak di rumah.<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan rumah tanggaku tidak semulus yang kubayangkan. Sejak menikah suamiku sudah berkali-kali bermain perempuan bahkan sempat beberapa kali menikah dengan perempuan lain. Aku masih menerimannya walaupun terkadang dia datang sebulan sekali tanpa memberi nafkah lahiriah.<\/p>\n\n\n\n
Kukorbankan sekolah ke 4 anak tertuaku. Mereka tak melanjutkan sekolah. Mereka hanya mengenyam pendidikan sampai SD dan SMP. Ini semua terkendala biaya. Karena jaman dulu belum ada bantuan PKH seperti sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Mereka kecil bekerja di sawah. Bapaknya sibuk dengan perempuan lain.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya Bom waktu itu meledak. Tepat tahun 2003 aku menggugat cerai. Kali ini perbuatannya diluar batas kesabaranku. Aku tak diberi harta gono gini sedikitpun. Padahal rumah dan sawah adalah hasil dari usaha kami berdua.<\/p>\n\n\n\n
Oh..... sungguh kejam kalian....<\/p>\n\n\n\n
Maemunah namanya. Teman makan sepiring berdua. Teman curhatku bila ada masalah, teman berbagi suka dan duka. Statusnyapun janda beranak 1.<\/p>\n\n\n\n
B\u00e8gitu akrabnya kami, terkadang Maemunah sering kuajak nginap di rumah. Sambil membantuku membuat jamu. Dan aku memberinya upah seala kadarnya.<\/p>\n\n\n\n
Saat itu posisi suamiku sudah bercerai dengan istri -istri gelapnya.<\/p>\n\n\n\n
Sore itu sepulang aku dari menjual jamu.<\/p>\n\n\n\n
Aku dikejutkan oleh keberadaan suamiku dan Maemunah didalam kamarku. Aku marah. Aku menangis sejadi-jadinya. Dunia gelap kurasakan. Tak ada daya lagi. Tulangku remuk. Aku hacur....<\/p>\n\n\n\n
Aku membawa ke 7 anak-anakku. Aku keluar dari rumah menuju desa Donggobolo tempat tinggalku sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Aku diberi tumpangan rumah sederhana oleh saudaraku.<\/p>\n\n\n\n
Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};
Sri Juariyah, kelahiran Lampung 1959 adalah anggota kelompok Pekka Mawar Dusun Cenderawasih Kecamatan Sungai Kakap Kalbar. Bergabung di Pekka sejak 12 September 2012,alasan beliau bergabung di kelompok karena ingin menambah teman, ilmu, wawasan dan mendapatkan manfaat dari kegiatan di kelompok Pekka. Karena setelah bergabung di Pekka, ia bisa meminjam uang di kelompok sebagai modal usaha jualan Jamunya.<\/p>\n\n\n\n
Bulek Jamu adalah panggilan akrabnya. Karena setiap hari Sri Juariyah berjualan jamu,berkeliling dari satu dusun ke dusun lain.Dengan sepeda mininya ibu 4 orang anak ini mencari nafkah, karena sang suami mengalami gangguan jiwa semenjak anak-anaknya masih kecil. Dari berjualan jamu bulek Sri membiayai hidupnya bersama suami, yang harus setiap bulan kontrol penyakit dan membeli obat penenang agar suaminya tidak mudah marah dan mengamuk. <\/p>\n\n\n\n
Penghasilan yang tidak pasti, \"kadang kalau ramai yang beli dapet Rp. 50.000,-,kadang juga hanya Rp. 25.000 \u2013 Rp. 30.000,-\",ceritanya pada kami saat pertemuan kelompok. Namun semenjak suaminya terdeteksi sakit paru-paru dan harus dirawat di Puskesmas,bulek Jamu belum berjualan. Pasca lebaran hingga sekarang. Tiga orang anaknya sudah berkeluarga,sementara sibungsu sudah bekerja, sehingga bisa membantu kebutuhan ekonomi keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Hidup yang pas-pasan, dengan keserhanaan bulek Jamu juga menjadi anggota Majelis Taklim,mengikuti pengajian setiap hari Sabtu. Bulek Jamu ingin suaminya segera membaik dari sakit paru-paru, agar ia bisa kembali berjualan jamu. Karena banyak anak-anak dan pelanggan jamunya menunggu bulek Jamu berjualan.<\/p>\n\n\n\n
Sebenarnya bulek Jamu ingin sekali memiliki sepeda baru, \"sepedaku ini sering rusak Kar, bisakah kamu usahakan supaya aku dapat bantuan sepeda mini baru', pernah suatu hari ia berkata kepadaku. Namun usaha pendataan dan pendaftaran ke UMKM Kubu Raya, belum membuahkan hasil, karena nama bu Sri Juariyah tidak termasuk kedalam penerima bantuan UMKM. Dengan tulisan ini besar harapan ada donatur yang mau bersedekah, supaya bu Sri bisa mewujudkan mimpi, memiliki sepeda mini baru.<\/p>\n\n\n\n
Jangan pernah lagi berkata \u201cJangan tanamkan harapan yang luas pada kenyataan yang terbatas\u201d. Karena kita punya Allah SWT yang memungkinkan kemustahilan, mengganti keresahan dengan ketenangan, mengganti ketidakmungkinan dengan harapan. Selama kita terus berdo\u2019a dan berikhtiar, bersama-Nya... Tak ada jalan buntu.<\/em><\/p>\n\n\n\n
Namaku Hasmiaty, usiaku 48 tahun. Aku anak pertama dari 7 (tujuh) bersaudara dari pasangan Andi Abdul Rasyid dan Andi Siti Hawa. Ketika aku berusia 13 tahun, ibuku meninggal dunia. Selang waktu tak berapa lama dari kematian ibuku, aku harus berpisah dengan adik-adikku untuk melanjutkan sekolahku. Aku lulus SMA di tahun 1987.<\/p>\n\n\n\n
Setelah lulus SMA perjalanan hidupku yang sesungguhnya pun dimulai. Aku pergi ke Provinsi Sulawesi Tenggara untuk mencari pekerjaan. Namun ternyata, disana harapaku belum terjawab. Kemudian kulanjutkan petualanganku ke Kalimantan Timur, di sini pun aku tak jua menemukan pekerjaan. Kulanjutkan perjalanan ke Tarakan, Kalimantan Utara. Lama sekali aku berkeliling di tempat ini, sampai akhirnya aku diterima bekerja di CV. Hawa. Aku tak lama bekerja di sana, hanya 3 (bulan) karena aku menikah dengan seorang pria, seorang pria yang sebetulnya aku tak tahu sama sekali asal-usulnya.<\/p>\n\n\n\n
Di bulan ketiga pernikahanku, aku hamil. Aku sangat senang akan memiliki seorang anak. Namun, rasa senang ini kemudian terusik dengan kepedihan yang luar biasa, di kehamilanku yang menginjak 4 (empat) bulan, suamiku berselingkuh dengan wanita lain. Pilihan yang tersisa bagiku hanyalah mundur dari bahtera rumah tangga yang sudah kami berdua bangun beberapa waktu itu dan mengubur dalam-dalam semua yang telah kami lalui bersama. Aku memutuskan kembali ke Bone.<\/p>\n\n\n\n
5 (lima) bulan kemudian aku melahirkan putri pertamaku Fatimah. Ketika itu rasa bahagia yang teramat luar biasa mengalir deras dihatiku, \u201cAku menjadi seorang ibu!!!\u201d. Walau memang tetap kurasa sakit yang mendalam karena perselingkuhan suamiku.<\/p>\n\n\n\n
Sebulan setelah melahirkan, aku mendapatkan surat dari pamanku. Dalam surat itu pamanku berkata, \u201cSabarki nak, suamimu telah menikah lagi dengan perempuan lain. Uruslah anakmu sebaik-baiknya, sampai dia menjadi anak yang berguna\u201d. Saat membaca surat itu, hatiku hancur. Sakit sekali kurasa. Dan sampai saat ini, hatiku sakit jika teringat hal itu.<\/p>\n\n\n\n
Ketika Fatimah berumur 3 (tiga) tahun, dia menanyakan ayahnya \u201cUmmi, dimana ayahku? Semua orang ada ayahnya yang menggendongnya\u201d. Kupeluk erat-erat Fatimah, kucium wajah mungilnya sambil berkata, \u201cayahmu sudah meninggal, janga ditanyakan lagi. Sabar ya, nak\u201d. Dalam hatiku menangis.<\/p>\n\n\n\n
Setelah berusia 7 (tujuh) tahun, Fatimah tahu ayahnya masih hidup dari cerita tetanggaku. Ketika itu Fatimah sangat marah kepadaku, \u201cUmmi bohong pada saya, ternyata ayah masih hidup. Mengapa Ummi berbohong kepada saya, sementara Ummi meminta saya untuk selalu jujur?\u201d. Aku menangis dan memeluk Fatimah, kubisikan padanya \u201cAyahmu memang masih hidup, tapi di mata Ummi ayahmu sudah meninggal. Karena tidak mungkin seorang ayah masih hidup jika dia tidak mencari anak isterinya\u201d. Fatimah kecil tertegun, kemudian dia berkata \u201cUmmi, kalau begitu ayah memang sudah meninggal. Dan Ummi, tolong jangan tinggalkan saya\u201d. Fatimah memeluk erat tubuhku sambil menangis. Perih sekali hatiku ketika itu dan aku bertekad akan membesarkan Fatimah sampai dia benar-benar menjadi seseorang yang berguna. Aku terus bertawakal kepada Allah.<\/p>\n\n\n\n
Di tahun 1999 aku menikah lagi. Sama dengan pernikahanku yang pertama, aku menikah dengan lelaki yang tak kukenal sebelumnya. Aku menikah secara agama. Namun yang jelas, dalam benakku hanya berkata, pria ini adalah suamiku dan aku harus memposisikan diri sebagai isteri yang patuh terhadap suami. Dari pernikahan kedua ini, aku dikaruniai 2 (orang) anak laki-laki, Ulil dan Ihwal.<\/p>\n\n\n\n
Ketika Ulil berusia 6 (enam) tahun dan Ihwal berusia 7 (tujuh) bulan, suamiku meninggal. Aku berpikir betapa pahitnya hidupku. Namun aku harus tetap kuat di hadapan anak-anakku, aku tidak boleh lemah menghadapi cobaan ini dan aku harus terus bertawakal dan be\u2019do'a kepada-Nya serta terus berikhtiar untuk melanjutkan kehidupanku beserta ketiga anak-anakku.<\/p>\n\n\n\n
Cobaan pun datang bertubi-tubi, 3 (tiga) tahun setelah suamiku meninggal, adikku meninggal, disusul dengan ayah dan adikku yang satunya lagi. Kejadian ini dialami selama 2 (dua) tahun berturut-turut. Namun aku tetap terus bertawakal kepada Allah dan menerima cobaan serta ujian hidup ini.<\/p>\n\n\n\n
Aku bekerja ganda, sebagai Ibu sekaligus mencari nafkah sebagai buruh perkebunan tebu dan menjadi guru di TPA dengan gaji yang sangat kecil. Hal ini kulakukan demi keberlangsungan sekolah anak-anakku. Sungguh lelah kurasa, namun aku percaya lelah ini akan menghasilkan kebahagiaan. Fatimah anak pertamaku ternyata merasa gelisah untuk hal ini. Ketika lulus SD, dia tidak ingin melanjutkan sekolah dan ingin bekerja, begitu seterusnya sampai dia lulus SMA, alasannya adalah darimana aku akan mendapatkan uang untuk menyekolahkan dia. Aku memberikan cerita hidupku kepadanya, ku yakin apa yang kualami ini akan mengalirkan semangat Fatimah untuk tetap melanjutkan sekolah. Aku berkata padanya, \u201cNak, lihat Ummi. Ummi lulusan SMA, tapi Ummi tidak menjadi apa-apa. Ummi hanya menjadi buruh lepas. Apakah kamu ingin hidup seperti Ummi? Ummi ingin kamu maju, jangan seperti Ummi. Ummi ingin kehidupanmu lebih baik dari Ummi dan mendapatkan pekerjaan yang layak\u201d. Hati anakku pun tergerak, dia kemudian tetap melanjutkan kuliah di STAIN di Kecamatan Kajuara sambil bekerja sebagai honorer di salah satu yayasan pendidikan di Makassar.<\/p>\n\n\n\n
Pada tanggal 22 Oktober 2012, Mbak Nunung dari Pekka datang ke Camming, daerah dimana tempatku tinggal saat ini. Aku sangat tertarik dengan Pekka. Bagiku, program ini sangatlah bagus karena berbeda dengan program dari organisasi-organisasi yang pernah aku ikuti, dan dibentuklah kelompok yang kami beri nama Mattiro Bulu (Melihat dari atas gunung). Dengan adanya Pekka aku mulai bangkit. Semangatku tumbuh kembali. Bersama Pekka, aku merasa beban hidupku berangsur-angsur berkurang. Kesedihanku sedikit terlupakan. Hal ini karena aku selalu mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan Pekka dimana aku bertemu banyak orang dan banyak ilmu yang kudapat dasri Pekka.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaanku ini bertambah, karena izin Allah aku kemudian mendapatkan kesempatan untuk mengikuti fornas di Jakarta. Aku sangat senang, aku mengunjungi kementerian koordinator bidang kesejahteraan rakyat yang sebelumnya tak pernah kubayangkan. Betapa terharunya ketika ku teringat duduk di forum bersama teman-teman dari 19 provinsi di Indonesia. Photo fornas dengan memakai kaos seragam wilayah yang kudapat, kuperbesar menjadi 10 R dan kupajang di dinding rumahku. Ketika melihat photo itu, aku menangis terharu, mengingat setiap moment yang ada ketika itu. Dan photo itu mengalirkan semangat dalam hidupku.<\/p>\n\n\n\n
Setelah fornas, hidupku mulai berubah. Percaya diriku bertambah. Ketika akan dilaksanakan pelayanan terpadu satu atap di kecamatanku Libureng. Aku dan teman-teman pengurus serikat mendata dari rumah ke rumah. Teman-temanku memberikan pelajaran baru bagiku. Aku harus memiliki keberanian. Dan pelayanan terpadu satu atap ini pun berlangsung, ketika itu tanggal 4 Desember 2013.<\/p>\n\n\n\n
Setelah kegiatan itu usai, aku mendapatkan tugas lain. Aku mendapatkan sms untuk mendata siapa saja yang tidak memiliki jamkesmas atau jamkesda. Aku mendata dari rumah ke rumah dan ketika itu juga langsung saja namaku dan nama anak-anakku kucantumkan, karena selama ini aku dan anak-anakku tidak dapat mengakses program itu. Kupikir aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Mengingat tidak hanya jamkesmas saja yang tak kudapat tetapi juga anak-anakku yang saat ini bersekolah di SMP dan di SD tidak pernah sama sekali menerima baik dana bos maupun dana sumbangan bagi siswa miskin. Padahal aku telah melampirkan persyaratan yang harus dipenuhi yaitu KK, KTP, dan rapor anak-anakku. Namun meskipun begitu, aku yakin Allah tetap akan membuka rezekiku walau bukan dari pintu yang ini. Ternyata pengurus serikat sangat heran dengan data-data yang ku dapat, apalagi Tari ketua LKM kami, dia sampai bertanya darimana aku mendapat data-data itu. Aku langsung bilang dengan bangga \u201caku mendatanya dari rumah ke rumah\u201d. Aku berharap usulan ini diterima dan kami mendapat JKN itu.<\/p>\n\n\n\n
Kebahagiaan lainnya semenjak aku ikut Pekka dan sepulangnya dari Fornas Pekka di Jakarta, aku akhirnya dapat mengikuti musrenbang. Ketika itu musrenbang dilaksanakan pada tanggal 05 Januari 2014. Dalam musrenbang, aku mengusulkan agar listrik masuk ke dusunku (Dusun Camming, Desa Mattiro Bulu, Kecamatan Libureng), dan aku juga mengusulkan agar jalan menuju kampungku diperbaiki serta ada sumbangan bahan bangun untuk mesjid di atas tanah yang almarhum adikku hibahkan kepadaku. Aku senang, salah satu usulku mendapatkan respon yang positif. Setidaknya aku sekarang melihat ada tiang listrik di dusunku. Semoga listrik masuk dusun ini segera terlaksana.<\/p>\n\n\n\n
Setelah Fornas PEKKA dan musrenbang itu, aku semakin dikenal orang. Aku diundang diacara pengajian di desa dan di dusun Lappa data. Dikeduanya aku diberi amplop. Aku sangat senang sekali, di dalam amplop itu ada uang yang isinya Rp 50.000,- berarti dengan dua amplop yang terkumpul aku mendapatkan uang Rp 100.000,-. Ternyata jika kita menjalankan semuanya dengan penuh keikhlasan maka balasan dari Allah pun akan sangat melimpah. Itu yang kini menjadi hal yang akan terus aku pegang. Setelah dua acara tersebut aku juga diundang untuk menjadi pembaca ayat suci al-qur\u2019an di acara Maulid Nabi di kantor kecamatan. Dan aku akan mempersiapkan diri sebaik mungkin.<\/p>\n\n\n\n
Namun dari semua kebahagiaan yang ada, ada hal yang amat sangat membuat aku luar biasa bahagia, yang membuatku terharu dan mengucap syukur nikmat atas semua yang diberikan Allah SWT. Pada tanggal 15 Desember 2013, anak pertamaku Fatimah di wisuda dengan predikat cumlaude dan sekarang bekerja menjadi guru di yayasan pendidikan di Makassar. Anak keduaku naik kelas ke kelas 3 SMP dan anak bungsuku naik kelas ke kelas 2 SD. Aku merasa berhasil, menjadi orang tua tunggal tidak menghalangi aku untuk menyekolahkan anak-anakku sampai perguruan tinggi, asalkan aku tetap berdo\u2019a dan berusaha, insyaallah semua cobaan itu dapat kulewati dan menghasilkan kebahagiaan yang luar biasa.<\/p>\n","post_title":"Menjadi Buruh Tebu Demi Pendidikan Anak","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"menjadi-buruh-tebu-demi-pendidikan-anak","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-24 03:40:25","post_modified_gmt":"2021-02-24 03:40:25","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1649","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1612,"post_author":"4","post_date":"2021-02-04 09:19:12","post_date_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content":"\n
2003 silam kembali kuingat. Kala itu kehidupan rumah tangga kita cukup harmonis. Kita dikarunia 7 orang anak yang sangat manis. Saat itu usia mereka masih belia. Yang paling kecil baru berusia 1 tahun. Dan aku termasuk perempuan yang subur sehingga jedah usia antara anak yang satu dengan yang lain hanya 1-2 tahun.<\/p>\n\n\n\n
Suami bekerja sebagai petani. Kami memiliki satu petak sawah untuk sumber penghasilan. Sesekali kubantu suami di sawah. Karena aku juga membantu mencari nafkah sebagai penjual jamu tradisional. Itupun kadang-kadang kulakukan disela-sela kesibukanku sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi anak-anak di rumah.<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan rumah tanggaku tidak semulus yang kubayangkan. Sejak menikah suamiku sudah berkali-kali bermain perempuan bahkan sempat beberapa kali menikah dengan perempuan lain. Aku masih menerimannya walaupun terkadang dia datang sebulan sekali tanpa memberi nafkah lahiriah.<\/p>\n\n\n\n
Kukorbankan sekolah ke 4 anak tertuaku. Mereka tak melanjutkan sekolah. Mereka hanya mengenyam pendidikan sampai SD dan SMP. Ini semua terkendala biaya. Karena jaman dulu belum ada bantuan PKH seperti sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Mereka kecil bekerja di sawah. Bapaknya sibuk dengan perempuan lain.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya Bom waktu itu meledak. Tepat tahun 2003 aku menggugat cerai. Kali ini perbuatannya diluar batas kesabaranku. Aku tak diberi harta gono gini sedikitpun. Padahal rumah dan sawah adalah hasil dari usaha kami berdua.<\/p>\n\n\n\n
Oh..... sungguh kejam kalian....<\/p>\n\n\n\n
Maemunah namanya. Teman makan sepiring berdua. Teman curhatku bila ada masalah, teman berbagi suka dan duka. Statusnyapun janda beranak 1.<\/p>\n\n\n\n
B\u00e8gitu akrabnya kami, terkadang Maemunah sering kuajak nginap di rumah. Sambil membantuku membuat jamu. Dan aku memberinya upah seala kadarnya.<\/p>\n\n\n\n
Saat itu posisi suamiku sudah bercerai dengan istri -istri gelapnya.<\/p>\n\n\n\n
Sore itu sepulang aku dari menjual jamu.<\/p>\n\n\n\n
Aku dikejutkan oleh keberadaan suamiku dan Maemunah didalam kamarku. Aku marah. Aku menangis sejadi-jadinya. Dunia gelap kurasakan. Tak ada daya lagi. Tulangku remuk. Aku hacur....<\/p>\n\n\n\n
Aku membawa ke 7 anak-anakku. Aku keluar dari rumah menuju desa Donggobolo tempat tinggalku sekarang.<\/p>\n\n\n\n
Aku diberi tumpangan rumah sederhana oleh saudaraku.<\/p>\n\n\n\n
Disinilah aku memulai hidup baru menjadi tulang punggung keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Paska bercerai....rasanya kesulitan dan kesusahan menjadi teman setia yang menemaniku...<\/p>\n\n\n\n
Pernah suatu hari aku kehabisan beras. Meminjam pada tetangga ga mungkin karena rata -rata mereka telah memberikan pinjaman.<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya malam itu aku dan ke 7 anakku tidut tanpa mengisi perut.<\/p>\n\n\n\n
Keesok harinya aku mulai berbenah diri. Aku tidak mungkin terpuruk terus. Aku pergi kerumah salah satu pemilik empang yang memproduksi garam. Kataku \"aku dan anak-anak ada tenaga untuk menjadi buruh pengangkat garam dari empang ketempat penampungan garam\"<\/p>\n\n\n\n
Akhirnya aku diberi upah sebesar Rp. 75.000,- untuk tenaga 5 orang.( 4 anak+ aku sendiri). Uang yang cukup besar kala itu.<\/p>\n\n\n\n
Hari itu kami bisa membeli beras. Dan mulai saat itu anak-anakku kerap dipanggil memjadi bur\u00f9h garam<\/p>\n\n\n\n
Anak-anak yang besar satupun tidak ada yang sekolah. Mereka membantuku berjualan garam pada musim garam. Berjualan mangga pada musim mangga, berjualan jamu mete pada musim jamu mete. Dan menjadi buruh tani maupun buruh garam. Pekerjaan serabutanpun diambil.<\/p>\n\n\n\n
Dan bila tidak bermusim aku menjadi penjual jamu tradisional racikanku. Aku berkeliling desa.<\/p>\n\n\n\n
Dan akhirnya 3 bulan lalu aku telah menyelesaikan tugasku sebagai seorang ibu kepala keluarga.<\/p>\n\n\n\n
Anakku yang bontot telah menikah. Sehingga ke 7 anakku semuannya telah berumah tangga..<\/p>\n\n\n\n
Kehidupan terus berjalan... suka duka adalah tangga menuju perbaikan diri.<\/p>\n\n\n\n
Bima 010220<\/p>\n","post_title":"Aku Ditikam dari Belakang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"aku-ditikam-dari-belakang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-02-04 09:19:12","post_modified_gmt":"2021-02-04 09:19:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1612","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1593,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 09:15:47","post_date_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content":"\n
Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.<\/p>\n\n\n\n
Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.<\/p>\n\n\n\n
Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang \u2018panjar\u2019. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.<\/p>\n\n\n\n
Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya, Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.<\/p>\n\n\n\n
Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.<\/p>\n\n\n\n
Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.<\/p>\n\n\n\n
Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.<\/p>\n\n\n\n
Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5x7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian\u00a0 masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah. <\/p>\n","post_title":"Keputusan Sidang Tak bermakna","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"keputusan-sidang-tak-bermakna","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 09:15:47","post_modified_gmt":"2021-01-20 09:15:47","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1593","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1590,"post_author":"4","post_date":"2021-01-20 08:17:24","post_date_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content":"\n
Nama saya Mariana, umur 30 tahun dan menetap di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Saya menikah saat berusia 22 tahun dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri. Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah di Kota Bau bau. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan dan saya terkadang sekali-kali berdagang di pasar. Namun saat saya hamil dua bulan, hubungan saya dan suami menjadi tidak harmonis.<\/p>\n\n\n\n
Berawal dari suami jarang pulang dan main perempuan, hubungan saya dan suami diwarnai pertengkaran, ditambah lagi suami mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kehamilan saya. Meski demikian saya mencoba bersabar, dan berupaya supaya suami mau pulang ke rumah. Tidak mudah untuk suami mau pulang ke rumah ada persyaratannya yaitu suami minta dibelikan sepeda motor. Dengan alasan supaya bisa sambil ngojeg kalau sedang tidak ada pekerjaan bangunan. Saya penuhi permintaan suami dengan cara ambil kredit sepeda motor.<\/p>\n\n\n\n
Ternyata setelah punya sepeda motor sikap suami bertambah parah. Pulang ke rumah semakin jarang dan motor lecet-lecet ternyata kata tetangga motor itu dipakai mengajar seorang perempuan mengendarai motor. Saya benar-benar terpukul ibarat \u201csudah jatuh ketiban tangga lagi\u201d. Apalagi ketika mendengar bahwa suami menikah dengan perempuan itu. Dalam kondisi saya sedang sedang tidak berdaya mau melahirkan bertaruh antara hidup dan mati. Sudah dua hari dua malam di rumah sakit suami baru nongol itupun karena didesak oleh mertua. Isterinya yang baru sangat marah, datang ke rumah sakit setelah terjadi pertengkaran dengan isteri barunya. Suami hanya datang sebentar membawa uang Rp.500.000,- langsung pergi lagi.<\/p>\n\n\n\n
Setelah melahirkan, saya pulang ke Mawasangka dan menetap di rumah orang tua, merawat ayah saya yang sakit stroke dan anak laki-laki saya. Untuk menghidupi orang tua, diri saya sendiri dan anak, saya bekerja sebagai guru TK. Saat ini genap 6 tahun suami tinggal dengan istri baru dan anak tirinya. Kata suami saya \u201dYang penting saya kirim uang, nanti saya pulang\u201d. Bukan nilai uang saja, saya butuh kasih sayang juga. Makin hari makin tidak karuan mental saya, tambah pusing, bahkan saya pernah sakit sampai hilang ingatan, karena suami hanya janji-janji, kalaupun datang, datang hanya sebentar padahal saya menunggu tahunan. Suami tidak pulang, tidak mengirim uang juga.<\/p>\n\n\n\n
Enam tahun lebih saya bertahan meski tersiksa, saya beranikan diri menanyakan pada suami mana keadilanmu selama ini? Suami tetap tidak menghiraukan saya. Baru setelah tahu dari format gugat cerai dan yang saya buat telah dikirim ke pengadilan. Suami meminta \u201cJangan gugat cerai\u201d. \u201cYa sudah kalau begitu kamu bayar 30 juta sebagai ganti nafkah saya selama ini\u201d kata saya, \u201cBisa tidak turun 25 jt?, Oh kau sudah pintar ini\u201d kata suami saya. Suatu hari suami saya datang membawa uang 5 juta, namun uang tersebut tidak diberikan pada saya. Suami hanya memberikan Rp.200.000,- kepada orang tua saya. Ketidak seriusan suami saya semakin terlihat.<\/p>\n\n\n\n
Meski demikian saya mencoba lagi bersabar dan memberikan kesempatan pada suami, saya meminta suami untuk bertangungjawab memberi nafkah. Pada suatu waktu suami saya memberi nafkah yaitu membelikan 1 krat telor dan satu dus Mie Instan. Eh rupanya Istri barunya membuntuti. Ketika saya mau naik ojeg, Mie dan Telor dia rebut sambil bilang \u201cKamu tidak berhak dapat ini\u201d. Spontan saya teriak \u201cMaling...!\u201d. Orang-orang pada berdatangan. Sempat terjadi pertengkaran, akhirnya dia malu sendiri lalu pergi.<\/p>\n\n\n\n
