Dalam kehidupan ini, kita mengalami berbagai macam cobaan hidup baik di rumah tangga maupun di masyarakat. Begitu juga dengan salah satu anggota kelompokku yang mengalami badai kehidupan di dalam rumah tangganya. Dialah Siti Rohana, ia tinggal di Desa Ilir Mesjid, Kecamatan Amuntai Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Kalimantan Selatan.
Siti menjalani kehidupan rumah tangga yang penuh dengan ketidakpastian selama dua tahun. Suaminya tidak ingin menceraikannya, namun tidak ada nafkah lahir dan batin yang bisa dipenuhi oleh suaminya. Suaminya juga sering melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), mabuk-mabukan, serta berutang di mana-mana. Dari sepengetahuan Siti, terakhir suaminya meninggalkan utang di bank dengan nominal yang sangat banyak dan baru dicicil selama satu bulan, kemudian cicilan utang tersebut dilimpahkan kepada Siti. Siti yang tidak tahu apa-apa justru diberi beban baru untuk membayarkan tagihan utang tersebut. Siti sangat ingin bercerai, ia sudah tidak sanggup lagi menjalani kehidupan rumah tangga yang teramat menyiksa lahir dan batinnya.
Berbagai cara sudah dilakukan Siti untuk bisa lepas dari lelaki yang tidak bertanggung jawab itu. Sebanyak lima kali pertemuan di Pengadian Agama (PA) serta beberapa kali mediasi, ternyata tidak membuat Siti bergeming, hatinya tidak dapat diluluhkan lagi. Ia teguh pada pendiriannya untuk tetap bercerai karena ia merasa rumah tangganya tidak bisa lagi dipertahankan, sehingga Hakim pada akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan Surat Perceraian pada 27 November 2019 silam. Setelah bercerai, Siti menjadi tulang punggung keluarga. Ia memiliki dua anak perempuan. Si anak sulung berusia 15 tahun dan saat ini duduk di kelas 9 Madrasah Tsanawiyah (MTs, sekolah setingkat SMP) dan anak bungsunya berusia 13 tahun yang saat ini duduk di kelas 7 pesantren.
Siti melanjutkan kehidupannya pasca bercerai dengan bekerja sebagai baby sitter (pengasuh anak) dengan penghasilan Rp1.000.000,- per bulannya. Ternyata gaji itu tidak cukup untuk membiayai kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan sekolah anak-anaknya. Belum lagi ia juga harus membayar cicilan bank yang sangat banyak, serta membantu membiayai kebutuhan ayahnya yang mempunyai enam orang anak yang masih kecil-kecil. Dari pagi sampai sore, Siti bekerja sebagai baby sitter, dan dari sore sampai malam, ia bekerja lagi sebagai pengrajin ukiran kayu. Kehidupannya sangatlah ironis, seakan tidak ada waktu untuk istirahat sebentar saja baginya. Sepulang sekolah, kedua anaknya juga ikut membantunya bekerja dengan berjualan, anak sulungnya berjualan es krim, sedangkan anak bungsunya berjualan secara online.
Dua tahun lebih dia menjalani kehidupannya dengan tenang, sampai akhirnya pada suatu sore, datanglah dua orang laki-laki ke rumahnya untuk memberitahukan bahwa batas waktu pembayaran cicilan di bank telah jatuh tempo dan tidak bisa lagi ditunda pembayarannya. Mendengar hal itu, Siti pun menangis, ia kebingungan untuk memikirkan cara agar ia bisa membayar cicilan utang kepada pihak bank, sedangkan ia sendiri sudah tidak mempunyai simpanan uang atau benda berharga lainnya yang dapat ia jual. Dengan menahan rasa malu, ia mencoba mendatangi keluarganya satu per satu untuk meminta bantuan pinjaman uang karena keluarganya rata-rata pedagang meuble yang cukup berada. Namun ternyata hasilnya tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan. Berbagai alasan mereka lontarkan, mereka tidak mau membantu Siti, sampai-sampai ada salah seorang keluarganya yang menyarankan untuk meminjam uang lagi ke bank dengan jaminan nama adiknya agar utangnya bisa dibayarkan terlebih dahulu.
Mendengar hal itu, dia pun menangis karena hatinya begitu sakit. Keluarganya bukannya membantu, malah ingin menjerumuskannya dengan menambah utang baru di bank. Rasa sakit, kesal, dan kecewa sangat ia rasakan pada keluarganya. Sempat terlintas di pikirannya untuk pergi jauh meninggalkan kampung halaman, tapi ia masih memikirkan kedua anaknya.
“Bagaimana nanti setelah dia pergi, apakah keadaan akan membaik? Siapa yang akan mengasuh kedua anaknya?”, tanyanya dalam hati. Ia juga tak tega menorehkan luka baru pada anak-anaknya, bahkan rasa traumanya masih ada hingga saat ini karena KDRT yang dilakukan mantan suaminya dulu. Ia tahu bahwa perceraiannya pasti sudah menjadi trauma tersendiri bagi kedua anaknya, ia tak ingin kedua anaknya juga akan membenci dirinya karena telah meninggalkan mereka. Hal itulah yang menjadi pertimbangannya sehingga ia bertekad untuk bertahan dan tidak lari dari kenyataan hidup yang sungguh pahit.
Setelah secara perlahan mulai bangkit kembali, Siti kemudian memikirkan bagaimana caranya untuk membayar utang di bank secepatnya. Suatu sore, ia berkunjung ke rumah pamannya yang bekerja sebagai buruh, niat kunjungannya hanyalah sebatas ingin curhat dan membagi masalah yang sedang dia hadapi, sekaligus meminta solusi atas permasalahan tersebut kepada pamannya. Istri pamannya sangat prihatin dan tersentuh sekali dengan kehidupan keponakannya. Akhirnya, paman dan istrinya bersedia membantu Siti.
Pamannya kemudian mengumpulkan uang yang telah ditabungnya selama bertahun-tahun, namun jumlahnya masih belum cukup untuk melunasi utang Siti di bank. Lalu pamannya meminta bantuan kepada kakak perempuannya (bibinya Siti) untuk menambah sejumlah uang agar utang Siti dapat segera lunas. Dan pada 27 september 2021, ia meminta saya, Lea Haristina untuk menemaninya pergi ke bank untuk membayar utang. Dengan berurai air mata, Siti merasakan kelegaan di hatinya karena sudah terbebas dari utang yang telah menjeratnya selama bertahun-tahun. Sertifikat rumahnya yang digunakan sebagai jaminan pun akhirnya dikembalikan pihak bank satu minggu kemudian.
Baru tiga bulan Siti bisa bernafas lega dan menjalani kehidupannya dengan tenang, tiba-tiba bibinya yang dulu pernah meminjamkan uang kepadanya datang menemuinya. Bibinya berkata bahwa ia sangat memerlukan uang untuk keperluan acara pengajian pasca seratus hari meninggalnya suaminya. Dia tidak menyalahkan bibinya yang meminta uangnya kembali, namun dengan berat hati dan berlinang air mata, ia mengatakan bahwa ia belum punya uang untuk membayar utang tersebut dan tidak tahu harus pergi ke mana lagi untuk meminta bantuan.
Setelah beberapa hari, aku teringat kalau Siti juga merupakan anggota Pekka dan aku menyarankan agar ia meminjam uang di Koperasi Pekka. Mendengar hal itu, Siti merasa senang dan bersyukur sekali karena akhirnya menemukan jalan untuk bisa membayar utang kepada bibinya. Setelah meminjam uang di Pekka, ia segera mendatangi rumah bibinya yang tinggal tak jauh dari rumahnya untuk membayar utangnya. Mengetahui hal itu, bibinya merasa sangat senang. Ia juga senang karena satu masalah sudah bisa diselesaikan, tinggal memikirkan cara melunasi utang pada pamannya. Aku merasa senang melihat Siti dapat berjuang dan bertahan dalam kondisi yang sangat sulit. Ia begitu tabah, sabar, dan ikhlas dalam menjalani kehidupan ini. Semoga ke depannya hanya kebahagiaan yang ia dan keluarganya rasakan, tidak ada lagi duka atau kepahitan yang mendera kehidupannya di masa mendatang. Benar kata orang, walaupun kita mempunyai saudara atau keluarga, tapi uang mengalahkan segalanya, uang tidak memandang semua itu.
Terkadang, keluarga terasa seperti orang asing, dan orang asing malah seperti keluarga sendiri. Kalau mengingat semua itu, Siti selalu menangis karena teringat dengan perlakuan keluarganya. Di saat senang, mereka begitu baik dengannya, namun ternyata di saat dia kesusahan dan terpuruk, malah tidak ada yang ingin membantu dan memberikan dukungan untuknya. Begitulah pengalaman hidup Siti, semoga di hari-hari berikutnya, ia dan kedua anaknya akan mendapatkan masa depan yang gemilang. Aamiin.
Kontributor: Lea Haristina
Editor: Helda