Keputusan Sidang Tak bermakna

Keputusan Sidang Tak bermakna

Ijah, wanita berusia 36 tahun ini sudah menikah dua kali. Usia pernikahan yang tidak berlangsung lama dengan ke dua suaminya, telah membuahkan 2 orang anak yang masing-masing berusia 11 tahun dan 4 tahun. Ijah menikah ketika usianya menginjak19 tahun setelah ia menamatkan SMA. Kandasnya perkawinana Ijah untuk ke dua kalinya, telah mengantarkan dia ke Pengadilan Agama. Selama kurang lebih 6 bulan dan biaya sekitar 1 juta rupiah telah ia habiskan untuk mendapatkan Akte Cerai. Namun Akte Cerai yang dimilikinya tidak mampu mengeksekusi keputusan yang telah disepakati.

Penyebab perceraian mulai dari kecemburuan Ijah terhadap suaminya, yang bekerja sebagai guru dengan status PNS. Suaminya mulai sering terlihat mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan wanita yang dirahasiakannya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi selama berbulan-bulan, bahkan pernah terjadi pemukulan ketika Ijah sedang menyusui anaknya, sambil berselisih paham. Suami memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengontrak rumah di dekat sekolah tempatnya mengajar. Ijah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan mencoba menjemput kembali suaminya dan memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk agar ia mengambil keputusan yang paling tepat bagi mereka berdua. Suaminya tetap bertahan di rumah kontrakannya. Keluarga Ijahpun sudah mencoba untuk menyatukan kembali tetapi tidak berhasil. Bahkan suaminya memutuskan untuk bercerai, dan meminta Ijah yang mengajukan sebagai penggugat di Pengadilan Agama. Tadinya Ijah tidak mau bertindak sebagai penggugat karena sebenarnya ia tidak secara tegas mau bercerai, lagipula apabila ia bertindak sebagai penggugat dalam perceraian tersebut, ia akan dibebani biaya perkara yang lebih besar. Namun suaminya juga berkeras tidak mau sebagai penggugat karena sebagai PNS, posisinya lebih sulit untuk bertindak sebagai penggugat. Atas desakan suami, Ijah akhirnya mengajukan sebagai penggugat namun biaya perkara akan ditanggung suaminya. Ijah memberanikan diri sebagai penggugat dan suaminya memberinya bekal uang sebesar 1 juta rupiah untuk mengurus persidangan.

Pada saat yang sama, rupanya suaminya juga telah mengurus penyelesaian perkawinan mereka melalui jalur agama. Suami membayar AMIL untuk mengeluarkan surat cerai kepada istrinya dengan biaya Rp. 450.000. Surat itu diberikan AMIL langsung kepada Ijah, bukan diberikan oleh suaminya sendiri. Menurut Ijah, hal itu sangat menyakitkan hatinya, ia berpikir suaminya telah benar-benar ingin bercerai.

Ijah mendaftarkan diri ke Pengadilan Agama, dengan menyerahkan uang ke kasir sebesar Rp 450.000,- sesuai dengan ketentuan Pengadilan sebagai uang ‘panjar’. Setelah mengisi formulir yang menyatakan kasus dan tujuannya, pihak pengadilan menyuruhnya menunggu kira-kira 2 minggu lagi sampai ada panggilan dari pengadilan. Namun baru 1 minggu menunggu, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari Pengadilan Agama datang kerumah Ijah dengan membawa surat panggilan persidangan pertama. Orang tersebut meminta uang pengganti ongkos transport kepada Ijah. Permintaan tersebut ditolak Ijah, karena utusan tersebut datang atas permintaan Pengadilan Agama, sementara Ijah merasa sudah membayar uang panjar persidangan kepada Pengadilan Agama.