Tidak begitu lama dari kejadian itu suami saya meminta dikirim uang dan bilang, \u201cSaya mau pulang, tapi minta dijemput. Kalau tidak mau jemput, kamu kirim uang untuk ongkos saya pulang\u201d. Pikir saya kalau mau pulang ya pulang saja sendiri kenapa harus pakai dijemput segala. Membuat saya menjadi semakin pusing, suami mau enaknya sendiri. Saya selama ini diterlantarkan tapi tidak mau juga menceraikan saya. Dengan pernyataan dia mau pulang, hati kecil saya terbersit itu bukan pulang yang tulus. Hari-hari pahit menanti kepulangan suami sudah cukup bagi saya. Saat itu juga saya jawab, tidak usah pulang karena saya baru saja dari Pengadilan Agama mendaftarkan gugatan cerai. Mendengar bahwa saya melakukan gugat cerai, suami sayapun terdiam. Gugat cerai sudah menjadi tekad bulat bagi saya.<\/p>\n\n\n\n
Karena saya seorang perempuan kepala keluarga, sudah satu tahun saya bergabung menjadi angota Pekka. Melalui Pekka saya ketahui bagaimana cara mengajukan gugatan cerai dan persyaratan apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengurus gugatan cerai saya. Melalui Pekka juga saya tahu bahwa saat ini pemerintah menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin yang berperkara di pengadilan melalui Prodeo, yaitu berperkara secara cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara di pengadilan.<\/p>\n\n\n\n
Dengan memberanikan diri saya berangkat menuju Pengadilan Agama Buton ditemani oleh seorang teman saya, seorang kader Pekka. Kedatangan saya ke pengadilan sempat mendapat respon kurang baik dari salah seorang staf PA yang mengatakan \u201cKamu itu ngurus prodeo nggak layak, itu punya HP dan pakaian kamu juga bukan orang yang tidak mampu\u201d. Saya langsung jawab \u201cJangan melihat dari penampilannya saya. Saya berhak atas prodeo, saya ini anggota Pekka yang diterlantarkan oleh suami dan dari soal pakaian saya, masa saya datang ke kantor menghadap bapak harus berpakaian compang camping?. Karena saya menghormati bapak, sebaik mungkin saya berpakaian saat datang ke sini. Dan mengenai HP, sekarang sudah bukan menjadi kebutuhan semua orang pak, termasuk saya butuh alat komunikasi. Salah satunya saya bisa berkomunikasi dengan orang lain selama mengurus gugat cerai nanti\u201d. Saya kemudian mendapatkan prodeo.<\/p>\n\n\n\n
Alhamdulillah setelah mengikuti beberapa kali persidangan, pada tanggal 28 Desember 2010 putusan cerai yang selama ini saya perjuangkan berhasil, terimakasih prodeo dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya. Dampak positif dan sekaligus tantangan dari berhasilnya saya mengakses prodeo, beberapa teman saya sesama anggota Pekka yang selama ini tidak mampu mengurus gugatan cerai sekarang antri meminta dibantu untuk melakukan hal yang sama.<\/p>\n\n\n\n
Satu tangga kerikil kehidupan sudah saya lalui, kini saya semakin yakin tangga-tangga kehidupan berikutnya bisa saya lalui. Salah satunya saat ini saya sedang berupaya meningkatkan diri dari segi pengetahuan dalam dunia pendidikan saya kuliah di UT, selain mengajar di TK. Ada banyak pengalaman dari Pekka. Kalau uang bisa dicari, tapi pengetahuan itu akan bermanfaat selain untuk diri sendiri tapi juga di masyarakat. Pada anggota Pekka atau yang baru bergabung saya sudah wanti-wanti terlebih dahulu. Tinggal bagi waktu penuh dengan keaktifan, saya senang dengan ikut Pekka bisa mandiri. Saya kemudian pulang ke rumah orang tua di Mawasangka. Dan saya ngajar di TK Yayasan PKK Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur. (Juli 2011)<\/p>\n","post_title":"Berkat Prodeo Kudapatkan Kejelasan Statusku","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"berkat-prodeo-kudapatkan-kejelasan-statusku","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2021-01-20 08:17:24","post_modified_gmt":"2021-01-20 08:17:24","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/jwp.pekka.or.id\/home\/?p=1590","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":3},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_25"};