Didalam persidangan pertama yang dihadiri oleh ke dua belah pihak, Ijah dan suaminya,  Hakim hanya bertanya tentang kesungguhan mereka untuk bercerai. Pada saat itu Ijah menyatakan terserah suami. Sementara suami menegaskan tetap ingin bercerai. Sidang hanya berlangsung 20 menit. Perjalanan dari desa kemuning tempat tinggal Ijah ke kantor pengadilan jauh lebih lama dari waktu persidangan, yaitu sekitar 1 jam belum lagi harus menunggu diluar untuk beberapa saat menunggu giliran. Sidang ke dua dilanjutkan setelah menunggu 2 minggu lamanya yaitu sekitar tanggal 26 September 2007, sidang hanya membahas perlunya suami menyertakan surat rekomendasi dari atasannya di kantor. Sidang terus berlanjut sampai sidang ke VI pada bulan November 2007. Dua kali sidang Ijah tidak bisa menghadiri karena kesibukannya dalam aktivitasnya di LSM Pekka. Pada saat itu ia mengikuti sosialisasi dari Badilag (Badan Peradilan Agama-Mahkamah Agung) perihal mekanisme peradilan perceraian dan informasi biaya perkara.

Mereka akhirnya bercerai, Sidang ditutup.

Ternyata setelah sidang, pihak pengadilan mengajaknya ke ruangan lain untuk membahas biaya perkara. Pihak kasir membuat kalkulasi biaya persidangan dan keputusannya mereka harus menambah biaya sebesar 1 (satu) juta rupiah lagi. Ijah sangat kaget karena ia sudah menyerahkan dana sekitar Rp.700.000,- kepada Pengadilan Agama. Ijah menyatakan kepada pihak aparat Pengadilan bahwa berdasarkan penjelasan dari Badilag Mahkamaah Agung, biaya perceraian cukup hanya Rp.300.000,-. Mendengar penjelasan Ida tentang biaya perkara yang ia ketahui dari Badilag, pihak aparat Pengadilan Agama agak terkejut dan menanyakan dari mana Ijah mengetahui Badilag. Rupanya tidak sia-sia Ijah memperoleh pengetahuan dari Pekka mengenai hukum peradilan perceraian dari Badilag. Hal itu menjadikan pihak Peradilan tidak lagi mempermainkan harga perkara kepadanya. Mereka langsung meralat tambahan biaya yang harus dipenuhi Ijah dan suaminya, justru mereka katakan bahwa dana yang disetorkan oleh mereka masih terdapat kelebihan sebesar Rp.350.000,-. Jadi bukan menambah malah Ijah memperoleh uang kembali dari uang panjar yang ia setorkan. Dua minggu kemudian Akta cerai sudah ditangannya melalui tetangganya yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama tersebut.

Pengadilan memutuskan ke dua anaknya dibawah pengasuhan Ijah, dan suaminya berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp.600.000 setiap bulan. Kesepakatan dicapai, suami pada saat itu menyetujui kesepakatan tersebut. Ternyata keputusan hanyalah keputusan tanpa arti. Kewajiban suami untuk memberikan biaya  pada Ijah yang mengasuh anaknya, tidak pernah terlaksana. Ia hanya dua kali menerima kiriman uang Rp.600.000 selanjutnya tidak serupiahpun nafkah diberikan oleh mantan  suaminya, seperti yang tertera dalam keputusan persidangan perceraiannya.

Ijah mengatakan mengurus surat cerai harus melalui perjuangan panjang dan melelahkan lahir batin. Kurang lebih selama 6 bulan ia menjalani proses ini dan dengan biaya yang tidak sedikit karena transport bolak balik dari desanya di Pasir Kemuning, Telagasari ke kota kabupaten yang berjarak kira-kira 30 km. satu kali perjalananan mengahabiskan Rp.30.000 ditambah lagi untuk membeli makanan karena dari pagi sampai siang. Total biaya sehari Rp.50.000.

Ia kini menempati rumah neneknya yang sudah ia perbaiki dengan tabungannya. Luas rumah sekitar 5×7 meter ini ditempatinya bersama ke dua anaknya. Ia bersaudara 8 orang, namun ke tiga kakaknya sudah berkeluarga dan menempati rumah sendiri. Adiknya 4 orang, sebagian  masih tinggal bersama kedua orangtuanya, yang berlokasi dekat dengan rumah Ijah.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *